Menjaga
Hak Hidup Transportasi Daring dan Konvensional Nontrayek
Agus Pambagio ; Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan
Konsumen
|
KOMPAS, 13 April 2017
Polemik soal keberadaan angkutan berbasis aplikasi telah
menyedot perhatian publik, setidaknya setahun terakhir. Kompetisi yang ketat
untuk memikat calon penumpang terbawa sampai ke jalanan, bahkan sempat
berujung ricuh di beberapa daerah. Karena itu, revisi Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan
Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek—yang dilakukan lewat serangkaian
konsultasi dengan para pihak—selayaknya diterima sebagai kabar baik.
Akan tetapi, harus dipahami keributan yang terjadi
belakangan antara angkutan kota (angkot) dan ojek sebenarnya bukan imbas
langsung dari Permenhub. Peraturan ini hanya diperuntukkan bagi kendaraan
umum roda empat nontrayek dan kendaraan daring roda empat.
Angkot dan ojek bukan obyek Permenhub No 32/2016. Angkot
merupakan kendaraan angkutan bertrayek. Namun, ojek tidak termasuk angkutan
umum manusia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
Permenhub No 32/2016 ditetapkan 28 Maret 2016 dan
diberlakukan pada 1 April 2016. Peraturan itu memuat klausul kewajiban
pemberlakuan enam bulan sejak diberlakukan yang berarti berlaku mulai 1
Oktober 2016. Akan tetapi, peraturan tersebut tidak operasional di lapangan.
Penolakan keras mengemuka, terutama dari pelaku atau operator layanan
transportasi dalam jaringan (daring/online). Sampai kemudian pemerintah
menyatakan revisi telah dirampungkan dan peraturan itu bakal diberlakukan 1
April 2017.
Revisi Permenhub justru memastikan adanya jenis angkutan
sewa khusus yang merupakan nomenklatur untuk mengakomodasi keberadaan taksi
daring. Akan tetapi, untuk menjamin perlakukan yang setara terhadap
penyelenggara angkutan orang nontrayek ada beberapa kewajiban, seperti surat
tanda nomor kendaraan (STNK) harus atas nama badan hukum, tak lagi
perseorangan sebagaimana terjadi saat ini. Pelaksanaannya memang tak
serta-merta, tetapi menunggu masa berlaku STNK berakhir.
Revisi itu dapat pula diartikan sebagai kepatuhan atas
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XIV/2016 atas permohonan pengujian
UU No 22/2009 Pasal 139 Ayat (4), ”Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan
oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Atas permohonan
pengujian yang diajukan tiga pengemudi angkutan aplikasi daring, MK
berkeputusan bahwa ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi.
MK berpendapat, keharusan berbadan hukum menjamin
kejelasan mekanisme penyelesaian sengketa. Pengguna jasa angkutan daring juga
mendapat kepastian jika ada keluhan atau tuntutan yang harus diajukan
manakala dirugikan.
Keberadaan badan hukum dari penyedia transportasi juga
memungkinkan pengenaan perpajakan yang lebih jelas. Selama ini taksi daring
bisa mengenakan tarif lebih murah, antara lain, karena statusnya yang bukan
perusahaan angkutan menjadikannya terhindar dari biaya-biaya seperti kir dan
kewajiban perpajakan
Permenhub hasil revisi, selain memuat ketentuan yang
menjamin hak hidup transportasi daring, sekaligus menjamin kompetisi adil di
antara para pelaku usaha. Dari 11 butir perubahan, materi Permenhub No
32/2016 hasil revisi merupakan penegasan bahwa tidak ada lagi perbedaan
(perlakuan) signifikan antara transportasi konvensional/resmi dan yang
berbasis layanan daring. Permenhub hasil revisi juga memasukkan klausul
adanya batasan tarif di mana tarif jenis angkutan sewa khusus diatur
berdasarkantarif batas atas dan bawah yang ditetapkan oleh kepala daerah atau
di wilayah Jabodetabek dapat dilakukan Badan Pengelola Transportasi
Jabodetabek. Bagi sebagian kalangan, pembatasan tarif atas dan bawah dianggap
bertentangan dengan mekanisme pasar dan cenderung memihak transportasi
konvensional.
Perlindungan
Akan tetapi, klausul ini justru merupakan pengaman atas
indikasi praktik predatory pricing yang saling memakan antar-penyelenggara
transportasi daring, bukan semata-mata transportasi konvensional versus
daring. Perang harga dengan menekan tarif serendah mungkin telah berimbas
pada persentase yang diterima pengemudi atau pemilik kendaraan. Realitas
kredit macet dan mobil yang ditarik leasing tentu merupakan alarm atas
praktik tidak sehat selama ini.
Revisi Permenhub juga memberikan kewenangan kepada kepala
daerah untuk memutuskan batasan jumlah kebutuhan (kuota) kendaraan jenis
angkutan sewa khusus. Klausul ini didasari pemahaman bahwa pemerintah daerah
yang paling memahami kondisi di daerah, termasuk kondisi dan kapasitas jalan
raya.
Karena itu, sudah semestinya jika keberadaan taksi daring
dan konvensional dibatasi. Perlu juga diperhatikan bahwa Pasal 156 UU No
22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan kebutuhan angkutan
orang tidak dalam trayek diumumkan kepada masyarakat.
Sejumlah perbaikan juga dilakukan dalam revisi Permenhub
tersebut, termasuk untuk mengakomodasi keberatan pelaku transportasi daring.
Misalnya, terdapat pengaturan mengenai kapasitas jenis kendaraan yang
dipergunakan di mana kendaraan angkutan sewa umum tetap minimal 1.300 cc dan
sewa khusus minimal 1.000 cc. Klausul mengenai kewajiban adanya pool kemudian
direvisi dengan tempat penyimpanan kendaraan sesuai dengan kendaraan yang
dimiliki agar tak terjadi praktik memarkir kendaraan di sembarang tempat.
Keharusan memiliki bengkel juga direvisi dengan klausul yang memungkinkan
kerja sama dengan bengkel resmi. Bukti lulus uji berkala kendaraan bermotor
yang semula dilakukan dengan cara pengetokan menjadi pemberian pelat yang
di-embosse di mana detail teknisnya akan diatur dengan peraturan Direktur
Jenderal Perhubungan Darat.
Dengan mempertimbangkan konsumen serta pembinaan dan pengawasan
operasional, akses digital dashboard diwajibkan dengan memuat profil
perusahaan, operasional harian pelayanannya, serta data-data kendaraan dan
pengemudi yang bekerja sama.
Secara keseluruhan, substansi yang termuat dalam Permenhub
hasil revisi tersebut juga memuat prinsip-prinsip yang jamak diberlakukan di
negara maju lain.
Benar bahwa revisi Permenhub No 32/2016 tidak seketika
menjadi obat mujarab untuk mengatasi pertentangan antara transportasi
konvensional dan berbasis daring. Akan tetapi, substansi Permenhub itu
setidaknya telah mencerminkan prinsip keamanan atau keselamatan, kesetaraan,
serta kebutuhan publik sebagai aspek mendasar yang diperhatikan dan
dipertimbangkan saat revisi dilakukan.
Guna memastikan implementasinya tak lagi bermasalah, masih
harus dilaksanakan sosialisasi lebih luas dengan menyampaikan alasan-alasan
yang jelas dan mudah dicerna masyarakat sebelum dan sesudah pemberlakuannya
pada 1 April 2017. Lalu, lakukan penegakan hukum yang setara untuk keduanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar