Ujang,
Raeni dan Sopariah
Mohammad Nuh ; Guru
Besar ITS Surabaya
|
KORAN
SINDO, 07
Mei 2017
NAMA-nama yang
tertera pada judul tulisan ini, tidak lain adalah sebagian dari penerima
beasiswa Bidikmisi yang sekarang sudah berjumlah lebih dari tiga ratus ribuan
mahasiswa. Ujang Purnama adalah mahasiswa Program Studi Sains dan Teknologi
Farmasi ITB dan peraih Ganesha Prize 2015, yakni penghargaan tertinggi ITB
bagi mahasiswa yang berprestasi baik di bidang akademik maupun nonakademik.
Dia juga mendapat kesempatan untuk magang di Groningen University Belanda dan
pada tahun 2016 termasuk peneliti muda terbaik dunia pada lomba yang diselenggarakan
oleh Novartis, perusahaan Farmasi raksasa Perancis.
Raeni, adalah
mahasiswa Universitas Negeri Semarang, yang membikin ‘heboh’ dunia
pendidikan. Anak seorang tukang becak, lulus cumlaude dan pada saat wisuda
dengan bangga diantar naik becak dengan sang ayah tercinta sebagai
pengayuhnya. Biasanya pada saat wisuda orang cenderung berlomba untuk
menaikkan status sosialnya. Yang tidak punya mobil, berusaha pinjam atau sewa
mobil demi kesakralan wisuda. Setelah lulus, melalui beasiswa LPDP (Lembaga
Pengelola Dana Pendidikan) melanjutkan studi pada program Magister of
Science, International Accounting and Finance di Birmingham Inggris. Kini,
dia sudah lulus magister.
Sedangkan
Sopariah, mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang Banten. Dia
lulus Sarjana (periode Maret 2017) dalam waktu tercepat (3 tahun 4 bulan)
dengan predikat cumlaude. Dia anak yatim dengan 8 bersaudara. Untuk
menyambung hidup, Ibunya bekerja sebagai tukang pijat, dan dia sendiri rela
sambil kuliah menjadi buruh cuci dan pembantu rumah tangga. Itulah sebagian
kecil kisah anak-anak yang berasal dari keluarga miskin yang pada awalnya
tidak mungkin bisa kuliah. Kini, dengan Bidikmisi menjadi mungkin dan
kenyataan sepanjang memiliki prestasi akademik yang memadai. Seringkali,
mereka memiliki prestasi yang sangat mengagumkan (outstanding), baik akademik maupun nonakademik, khususnya di
Perguruan Tinggi Negeri.
Ide dasar
program Bidikmisi ini adalah adanya keyakinan (thesis) bahwa pendidikan
merupakan sistem rekayasa sosial terbaik dan terbukti untuk memutus mata
rantai kemiskinan, keterbelakangan peradaban, ketidak tahuan (kebodohan) dan
ketidak adilan. Keyakinan tersebut, diperkuat dengan hasil penelitian di
Kenya dan Mumbai India yang telah dilakukan oleh Jeffrey D. Sach (The End of the Poverty, 2005), Eric
Stark Maskin, penerima Nobel Ekonomi 2007 dan Jared Bernstein (All Together Now: Common Sense for a Fair
Economy, 2006).
Disamping
kajian-kajian yang sifatnya akademik, pengalaman empirik juga memperkuat
bahwa pendidikan memiliki peran yang sangat luar biasa dalam memotong mata
rantai kemiskinan. Saat menjadi Direktur Politeknik Elektronika Negeri
Surabaya dan Rektor ITS, menambah dan memperkuat keyakinan saya akan hal
tersebut. Selain itu, terlalu banyak contoh seseorang yang masa lalunya
berada dalam kubangan kemiskinan, tapi dengan pendidikan yang baik mereka
bisa melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Bahkan bisa menjadi mesin
penggerak pembangunan bangsa. Sebut saja Chaerul Tanjung.
Pada saat uji
kelayakan dan kepatutan (fit and
propper test) sebagai menteri pendidikan, Presiden SBY dan didampingi
Wakil Presiden Boediono menyampaikan kerisauannya tentang akses ke Perguruan
Tinggi khususnya negeri bagi anak-anak yang berasal dari keluarga miskin.
Beliau menyampaikan, Pak Nuh tolong dipikirkan bagaimana caranya agar
anak-anak yang berasal dari keluarga miskin dan daerah 3T bisa kuliah.
Berangkat dari
keyakinan tentang peran pentingnya pendidikan dan pesan Presiden, maka
disiapkanlah kebijakan afirmasi beserta payung hukum, sumber pembiayaan,
petunjuk operasional dan pertanggung jawabannya. Hal ini penting untuk
dilakukan, agar dalam pengelolaan program dengan sumber pembiayaan berasal
dari APBN, harus dipastikan sesuai
peraturan dan perundangan. Maka dirumuskanlah kebijakan berupa
beasiswa yang meliputi pembebasan beaya pendidikan dan bantuan beaya hidup
yang lebih dikenal dengan Bidikmisi.
Awalnya, yang
menjadi payung hukum adalah peraturan menteri (2010), dikembangkan menjadi
peraturan pemerintah (2011) dan akhirnya diperkuat melalui Undang Undang
Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Di dalam Undang Undang
tersebut, sangat jelas bahwa setiap perguruan tinggi negeri harus menerima
minimal 20 % dari total penerimaan mahasiswa baru yang berasal dari keluarga miskin
dan daerah 3T. Dengan demikian, kebijakan ini bukan hanya menjadi tanggung
jawab kementerian atau pemerintah, melainkan menjadi tanggung jawab negara.
Pada tahun
akademik 2010/2011 kuota Bidikmisi hanya sepuluh ribuan mahasiswa, karena
hasilnya sangat menggembirakan, kuota tersebut dinaikkan setiap tahunnya
sehingga pada tahun 2014/2015 menjadi tujuh puluh ribuan mahasiswa. Dan total
penerima Bidikmisi sampai dengan tahun 2014/2015 sekitar dua ratus
ribuan. Alhamdulillah, program
Bidikmisi ini tetap dijalankan dan dikembangkan oleh Kemristekdikti. Terima
kasih Pak Nasir, Menristekdikti. Bersamaan dengan Bidikmisi, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan merintis dana abadi pendidikan yang disisihkan
setiap tahunnya dari anggaran Kemdikbud. Pada tahun 2014, dana abadi tersebut
terkumpul sekitar Rp. 16 Triliun dan dikelola bersama Kementerian Keuangan
melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sebagai Badan Layanan Umum
(BLU). Dengan tersedianya dana abadi tersebut, pemanfaatannya bisa lintas generasi.
Melihat
banyaknya penerima Bidikmisi yang berprestasi sangat luar biasa, maka sangat
sayang anak-anak seperti Ujang, Raeni dan Sopariah kalau hanya sampai jenjang
pendidikan S1. Untuk itu, dibuatlah skema afirmasi lanjutan bagi penerima
Bidikmisi yang berprestasi, yaitu S2 maupun S3 baik dalam maupun luar negeri
dengan memanfaatkan dana yang dikelola LPDP. Alhamdulillah, kini mereka sudah
berjumlah tiga ratusan ribu dan sudah ribuan yang melanjutkan jenjang S2 dan
S3. Insha Allah dalam kurun sepuluh tahun mendatang akan lahir generasi baru,
para sarjana, master dan doktor dari keluarga miskin. Saat itulah akan
terjadi kebangkitan kaum dhuafa. Mereka akan menjadi mesin penggerak kejayaan
Indonesia 2045. Mereka akan menjadi
pengibar bendera Merah Putih setinggi-tingginya, dan saat itulah para pendiri
bangsa dan orang tua mereka ‘tersenyum’ di alam ‘keabadian’. Tidakkah
pendidikan merupakan senjata paling ampuh untuk merubah dunia ! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar