Sedikit
Cuplikan Sejarah
di
Balik Debat Kandidat Pejabat Publik RI
Imam Budidarmawan Prasodjo ; Sosiolog dan Akademisi
Universitas Indonesia (UI)
|
DETIKNEWS, 02 April 2017
Mungkin banyak orang yang sudah lupa terhadap eksperimen
Debat "Calon Presiden" (Capres) RI yang pertama kali dilakukan pada
Selasa, 27 April 1999, di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK
UI), Salemba, Jakarta. Saya menggunakan tanda kutip dalam menuliskan
"calon presiden" karena saat itu, peserta debat, Dr Amien Rais
(Ketua Umum PAN), KH Didin Hafidhuddin (Partai Keadilan), Dr Sri Bintang
Pamungkas (Ketua Umum PUDI) dan Dr Yusril Ihza Mahendra (Ketua Umum PBB),
secara legal sebenarnya belum bisa dikatakan sebagai calon presiden RI.
Demikian juga saya gunakan kata "eksperimen"
karena acara ini diselenggarakan bukan oleh lembaga formal seperti KPU, namun
sekedar diselenggarakan oleh mahasiswa UI dalam wadah mahasiswa "Forum
Salemba." Kebetulan, saya sebagai dosen FISIP-UI ikut menyiapkan acara
ini bersama mereka, termasuk menyiapkan moderator debat, yaitu Eep Saefullah
Fatah (saat itu masih sebagai dosen FISIP-UI), Harkristuti Harkrisnowo (dosen
FH-UI), dan saya sendiri.
Walaupun acara debat ini diselenggarakan secara sederhana,
namun dibaliknya ada cita-cita besar untuk mendorong proses demokratisasi di
negeri kita. Acara ini secara sengaja dibuat sebagai rintisan membuka jalan
baru bagi berkembangnya budaya politik baru di Indonesia yang transparan dan
akuntabel.
Saat itu, sebagian orang mempertanyakan relevansi acara
debat yang diselenggarakan ini karena sistem pemilihan presiden yang berlaku
saat itu masih pemilihan tak langsung (via anggota MPR). Debat calon presiden
dianggap tak memiliki kaitan langsung dengan masyarakat pemilih, dan tak
memiliki fungsi dalam proses penentuan pilihan pemilih calon presiden yang
berdebat. Namun acara debat ini tetap diselenggarakan juga dan menjadi
tontonan menarik masyarakat luas. SCTV pada saat itu meliput LIVE acara ini
secara penuh, dan menyiarkan rekamannya berulang-ulang melihat tingginya
animo masyarakat melihat acara debat ini.
Sebagai bagian catatan sejarah, ada baiknya saya
ceriterakan apa yang terjadi di balik peristiwa ini. Ini bermula dari beberapa
mahasiswa UI yang tergabung dalam wadah "Forum Salemba," yaitu Agus
Haryadi (Ketua Senat Mahasiswa FMIPA-UI), Berlian Idriansyah Idris (Ketua
Senat Mahasiswa FK-UI), Veldy Verdiansyah (Ketua Senat Mahasiswa FKG-UI),
Arifin (Ketua Senat Mahasiswa FIK-UI) dan bebarapa teman lain yang saya tak
ingat lagi namanya. Selama terjadi gejolak reformasi tahun 1998-1999, para
mahasiswa ini cukup rajin datang ke rumah untuk berbincang tentang berbagai
hal terkait gerakan reformasi. Para pimpinan mahasiswa ini tertarik untuk
berdiskusi tentang langkah-langkah strategis apa yang harus dilakukan dalam
mengisi reformasi yang tengah berlangsung, dan salah satunya terkait dengan
bagaimana sebaiknya pemilihan presiden dan pejabat publik di Indonesia
dilakukan.
Masih terbayang dalam ingatan saya, wajah para mahasiswa
tampak berbinar bersemangat dalam diskusi ini. Saya katakan bahwa dalam
sistem demokrasi, pemilihan jabatan politis seperti bupati, gubernur, dan
bahkan presiden harus terbuka karena jabatan ini sejatinya adalah amanah
kekuasaan yang dititipkan rakyat kepada mereka. Rakyat adalah pemegang
kekuasaan sebenarnya, dan para pejabat itu sekedar "pelayan" yang
mendapat mandat rakyat untuk menjalankan tugas dalam merealisasikan cita-cita
proklamasi. Cita-cita itu, secara umum dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945,
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia.
Saya katakan pada anak-anak muda ini bahwa para pejabat
pemerintahan itu tak lebih sekedar "pesuruh rakyat," bukan
"raja." Karena itu, dalam memilih mereka, rakyat secara luas
sebagai pemegang mandat kekuasaan asli, harus terlibat langsung. Para
kandidat yang akan menempati posisi penting seperti Presiden, Gubernur,
Bupati harus diuji. Rakyat harus diberi ruang untuk bertanya dan mendengar
langsung apa yang ada dalam pikiran dan hati mereka.
Diskusi begitu hangat dilakukan karena apa yang
didiskusikan terasa sangat terkait dengan tuntutan kondisi sosial-politik
saat itu. Ada perasaan bahwa apa yang didiskusikan harus menjadi bagian
agenda aksi segera untuk mendorong perubahan yang tengah terjadi.
Dari sinilah, gagasan untuk bereksperimen menyelenggarakan
debat calon presiden secara terbuka dimulai. Saya katakan, mahasiswa harus
berperan dalam mengawal proses demokrasi ini. Debat capres perlu dilakukan
tidak saja ditujukan agar rakyat saat memilih pejabat tidak seperti
"membeli kucing dalam karung," tetapi juga untuk mendorong tumbuhnya
pemilih rasional. Pada saat yang sama, debat terbuka juga dapat berfungsi
sebagai bagian "desakralisasi" figur calon presiden. Rakyat harus
menyadari bahwa pejabat publik yang dipilihnya memiliki kelebihan dan
kekurangan, tak ubahnya seperti manusia biasa lainnya.
Dalam perjalanan bangsa, pada saat itu Indonesia memang
baru pernah memiliki figur presiden sebanyak dua kali, yaitu Presiden Sukarno
dan Presiden Suharto. Kedua figur ini dirasakan memiliki "kharisma"
yang begitu kuat sehingga praktis, semasa mereka berkuasa, rakyat tak berani
leluasa mengkritik mereka. Terlebih lagi terhadap Presiden Suharto, figur
yang dirasakan begitu "angker" karena sikap otoritariannya dalam
menjalankan kekuasaan.
Dalam konteks inilah, penyelenggaraan debat capres
memiliki makna strategis untuk mencegah munculnya pejabat-pejabat
kharismatis, yang terkesan sakral dan angker, yang pikiran dan tindakannya
tak boleh dipertanyakan rakyat. Selain itu, kita juga harus menjauhkan diri
dari bentuk-bentuk kepemimpinan kerumunan yang dihasilkan dari emosi masa.
Pejabat publik kita pilih lebih didasarkan atas pertimbangan rasional, bukan
karena ikatan-ikatan emosi dan primordial. Lihat artikel saya berjudul
"Kepemimpinan Kerumunan dan Ancaman Disintegrasi Bangsa", terbit
dalam Analisis CSIS: XXXII (3) 2003.
Akhirnya, para mahasiswa ini sepakat membuat panitia kecil
untuk menyiapkan debat capres. Seluruh figur politik utama yang saat itu
memiliki potensi untuk dicalonkan sebagai presiden diundang. Dari beberapa
tokoh yang diundang, hadir nama-nama yang saya sebutkan di atas, yaitu Dr.
Amien Rais, KH Didin Hafidhuddin, Dr Sri Bintang Pamungkas, dan Dr Yusril
Ihza Mahendra. Aula FKUI Salemba dipilih sebagai tempat debat. Saya
mengundang Eep Saefullah Fatah dan Harkristuti Harkrisnowo datang ke rumah
untuk menyiapkan pertanyaan dan menjadi moderator debat. Para mahasiswa
mengikuti semua proses ini. Saya yakin, ada proses pembelajaran yang sangat
berharga.
Acara debat capres pun berjalan cukup meriah dan mendapat
perhatian publik cukup luas karena diliput secara langsung oleh SCTV. Melihat
antusiasme rakyat begitu tinggi, stasiun televisi ini pun menyiarkan ulang
acara ini berkali-kali. Isi perdebatan menjadi perbincangan masyarakat.
Ada catatan kecil yang mungkin penting untuk disebut. Saat
itu Ibu Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDI Perjuangan) juga diundang,
namun entah apa alasannya, beliau tak hadir. Ketidak-hadiran tokoh ini,
sebenarnya tak dipermasalahkan oleh panitia. Namun rupanya memicu perdebatan
di sebagian kalangan masyarakat dan politisi pada saat itu. Pro-kontra
terjadi dan melebar dengan memperdebatkan penting tidaknya acara semacam ini
dalam membangun demokrasi di Indonesia.
Bagi kalangan politisi yang kontra terhadap acara ini
mencibir dan bahkan ada yang melontarkan kecurigaan bahwa acara ini memiliki
motif politik tertentu. Ada yang mengatakan, acara debat tak sesuai dengan
budaya Indonesia yang lebih mengedepankan musyawarah. Namun, tak sedikit juga
yang membela. Salah satu ungkapan pembelaan tercermin dalam ulasan Tabloid
Amanat yang saat itu terbit sebagai berikut:
"Terselenggaranya debat
Capres ini setidaknya telah mengukir sejarah baru dalam perpolitikan
Indonesia. Babak baru itu telah dimulai. Calon pemimpin, siapapun orangnya
ataupun bapaknya tak boleh tabu untuk didebat seputar persiapan diri yang
dimiliki. Rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan negeri ini berhak bertanya
dan tahu, sejauh mana kemampuan yang dimiliki pemimpinnya. Jika tidak, ini
sama saja mengulang kesalahan masa lalu yang telah terukir Soekarno dan
Soeharto. Soekarno yang mendapat kepercayaan yang sedemikian besar dari
rakyat dan hampir tanpa kontrol justru membawa bangsa ini pada demokrasi
terpimpin. Soeharto pun sama saja. Cek kosong yang didapatnya justru diisi
dengan membangun struktur kekuasaan yang tak kalah otoriternya dengan
Soekarno."
(Dikutip dalam Eriyanto, 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan
Politik Media. Yogyakarta: LKIS).
Demikianlah sedikit catatan latar belakang
terselenggaranya acara debat calon pejabat publik di Indonesia di masa-masa
awal. Catatan ini saya anggap penting karena mungkin saja pada saat ini
banyak orang yang mengira bahwa acara debat, baik dalam Pilkada atau pun
Pilpres, adalah sesuatu yang "given", yang sudah semestinya terjadi
begitu saja dan tak melalui liku-liku perjuangan untuk menyelenggarakannya.
Demokrasi dengan segala perangkat kelengkapannya memang harus selalu
diperjuangkan dan dilengkapi.
Saat ini penyelenggaraan debat calon pejabat publik
merebak. Saat saya menjadi salah satu anggota KPU (2001-2003), acara debat
Capres dan Cawapres untuk pertama kali masuk sebagai acara formal yang
diselenggarakan KPU. Setelah saya mengundurkan diri dari KPU, saya pun terus
ikut mendorong penyelenggaraan acara debat semacam ini. Dalam beberapa kali
kesempatan, saya ikut menjadi panelis atau moderator. Dalam penyelenggaraan
debat calon gubernur dan wakilnya di DKI Jakarta kali ini (2017), saya juga
mendapat kehormatan diundang untuk ikut mempersiapkannya.
Semoga acara debat sebagai bagian proses demokratisasi
dapat berjalan sesuai tujuannya, tidak dijadikan ajang saling menghina,
merendahkan, dan memicu konflik. Saat ini adalah saatnya membangun budaya
politik dewasa. Tanpa kedewasaan, demokrasi sebagai alat untuk memilih
"pelayan rakyat terbaik" akan gagal. Pesta demokrasi akan menjelma
menjadi huru-hara dan membawa derita. Sungguh semoga tidak terjadi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar