Sabtu, 03 Februari 2018

Arus Balik Literasi Keindonesiaan

Arus Balik Literasi Keindonesiaan
Munawir Aziz ;  Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama;
Penulis buku Merawat Kebinekaan (2018)
                                                  DETIKNEWS, 02 Februari 2018



                                                           
Jantung keindonesiaan kita sering tertusuk-tusuk duri kebencian. Kontestasi ideologi menjadikan narasi kebangsaan kita, berpusar pada arus perdebatan tak kunjung henti mengenai fondasi kenegaraan sekaligus masa depan keindonesiaan. Perdebatan tentang dasar negara, sering menyeret pertemanan dan persaudaraan pada gelombang kebencian yang semakin mengkhawatirkan. Padahal, Pancasila dengan segenap nilai-nilai utamanya, telah dirumuskan founding fathers negeri ini, dalam pikiran jernih dan renungan mendalam yang terangkum pada suasana perdebatan kebangsaan yang sehat.

Sementara, pada akhir-akhir ini, perdebatan-perdebatan tentang sistem negara dan arah masa depan bangsa membelah komunitas-komunitas, persaudaraan dan pertemanan lintas etnis-agama, dalam kelompok-kelompok kecil yang berbeda pandangan. Perdebatan ini melenggang tanpa upaya serius menziarahi gagasan yang diwariskan Sukarno, Moh. Hatta, Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Ahmad Dahlan, Sjahrir, Tan Malaka, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan sederet pemikir-pejuang negeri ini.

Literasi keindonesiaan dan kebangsaan kita sangat minim menyegarkan gagasan anak bangsa. Infrastruktur literasi keindonesiaan harus mampu menembus perkembangan teknologi, sekaligus melampaui sekat geografis. Meski pemerintah secara serius berusaha mengatasi jurang menganga dalam infrastruktur literasi kita, perlu ada upaya yang konsisten dan keberpihakan untuk mendorong kualitas literasi keindonesiaan.

Fakta yang muncul di permukaan, bangsa Indonesia merupakan bangsa besar dengan warisan peradaban agung, namun miskin dalam transformasi literasi modern. Tradisi kisah, dongeng, tambo dan sejenisnya, yang menyimpan khazanah kebudayaan serta imajinasi kebinekaan, bergeser menjadi gunjingan serta fitnah yang tumpah. Padahal, kita punya tradisi tepa selira yang berakar dari khazanah Nusantara, serta tabayyun dari tradisi agama. Perkembangan teknologi dan inovasi media sosial belum mampu menjadi jembatan komunikasi lintas etnis dan agama dalam nuansa keindonesiaan yang segar.

Literasi keindonesiaan kita membutuhkan sentuhan bersama. Data United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2016, di lingkup dunia ada sekitar 263 juta anak putus sekolah yang minim kemampuan literasi dasar. Dari lanskap global, indeks literasi warga Indonesia berada pada anak tangga bawah. Data statistik dari UNESCO, Indonesia berada di peringkat 60 dari total 61 negara, yang berada dalam indeks literasi internasional. Negeri ini berada pada tingkat literasi rendah, di bawah peringkat negara-negara Asia Tenggara dan satu peringkat di atas Botswana.

Riset yang diselenggarakan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) masih menunjukkan rendahnya minat baca warga negeri ini. Dari laporan PISA, indeks literasi membaca hanya naik satu poin, dari 396 pada 2012 menjadi 397 pada laporan 2015. Pada 2012, Indonesia mendapat skor 396, dengan peringkat 60 dari 65 negara, pada kategori membaca. Skor rata-rata internasional PISA, dalam kemampuan membaca, yang mencakup memahami, menggunakan, dan merefleksikan dalam bentuk tulisan, pada angka 500. Sementara, pada indeks literasi sains dan matematika, naik cukup signifikan: 382 poin (2012) menjadi 403 poin (2015), serta 375 poin pada 2012, naik 11 poin menjadi 386 pada 2015 lalu.

Selain percepatan infrastruktur fisik, peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia juga harus diutamakan. Percepatan pembangunan fasilitas umum sangat penting untuk melancarkan denyut nadi ekonomi kita. Tapi, mencipta sumber daya manusia yang unggul juga harus menjadi prioritas. Menggenjot infrastruktur tanpa membangun intelektualitas dan jiwa bangsa, ibaratnya hanya membangun gedung pencakar langit tanpa penghuni.

Data riset United Nations Development Programme (UNDP) mengungkap tingkat pendidikan berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang masih perlu dorongan percepatan. Laporan UNDP dalam Human Development Report (2016), Indeks Pembangunan Manusia negeri ini berada pada peringkat 113 dari 188, yang turun tiga tingkat dari posisi 110 pada 2014. Apa yang terjadi di Asmat, Papua menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia.

Literasi Keagamaan

Selain literasi keindonesiaan yang masih terus membutuhkan dorongan kebijakan, ada satu ceruk literasi yang mengkhawatirkan: literasi keagamaan (religious literacy). Dalam beberapa tahun terakhir, agama menjadi medan kontestasi isu serta pertempuran narasi keindonesiaan. Peta persaingan politik dan kepemimpinan, menempatkan agama sebagai instrumen adu kekuatan. Sementara, komunikasi internal dan antarkomunitas agama terjebak pada instrumen persaingan politik.

Survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dipublikasi pada akhir 2017 lalu mengungkap alarm bagi kebhinekaan dan keindonesiaan kita. Survei ini merilis narasi kebencian yang demikian bergelombang dalam denyut nadi. Peneliti PPIM mewawancara guru PAI (Pendidikan Agama Islam), dosen PAI, siswa serta mahasiswa di seluruh Indonesia. Survei ini melibatkan 2181 responden dari 35 provinsi, 68 kabupaten/kota, terdiri dari 264 guru, 58 dosen, 1522 siswa dan 337 mahasiswa.

Dari survei ini, teknologi digital dan media sosial menjadi instrumen penting persebaran informasi. Sebanyak 54,87 persen generasi milenial mengakui bahwa sumber pengetahuan agama mereka dari internet dan media sosial. Pendidikan agama, tidak hanya bersumber dari pendidikan formal di sekolah dan universitas, namun juga dari ustaz-ulama yang memiliki akun interaktif di media sosial.

Narasi yang terbangun dalam lanskap keagamaan, terungkap betapa kebencian tersebar tanpa didasari pemahaman komprehensif atas liyan. Sebanyak 64,66 persen guru dan dosen memandang Ahmadiyah sebagai aliran Islam yang dibenci. Sementara, Syiah berada pada peringkat kedua sebagai aliran yang tidak disukai, pada skor 55,6 persen. Pada sisi lain, 44,72 persen guru dan dosen tidak setuju jika pemerintah melindungi Syiah dan Ahmadiyah.

Pada lingkaran siswa dan mahasiswa, pendidikan agama menjadi pintu masuk memahami keragaman dan cara pandang mereka terhadapa perbedaan. Ironisnya, sebanyak 48,95 persen responden menyebut bahwa pendidikan agama mempengaruhi mereka untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain. Sementara, 58,5 persen responden siswa dan mahasiswa memiliki cara pandang keagamaan yang radikal.

Data ini menunjukkan gejala serius yang tidak bisa dianggap remeh. Dalam satu abad terakhir, kita mundur beberapa langkah dalam konteks literasi keagamaan. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ulama Nusantara memiliki jaringan intelektual sekaligus persebaran literasi yang menembus batas geografis. Ribuan karya kiai-kiai dicetak oleh bermacam penerbit di Singapura, Mumbai (India) hingga Mesir dan Haramain. Karya-karya keagamaan ini menjadi rujukan penting bagi lingkaran akademis pada masa itu. Fatwa-fatwa ulama penuh nuansa menghargai perbedaan dan memayungi keragaman.

Sementara, pada akhir-akhir ini, literasi keagamaan terjangkiti kanker kronis berupa ketidaksanggupan memahami perbedaan. Napas-napas sebagian dari kita seolah tersengal ketika melihat sedikit saja perbedaan pandangan dan keyakinan. Warga Indonesia perlu oksigen penyegaran dari literasi keagamaan yang menghargai kebhinekaan, memandang perbedaan perbedaan (khilafiyyah) sebagai rahmah. Kita membutuhkan penyegaran literasi keagamaan sekaligus literasi keindonesiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar