Sabtu, 17 Februari 2018

Ketika Segala Berubah

Ketika Segala Berubah
Radhar Panca Dahana  ;    Budayawan
                                                     KOMPAS, 17 Februari 2018



                                                           
Marilah kita sedikit berimajinasi, membayangkan hal yang sesungguhnya faktual ini: pada awal abad ke-18, seseorang harus mengarungi laut 70 hari untuk pergi dari London ke New York. Di paruh awal abad ke-20, pada 1911 kapal besar Olympic menyeberangi jarak yang sama dalam tujuh hari. Sepuluh kali lebih cepat dalam 200 tahun.

Bahkan kini kita bisa berbisnis di hari yang sama antara London dan New York karena hanya butuh 7,5 jam saja untuk menyeberanginya. Seratus tahun kemudian, teknologi supermodern menciptakan peningkatan kecepatan 50 kali atau 5.000 persen dibandingkan dengan peningkatan sebelumnya.

Hidup kita di zaman yang berlari tidak lagi dengan kecepatan (speed), tetapi percepatan (velocity) seperti dalam fakta di atas, tentu saja menciptakan perubahan yang tak ringan. Tidak hanya secara sosial, ekonomis, politis, tetapi juga personal hingga spiritual. Bisa dibayangkan bagaimana kita mencerap data dari sebuah flashdisk ukuran 2 cm yang memiliki data 256 miliar byte, sementara data yang dikirim sebuah modul pesawat angkasa Appolo 50 tahun lalu seberat 20 ton hanya berasal dari memori sebesar 4 kilobyte.

Apakah perangkat keras dan lunak di kepala kita mengunyah dan mencerna data yang begitu gigantik? Apa yang terjadi pada kesadaran kognitif kita yang berkembang dengan kecepatan rendah, sebagaimana evolusi biologis makhluk hidup dengan lompatan-katak, berhadapan dengan revolusi teknologi-nano dengan lompatan-kuantumnya? Apa yang terjadi dengan kemampuan hitung kita, yang 70 tahun lalu, ENIAC, kalkulator pertama yang tercipta dunia dengan berat 30 ton dan harus memenuhi gedung seluas 1.500 meter persegi, dan saat ini kita dapat melakukannya dari sebuah telepon pintar bahkan jam di lengan kita?

Sahabat, saudaraku, apa yang kita alami saat algoritma yang digunakan dalam teknologi di balik media sosial dapat menentukan bukan hanya konspirasi di balik penembakan massal di Las Vegas, Oktober tahun lalu, menyusup ke kartun kegemaran anak kita, Peppa Pig, yang memakan ayahnya sendiri termasuk bubuk pemutih mesin cuci? Bagaimana Google, Facebook, juga Instagram, lewat algoritmanya bisa menentukan bukan saja mobil favorit kita, melainkan juga warna pakaian dalam kita? Apa yang terjadi jika blockchain dengan cryptocurrency semacam bitcoin satu saat mementahkan peran regulator yang konstitutif macam Bank Indonesia bahkan Otoritas Jasa Keuangan RI?

Dunia sudah berubah, terlalu berubah. Ia pun tentu mengubah, mengubah kita semua. Baik secara personal, komunal, nasional, bahkan mengubah secara halus, diam-diam, pemerintah kita, organisasi-organisasi kita, cara dan sikap kita mengoperasikan lembaga-lembaga itu semua? Lalu di mana kita, apa yang kita sadari, kita telah dan harus lakukan, dan seterusnya? Cukupkah kita pasrah dengan hanya mengamini apa yang dinyatakan sang menteri yang mengurusi (teknologi) informasi, bahwa itu semua ”tak terhindarkan” (inevitable)?

Tidak. Tentu Anda setuju: tidak! Tidak ada selain ketetapan-Nya yang ”tak terhindarkan”. Banyak yang harus kita hindarkan. Setidaknya, bukan cuma untuk menyelamatkan tujuan dan mimpi bangsa ini, tetapi juga menyelamatkan hidup kita sendiri. Frase terakhir inilah sesungguhnya makna paling murni dari apa yang kita sebut dengan ”kebudayaan”.

Kebudayaan kita

Lalu di mana kebudayaan itu, kebudayaan kita, alias kebudayaan bangsa (Indonesia) ini? Saya tidak tahu. Maaf, jujur saya harus berkata, tidak tahu. Kalaupun saya tahu, saya tidak akan mengatakannya. Karena kebudayaan (bangsa/nasional Indonesia) kita bukanlah celotehan satu mulut saja, tetapi ia harus menjadi mufakat semua pemangku kepentingan utama negeri ini. Dan, mufakat itu belum ada, belum pernah ada. Maaf, lagi-lagi, para bapak dan ibu bangsa ini belum berhasil—jika tidak bisa dibilang gagal—memufakatkan persoalan esensial di atas.

Mengapa esensial? Karena dalam pengertian apa pun, juga akademis, kebudayaan adalah dimensi atau tepatnya (esen)isi yang semestinya ada dan membentuk apa yang disebut dengan ”bangsa”. Bagaimana sebuah bangsa ada, terbentuk dan berkembang tanpa adat, tradisi atau budaya di dalamnya? Konklusi: bagaimana ada bangsa Indonesia jika kebudayaannya saja tak dapat kita jelaskan? Alhasil, bagaimana negara bisa dibentuk dan dijalankan untuk sebuah bangsa yang ia kenal pun tidak, alias tidak ada? Hikmahnya, kita berada dalam situasi yang begitu kritis, bahkan bisa jadi absurd.

Apa yang bisa dilakukan dalam situasi absurd di atas, mungkin hanya mengidentifikasi sifat-sifat superkritis yang menjadi bagian dari absurditas. Tidak lain gejala atau fenomena-fenomena kehidupan (sosial) yang ada dalam kehidupan sehari-hari kita belakangan ini. Semua yang secara kategoris dapat digolongkan sebagai ”produk-produk” kebudayaan, entah itu berbentuk artefak, ekofak, sosiofak, dan lainnya. Produk-produk dari satu hal yang sulit ditera, apalagi hanya dari simtom atau gejalanya saja.

Kita semua menjadi saksi, bahkan bisa jadi pelaku, dari semua gejala atau produk kebudayaan di atas. Kita membangun atau membeli rumah, misalnya, akan memilih bentuk minimalis, bergaya mediteranian, klasik-baroq european, dan sebagainya. Itulah yang tersedia dalam pasar properti kita. Itulah yang menjadi lanskap kota-kota besar kita. Lanskap yang sama kita dapatkan di kota-kota besar dunia. Lanskap universal. Identitas lokal, jati diri, bentuk dan arsitektur khas Bugis, Sasak, Batak, Minang, Jawa, dan lainnya? Jangan harap! Tidak laku. Dibuang dan mengambang di got-got kawasan universal itu.

Bangsa ini bukanlah bagian dari kebudayaan yang melahirkan Prambanan, tari kecak, tari saman, wayang kulit, atau pencak silat. Kita adalah bagian dari kebudayaan yang memproduksi remaja yang merakit bom sendiri untuk ia ledakkan di sebuah international franchise bersama tubuhnya sendiri. Kita adalah bagian dari produk macam seorang ibu yang frustrasi secara sosio-ekonomis (juga kultural) lalu menempatkan bayinya di kursi yang ia duduki hingga anaknya mati. Atau seorang remaja SMP yang membuka baju sekolahnya untuk menantang berkelahi kepala sekolah di kantor pimpinan itu sendiri.

Kita adalah bangsa dengan kebudayaan politik yang bertanggung jawab melahirkan seorang Setya Novanto, Akil Mochtar, dan sederet pemimpin publik/negara yang berkhianat pada konstitusinya sendiri. Kita adalah bagian dari publik yang sibuk melahirkan kebenaran-kebenaran (preferensial) kita sendiri—yang super subyektif hingga ke tingkat tidak peduli dan mempersetankan kebenaran lain—via media-media sosial beralgoritma (seperti diterangkan) di atas.

Cukup! Terlalu panjang halaman untuk menjejerkan semua kedegilan alias keterpurukan kebudayaan kita. Semua berkelindan antara sebab-sebab yang datang dari dalam (internal), semacam kelemahan-kelemahan adab yang tereksploitasi karena kekuatan adabnya (ter)lemah(kan), juga karena hebatnya sebab-sebab eksternal yang secara infiltratif dan interventif merasuk ke dalam diri (bangsa) kita. Menciptakan—mari kita terbuka hati—kecemasan, kekhawatiran, bahkan hingga di tingkat kengerian: akankah republik atau bangsa ini bertahan? Kecemasan yang seakan begitu cepat terdiseminasi juga ter-amplifying ketika pesta politik (tanpa budaya) seperti pilkada tahun ini atau pemilihan presiden tahun depan berlangsung dengan ancaman segregasi sosial yang tinggi.

Lalu bagaimana—sebagai inti tulisan ini—negeri atau bangsa seperti di atas harus menghadapi, mencerna, menjawab persoalan-persoalan kian kompleks, atau masa depan yang penuh ketidakterdugaan? Benarkah semua itu ”tak terhindarkan”?

Di mana kita?

Tentu saja semua kedegilan atau keterpurukan hingga titik nadir kebudayaan kita di atas, bisa—dan sangat bisa—dihindarkan. Lebih dari itu, sesungguhnya kita memiliki kemampuan, kapasitas, dan kapabilitas untuk memilin seluruh sebab di atas justru menjadi kekuatan. Kekuatan yang bangsa mana pun tidak pernah menyangka bahwa ia begitu luar biasa, hingga bukan hanya persoalan-persoalan rumit zaman kiwari dapat dijawab dengan baik, tetapi juga menciptakan tenaga (kreatif) yang memulihkan invaliditas kelebihan-kelebihan (kultural) bangsa ini.

Namun, semua itu tidak akan bakal terjadi jika kita masih saja, hingga detik ini, bersikap sangat konservatif, bahkan ortodoks, dalam soal pemikiran/gagasan. Lihatlah diri kita saat ini, mulai dari akar rumput yang memenuhi tepi jalan sebagai UKM atau jelata yang memenuhi antrean terminal bus dan kereta api, hingga mereka yang berada di pucuk pimpinan lembaga-lembaga (penyelenggara) negara. Adakah kita temukan ide-ide baru dan segar tentang bagaimana diri (bangsa) kita ini harus kita atur, gerakkan, dan ajak berkeringat deras untuk menghadapi realitas global yang cukup khaotik ini?

Di mana-mana kita masih saja mendengar nama-nama serta gagasan lama, jika tidak dibilang usang, seperti Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, Supomo, Sukarno—yang notabene founding fathers—direplikasi atau diduplikasi oleh tokoh-tokoh masyarakat atau pejabat publik pengambil kebijakan. Nama-nama atau gagasan yang sudah lampau, lebih dari 70 tahun, bahkan seabad yang lalu.

Lalu di mana dan ke mana kita, para warga republik ini, setelah seabad kemudian? Setelah kemajuan demikian rupa dihasilkan: kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, infrastruktur segala bidang, data keilmuan luar biasa dan sangat mudah didapatkan? Ke mana kecerdasan bangsa ini? Apakah bangsa ini hanya melahirkan kecerdasan dan kegeniusan di awal abad ke-20, seratus tahun lalu saja, lalu kini semua layu dan lembek seperti ketela yang diperam oleh ragi?

Sudah tiba saatnya kita semua bangkit. Hampir seabad kita tertidur. Sementara bangsa-bangsa lain sibuk membenahi dirinya sendiri: mempertanyakan hingga meredefinisi eksistensinya kembali, mengubah atau menghitung ulang visi kebangsaannya, mengamandemen semua konsensus atau mufakat yang telah dibuat para pendahulunya. Bangsa Amerika Serikat, misal saja, telah 12 kali mengamendemen konstitusinya hanya dalam abad ke-20 saja. Australia sedikitnya delapan kali, bahkan Myanmar yang dianggap sangat ortodoks itu sudah tiga kali mengamendemen konstitusinya, dibandingkan dengan negeri bagian Alabama sudah melakukan hal serupa 800 kali. Kita mafhum, bukan saja mereka, tetapi juga Rusia, China, India, bahkan Perancis, Jerman, dan banyak negara terkemuka melakukan revisi kebangsaan itu.

Saya sangat percaya, kita saat ini tidak terlalu imbesil setidaknya dibandingkan para pendahulu, bapak dan ibu bangsa kita dahulu. Kita punya kekuatan itu, kekuatan melahirkan pikiran dan gagasan tidak sederhana, yang dapat kita gunakan untuk menjadi arsenal dahsyat untuk menantang dunia saat ini, ketika pikiran lama sudah tidak lagi fit-in dan fix-in dengan kenyataan mutakhir kini. Tapi maukah kita berkeringat, berair-mata, bahkan berdarah untuk melahirkan itu? Maukah kita berhenti melena diri, keluar dari zona nyaman atau tempurung sempit yang memenjara pikiran, perasaan, hingga tauhid kita saat ini.

Sudah waktunya, saudaraku…. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar