Doa
Pedagang Bunga
Toriq Hadad ; Wartawan
Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 06 Mei 2017
Ya, Tuhan,
terima kasih atas banjir pesanan bunga papan belakangan ini. Sudah lebih dari
lima ribu papan kami kirim ke Balai Kota Jakarta. Belum lagi yang ke markas besar
kepolisian di Jakarta dan berbagai kota. Kalau satu papan lima ratus ribu
rupiah, tentu kalkulator-Mu lebih canggih menghitung berapa untung kami.
Kami ikut
terharu dengan simpati yang luar biasa untuk Ahok-Djarot yang kalah dalam
pilkada lalu--tentu beritanya sudah sampai ke rumah-Mu. Kami memang sempat
protes sedikit, agak sulit membuat huruf-huruf baru dari styrofoam untuk
melayani ucapan yang aneh-aneh. Misalnya ini: Oh Tuhan, Kucinta Basuki,
Kusayang Tjahaja, Rindu Purnama, Inginkan Basuki-Djarot. Dari Mami Cantik
yang lagi Mellow. Orang bilang kelompok "mellow" beginilah yang
membuat bara pilkada terus menyala. Tapi apa salahnya membuat ucapan manis
begitu? Kami sama sekali tak melihat ada yang keliru dengan curhat begini.
Ah, di sini
kami harus minta ampun, Tuhan, kami sudah tak jujur. Kalau boleh mengaku,
sesungguhnya kami tak terlalu peduli: semakin banyak kelompok
"mellow", grup "baper", semakin bejibun yang enggan move
on, kami semakin untung. Kalau doa yang terlalu serakah ini salah, maafkan
kami. Sudah lama kami tak panen, dan kami yakin karena Kau memelihara
kelompok "baper" dan "mellow" itulah kami menikmati
rezeki seperti sekarang. Pemerintah? Jangan harap. Malah beberapa tahun lalu
pemerintah mengimbau aparatnya agar tidak banyak-banyak kirim ucapan selamat
lewat bunga papan.
Jadi, mumpung
lagi panen, kami tak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Order apa pun kami
terima, termasuk dengan pesan yang sudah tak ada hubungannya dengan
Ahok-Djarot. Ada ajakan untuk menjaga keutuhan NKRI, harapan kepada
kepolisian untuk mewaspadai gerakan radikal dan intoleran. Kami bingung, apa
sih konteks ucapan itu, lalu ditujukan kepada siapa? Tapi kami sih hepi-hepi
saja memenuhi permintaan pelanggan.
Siapa
pelanggan itu? Kami tak mau ambil pusing, apakah mereka pendukung Ahok-Djarot
atau pendukung Anies-Sandi, itu urusan mereka. Prinsip kami sama dengan
dokter, tidak boleh menolak "pasien".
Tentu Kau
serba tahu alasan kami: kalau kami terseret politik di balik perang kembang
ini, maka hanya kepusingan yang kami dapat, bisnis kami bisa kacau-balau.
Bayangkan saja, Tuhan. Bunga papan yang cantik di Balai Kota itu tiba-tiba
saja ada yang membakar. Kalau kami ikut berpolitik, waktu kami akan habis
dengan menebak-nebak siapa pelakunya, siapa yang hendak dibuat buruk muka
dengan pembakaran itu. Kami bingung, mengapa bunga yang indah mendadak
dipakai untuk urusan yang jauh dari indah, bahkan jahat.
Kami bingung,
kenapa sikap anti-radikalisme yang seharusnya kita yakini bersama mendadak
harus dinyatakan lewat bunga papan. Mengapa tidak langsung dan
terang-terangan saja dinyatakan kepada polisi atau presiden. Bukankah
menyampaikan pesan lewat bunga papan itu mahal?
Tapi lagi-lagi
kami berpura-pura: kalau dinyatakan langsung, jelas kami kehilangan pesanan.
Tapi apakah harus kami berdoa supaya Engkau terus memelihara ketidaknormalan
di sekitar kami agar dagangan kami tetap laris? Kami tak tahu. Bisikkan
jawaban kepada kami.
Urusan tempat
berdoa kepada-Mu pun bisa menjadi urusan panjang, Tuhan. Kalau kami memilih
tidak ikut berdoa di Monas, kami dituduh tidak membela agama, paling tidak
dianggap kadar keimanan kami lemah. Kalau ikut ke sana, kami dituduh radikal.
Jadi, biarkan kami tidak ikut berdebat soal tempat berdoa ini. Kami hanya
ingin Kau kabulkan doa kami ini: semoga ketidakwarasan ini cepat berlalu,
tapi bunga kami tetap laku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar