Birokrasi
dan Investasi
Edy Purwo Saputro ; Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo
|
KORAN
SINDO, 10 Februari 2018
KOMITMEN
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membatalkan
51 peraturan menteri dalam negeri (permendagri) menjadi acuan di tahun
politik demi menarik investasi. Kebijakan ini dilakukan karena keyakinan
adanya ancaman wait and see sebagai konsekuensi dari tahun politik.
Jika
dicermati, pembatalan regulasi penghambat birokrasi bukan kali ini saja. Pada
2016 juga terjadi pembatalan 3.143 peraturan daerah (perda) oleh pemerintah
yang menjadi sinyal positif dari urgensi birokrasi, meski di sisi lain hal
ini juga memicu kontroversi. Paling tidak ada empat argumen di balik
pembatalan perda seperti disampaikan Presiden Joko Widodo saat itu. Pertama ,
perda yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi di daerah. Kedua , perda yang
memperpanjang birokrasi. Ketiga , perda yang menghambat perizinan investasi
dan kemudahan bisnis. Keempat, perda yang bertentangan dengan undang-undang
atau peraturan di atasnya.
Tjahjo
Kumolo menegaskan bahwa pembatalan ribuan perda itu merata di berbagai
daerah, begitu juga dengan permendagri kali ini. Yang justru menjadi
pertanyaan bagaimana logika regulasi itu bisa dibatalkan? Bukankah proses
legalitas regulasi tersebut telah melalui prosedur ketat, termasuk melalui
pembahasan oleh wakil rakyat?
Prosedur
regulasi perda bisa diawali dari aspirasi rakyat yang kemudian disahkan oleh
wakil rakyat. Perda juga muncul dari inisiatif wakil rakyat untuk kemudian
hasilnya disosialisasikan ke masyarakat. Kedua tipe proses pembuatan perda
tersebut tentu mengacu legalitas perundang-undangan yang berlaku. Artinya,
ketika perda sudah disahkan dan sudah masuk ke lembar berita negara, mengapa
kemudian pemerintah membatalkannya? Bagaimana regulasi terkait perda jika
disinkronkan dengan era otonomi daerah (otda) yang memberikan keleluasaan dan
kewenangan bagi daerah untuk mandiri? Apakah pembatalan ribuan perda semakin
menguatkan dominasi pusat terhadap daerah? Lalu apa implikasi dari kasus
pembatalan 51 permendagri kali ini?
Konsistensi
Pembatalan
51 permendagri adalah mata rantai dari kasus perda sebelumnya. Jika
dicermati, persoalan utama ribuan perda bermasalah ialah mengganjal investasi
dan kajian ini sangat menarik ditelaah karena memicu dampak negatif terhadap
otda. Karena itu, temuan Komite Pelaksanaan Otonomi Daerah-KPPOD tentang
adanya 3.734 perda beberapa waktu lalu, yang ternyata memicu hambatan
terhadap investasi daerah, harus diurai. Ironisnya, pemerintah juga
membatalkan 3.143 perda dari berbagai daerah. Artinya, kalkulasi angka
tentang perda bermasalah adalah sangat besar dan ini tentu rentan di era otda
jika dikaitkan dengan daya tarik investasi di era global.
Jika
ditelusur ke belakang, pemerintah mengevaluasi ribuan perda karena diduga
menghambat laju investasi, selain juga berbenturan dengan peraturan di
atasnya. Temuan ini menjadi antiklimaks dari komitmen era otda dan tidak sejalan
dengan misi Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) yang
berniat memacu investasi di daerah agar daerah bisa lebih berkembang. Jadi,
pembatalan 51 permendagri kali ini haruslah diapresiasi agar ke depan tidak
ada regulasi penghambat investasi.
Belajar
dari kasus 51 permendagri dan sejumlah perda di atas, Apkasi 5 tahun lalu
pernah menyelenggarakan AITIS 2013 atau Apkasi International Trade and
Invesment Summit , pada 15-17 Mei 2013 di Jakarta. Orientasi AITIS 2013
adalah memberikan peluang bagi daerah untuk memetakan potensi investasi di
daerah, sekaligus mempromosikan serta memasarkan produk unggulan yang
dimilikinya. Artinya otda yang pada 10 tahun terakhir ditandai maraknya ego
pemekaran daerah seharusnya dikaji ulang karena hasil pemekaran tidak
meningkatkan kesejahteraan, tapi justru banyak memunculkan persoalan baru
pascapemekaran. Selain itu, pemekaran secara tidak langsung memicu munculnya
perda-perda baru di daerah baru hasil pemekaran dan ini justru memicu
hambatan bagi investasi. Artinya, semakin banyak pemekaran sangat rentan
terhadap munculnya perda-perda yang bermasalah dan tidak sejalan lagi dengan
semangat era otda yang memacu kemandirian. Jadi, pembatalan 51 permendagri
harus menjadi contoh kelak.
Urgensi
dari AITIS 2013 juga memberikan peluang bagi daerah untuk mengembangkan
pembangunan di daerah. Capaian dari pembangunan di daerah yaitu mereduksi
jumlah pengangguran-kemiskinan. Karena itu, capaian tersebut harus didukung
investasi dan investasi harus didukung kemudahan regulasi-perizinan di
daerah, termasuk perda yang konsisten memacu pertumbuhan ekonomi, bukan
justru sebaliknya perda yang mereduksi potensi berkembang ekonomi. Artinya,
jika pemda kooperatif dengan menciptakan perda yang mendukung iklim kondusif,
geliat ekonomi di daerah akan berkembang dan berdampak positif terhadap
bangkitnya ekonomi di daerah. Termasuk juga potensi ekonomi kreatif berbasis
potensi sumber daya lokal dan aspek pemberdayaan masyarakat setempat.
Implikasi penyerapan tenaga kerja dan perbaikan taraf hidup tercapai dengan
penciptaan perda yang konsisten mendukung semangat otda.
Komitmen
Data
Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan bahwa jumlah pengangguran dan
kemiskinan masih tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa sampai kini persoalan
pengangguran masih berat dan ini juga terkait dengan kemiskinan. Terkait hal
ini, realisasi investasi utamanya yang padat karya akan mampu mereduksi
pengangguran. Karena itu, perda yang menghambat investasi di daerah justru
rentan terhadap penyerapan tenaga kerja dan implikasinya bagi kemiskinan.
Terkait ini, pemerintah berencana mengembangkan 132 desa produktif di 33
provinsi untuk mendorong kewirausahaan yang mengembangkan sektor riil,
utamanya yang berbasis potensi sumber daya lokal dan industri kreatif yang
sifatnya padat karya. Terkait ini, maka semua daerah harus memanfaatkan
program ini, utamanya untuk dapat memetakan potensi industri kreatif dan
sektor unggulan daerah sehingga memberikan kontribusi positif bagi
perekonomian dan mereduksi pengangguran. Intinya, hal ini juga harus sinkron
dengan realisasi investasi di daerah, bukannya justru ini dihambat dengan
munculnya regulasi, baik permendagri atau perda bermasalah yang tidak
proinvestasi.
Diakui
bahwa otda butuh komitmen secara menyeluruh dan sinergi lintas sektoral, dari
birokrat di daerah, wakil rakyat yang mendukung pembuatan perda kooperatif -
kondusif, sampai masyarakat sebagai objek-subjek pembangunan. Karena itu,
daerah harus bisa memiliki keunggulan kompetitif untuk memacu daya tarik investasi
di era otda. Artinya, problem investasi tidak hanya dilihat akumulasinya,
tetapi juga harus melibatkan banyak aspek, termasuk salah satu yang paling
dominan saat ini yaitu penegakan hukum, terutama dikaitkan dengan tuntutan
kemudahan perizinan, jaminan rasa aman, dan memangkas perda yang menghambat
arus investasi. Dalih kemandirian daerah dan perolehan pendapatan asli daerah
(PAD) dengan membuat perda mungkin harus dikaji ulang bagi daerah agar
regulasi yang dibuat tidak justru menghambat laju pertumbuhan ekonomi di
daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar