Politisasi
Proses Hukum
Todung Mulya Lubis ; Ketua Umum Ikatan Advokat
Indonesia (Ikadin)
|
DETIKNEWS, 02 April 2017
Proses hukum selama ini memakan waktu lama sekali,
bertahun-tahun dan bertele-tele. Sering juga proses hukum itu menguap di
tengah jalan, tak tahu di mana rimbanya.
Padahal proses hukum itu sejatinya harus dibuat secepat
mungkin karena setiap pencari keadilan membutuhkan kepastian hukum dan
tentunya juga keadilan. Dalam UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
pasal 2 (4) dikatakan bahwa Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan
biaya ringan. Memperlambat atau menunda proses hukum adalah mengingkari
keadilan. Justice delayed, justice
denied.
Proses hukum hendaknya jangan hanya ditafsirkan proses
peradilan semata. Dalam konteks ini proses hukum berarti proses dari tingkat
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan. Pengalaman praktik menunjukkan
bahwa bisa saja proses hukum di tingkat penyelidikan sudah dipersulit, lalu
di tingkat penyidikan semakin dipersulit, juga di tingkat penuntutan dan
peradilan. Atau kesulitan itu muncul di tingkat kepolisian atau kejaksaan
saja. Atau mungkin hanya di pengadilan saja.
Di mana pun kesulitan itu, yang kita saksikan adalah
molornya waktu entah sampai kapan berakhirnya. Pencari keadilan menjadi
terombang-ambing, tidak jelas nasibnya, berada di ujung tanduk, kehabisan
uang dan tenaga, lalu apatis dan bisa jadi kambuh penyakitnya. Malah ada yang
tak kuat dan meninggal dunia.
Kita tahu bahwa proses hukum itu membutuhkan ketelitian
dan kecermatan, dan itu butuh waktu, tetapi buat polisi, jaksa dan hakim yang
sudah terlatih (well trained), waktu itu bisa dipotong. Seharusnya ada batas
waktu yang wajar (reasonable) untuk membereskan proses hukum tersebut
sehingga pencari keadilan merasa tak dipermainkan, atau tak dijadikan obyek
pemerasan dalam hal dia ingin dipercepat proses hukumnya.
Dalam proses hukum ini banyak ruang untuk bermain, untuk
memperdagangkan keadilan. Antara lain menunda-nunda (buying time),
menegosiasikan pasal yang akan didakwakan, bermain dengan P-19 dan P-21, atau
mendeponir perkara. Semuanya ada harganya. Tentu saya tak mengatakan semua aparat
penegak hukum bermain, tetapi bagi mereka yang bermain, semua itu ada
harganya. Distorsi penegak hukum banyak terjadi di sini.
Tulisan ini tak bermaksud menolak proses penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan peradilan yang pendek atau kilat, tetapi hal itu
jelas diluar kelaziman. Kalau pemberkasan itu mau dilakukan maka ketelitian
dan kecermatan penyidik, penuntut dan hakim mutlak diperlukan, dan di sini
pasti ada proses waktu yang lumayan. Dalam kasus yang menimpa Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) terus terang kita melihat proses penyelidikan dan penyidikan
yang super cepat, yang di luar kelaziman. Penuntutan juga sangat cepat.
Apakah ini indikasi bahwa proses hukum kita mengalami kemajuan luar biasa?
Saya khawatir jawabnya tidak. Dalam kasus yang lain proses
hukum itu berjalan seperti siput yang merangkak. Jadi ada sesuatu yang
mendorong percepatan semua proses ini. Di sinilah saya merasa ada sesuatu
yang aneh yaitu proses hukum menjadi sandera dari pihak ketiga yang mendesak
dan mengancam agar kasus Ahok segera dilimpahkan ke pengadilan. Demonstrasi
besar digelar dengan harga mati bahwa kasus Ahok harus dilimpahkan ke
pengadilan.
Lantas, kasus Ahok masuk ke pengadilan sementara ribuan
kasus lain tertahan di tengah jalan. Aparat penegak hukum tertekan melihat
maraknya berita termasuk di media sosial sehingga proses hukum dibuat super
cepat. Padahal aparat penegak hukum tak berinduk pada media atau jajak
pendapat. Yang penting lengkapi pemberkasan, periksa semua saksi dan ahli
serta tersangka. Baru berkas dilimpahkan. Jadi jangan karena tekanan apapun
bentuknya. Sebagai orang yang belajar hukum saya merasa proses hukum seperti
ini tidak sehat buat integritas penegakan hukum.
Dalam proses persidangan kita juga sering menemukan
kejanggalan dan pelangaran hukum acara yang dalam beberapa hal terbungkus
dengan rasionalisasi hukum yang dipaksakan. Sidang terbuka kasus Jessica yang
disiarkan langsung oleh media televisi menurut hemat saya harus ditafsirkan
sebagai pelanggaran asas-asas hukum pidana dimana para saksi dan ahli yang
belum didengar keterangannya bisa mendengar kesaksian dan keterangan ahli
lain yang diperiksa terlebih dahulu. Akibatnya saksi dan ahli yang didengar
kemudian bisa saja mengubah kesaksian dan keterangannya, bisa saja mereka
mencari selamat karena tak mau mempertaruhkan kesaksian dan keahliannya
karena takut dengan opini publik. Proses pencarian kebenaran materiil bisa
terhambat dengan pelanggaran asas-aas pidana ini.
Dalam kasus Ahok kita melihat beberapa hal yang patut kita
pertanyakan. Beberapa saksi dan ahli kelihatannya memiliki benturan
kepentingan karena posisi mereka, ada bias. Ada juga saksi yang tak memenuhi
kualifikasi sebagai saksi sesuai definisi saksi dalam pasal 1 (26) KUHAP,
tapi tetap dihadirkan. Pertanyaannya: apakah memang diperlukan keterangan
saksi atau ahli dari mereka yang memiliki benturan kepentingan karena
posisinya, atau yang tak berkualitas sebagai saksi?
Sering pihak kepolisian atau kejaksaan teledor atau dengan
sengaja menampilkan seseorang yang posisinya sama dengan pelapor tetapi
tampil sebagai saksi atau ahli. Kapasitas sebagai apa itu bisa membuat kita
mengajukan pertanyaan lebih lanjut. Dalam kaitan ini terdakwa tentu bisa
menerima atau menolak kesaksian saksi atau keterangan ahli. Para kuasa hukum
bisa mengajukan pertanyaan dan keberatan. Ini semua bagian dari upaya
pembelaan yang mereka lakukan yang dalam hukum pidana harus diberikan secara
maksimal. Artikulasi pembelaan bisa jadi keras tetapi sejauh tetap berada
dalam koridor hukum acara dan majelis hakim menganggap tidak ada persoalan,
seharusnya proses itu diterima sebagai sebuah praktik beracara yang biasa.
Profesi advokat memang bertugas membela terdakwa yang
memberi kuasa kepada mereka, dan pembelaan itu adalah tugas mulia dalam
mencari kebenaran materiil. Dalam pasal 16 UU Advokat diatur bahwa para
advokat yang melakukan tugas profesinya di pengadilan dilindungi oleh hukum
melalui prinsip 'professional immunity'. Menggugat peran para advokat apalagi
menuduh mereka melakukan tindak pidana penghinaan pastilah akan mengurangi
kualitas pembelaan para kuasa hukum terhadap terdakwa. Adalah tidak lazim
menuduh kuasa hukum melakukan penghinaan untuk pekerjaan profesi advokat yang
dijalankannya di proses peradilan.
Tulisan ini dibuat bukan untuk melakukan pembelaan atau
pembantuan terhadap kuasa hukum Ahok, misalnya. Mereka tak membutuhkan
pembelaan karena mereka bisa membela diri mereka sendiri sebagai advokat.
Tulisan ini juga tak bermaksud memasuki wilayah substantial (materiil) karena
itu adalah domain para hakim yang mulia. Tetapi adalah tugas kita semua untuk
mengingatkan bahwa integritas proses hukum harus kita jaga dalam semua proses
perkara baik pada tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Hanya dengan terus menerus melakukan peringatan dan koreksi kita bisa
menjaga, merawat dan memperkuat Rule of Law, dan negara hukum yang kita
cintai ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar