Menebak
Arah Transaksi NCD
Haryo Kuncoro ; Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic
& Educational Business Institute) Jakarta; Doktor Ilmu Ekonomi UGM
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Maret 2017
KETATNYA likuiditas perbankan sudah terasa selama setahun
terakhir. Pembatasan suku bunga membuat simpanan di perbankan relatif kurang
menarik. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sepanjang 2016 melambat menjadi
9% yang jauh lebih rendah ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Selama periode
yang sama, kredit yang disalurkan perbankan tumbuh hanya 7,9% secara tahunan.
Akibatnya, LDR (loan to deposit ratio) masih di atas zona aman 90%. Di saat
kelangkaan DPK, perbankan juga terbelit kredit macet di seputar level 3% yang
lagi-lagi lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di sisi
lain, perbankan tetap menaruh harapan besar pada tingginya pertumbuhan kredit
pada tahun ini. OJK memproyeksikan kredit domestik dalam nominasi rupiah akan
menembus 9%-11%.
Bahkan, perkiraan BI sedikit lebih optimistis dengan
estimasi 10%-12% sampai akhir 2017. Kenyataan itu menggiring pada pertanyaan
apakah perbankan mampu menyelaraskan antara fakta dengan optimisme? Fakta
ialah kenyataan yang telah terjadi, sementara optimisme ialah harapan yang
belum pasti kesampaian. Konkretnya, perbankan dihadapkan pada masalah yang
paling hakiki, yakni fungsi intermediasi. Alhasil, Bank Indonesia (BI) terus
mencari formula yang tepat agar problem likuiditas perbankan tidak mengganggu
fungsi intermediasi. Sayangnya, upaya awal dari jalur suku bunga acuan nyaris
sudah tertutup. Tekanan internal dan eksternal sangat kuat untuk membuat
7-day reverse repo rate status quo bahkan malah terkerek naik.Seperti sadar
ruang gerak suku bunga acuan semakin terbatas, BI lebih memilih strategi 'bermain
cantik' melalui pengendalian kuantitas daripada mengubah harga. Dalam
perspektif teori, permintaan berinteraksi dengan penawaran.
Keluaran dari interaksi tersebut ialah kuantitas dan harga
keseimbangan. Dengan alur logika itu, BI mengubah orientasi operasi pasar
terbuka (OPT) untuk tenor selain 1 minggu diserahkan pada kekuatan pasar.
Karenanya, suku bunga pasar dimungkinkan bervariasi sesuai tenor ketersediaan
likuiditas. Dengan kecukupan likuiditas, BI berekspektasi bisa menahan
perbankan mengerek suku bunga. Ekspektasi BI niscaya akan terwujud dalam
kondisi tidak ada kendala institusional. Dengan struktur industri perbankan
Indonesia yang oligopolis, perubahan OPT tidak serta-merta menggeser kurva
penawaran, melainkan sebatas pada mengamankan likuiditas alih-alih memotong
suku bunga. Tesis di atas sepertinya terbukti. Transaksi perdana skema baru
OPT pada Februari belum sesuai harapan BI. Mekanisme lelang OPT menghasilkan
tipisnya suku bunga diskonto diferensial antartenor.
Praktis, hampir tidak ada perbedaan return antara memegang
surat berharga dengan tenor, misalnya, 1 bulan dengan 2 bulan. Kurang
optimalnya peran OPT sejatinya bisa dimaklumi. Perbankan agaknya lebih
berkepentingan dengan likuiditas jangka panjang. Sementara itu, OPT
menghendaki penjaminan surat berharga negara (SBN). Alhasil, perbankan
memilih berburu likuiditas jangka pendek di pasar uang antarbank daripada
menggadaikan SBN ke BI. Inti persoalannya ialah informasi yang tidak simetris
antara BI dan perbankan. Perbankan lebih tahu perihal kondisi likuiditasnya.
Sebaliknya, BI hanya bisa meraba yang belum tentu benar. Jika rabaan BI ini
digunakan sebagai rujukan, efektivitas kebijakan BI akan semakin menjauh dari
sasaran. Guna memastikan kondisi likuiditas perbankan, mulai 1 Juli 2017 BI
memberi payung hukum pada NCD (negotiable certificate of deposit) yang dapat
diperjualbelikan di pasar sekunder. Upaya ini menyasar pada transaksi antara
perbankan dengan investor alih-alih dengan BI sebagaimana dalam OPT.
Bank yang mengalami kesulitan likuiditas dapat mencari
dana di pasar uang yang lebih murah jika dibandingkan dengan di pasar ritel
yang memiliki tingkat kompetisi yang lebih tinggi. Sementara itu, investor
dapat memperoleh imbal hasil sekitar 6% hingga 8% yang sedikit lebih tinggi daripada
deposito berjangka pada umumnya. Target yang dibidik ialah pendalaman pasar
uang. Dengan aktifnya pasar sekunder, bank diharap semakin giat menerbitkan
NCD baik dari sisi volume maupun nilai yang berarti memiliki alternatif
pembiayaan terutama untuk tenor jangka panjang sehingga mismatch pendanaan
bisa teratasi. Hanya saja, pokok persoalannya mirip dengan OPT. Pasar NCD
untuk semua tenor belum solid terbentuk. Artinya, BI harus membangun terlebih
dahulu tipikal pasarnya. Ketiadaan pasar yang mampu menyediakan wadah untuk
bertransaksi potensial berefek bumerang bagi perbankan.
Konkretnya, kekurangan likuiditas perbankan, misalnya,
untuk tenor 2 tahun. Sementara itu, segmen pasar yang aktif terbentuk
sementara baru eksis untuk jangka waktu 12 bulan. Guna menghindari
opportunity cost yang lebih besar, perbankan terpaksa menerbitkan NCD
bertenor 12 bulan. Konsekuensinya, perbankan harus bertransaksi di pasar
sekunder selama dua kali berturut-turut dengan menanggung beban biaya
tambahan ketika likuiditasnya buru-buru akan dipergunakan untuk tujuan
intermediasi. Artinya, kaidah efisiensi tidak tercapai. Sebaliknya, kelebihan
likuiditas perbankan akan mengumpul pada satu NCD tenor tertentu yang
dianggap paling 'aman'. Artinya, efek NCD niscaya gagal mengondisikan suku
bunga yang bertenor lebih panjang. Lagi pula, transaksi NCD ditentukan
melalui mekanisme pasar berdasarkan kekuatan pasar antara permintaan dan
penawaran. Jika terjadi kekurangan penawaran, misalnya, suku bunga diskonto
ekuilibrium hasil interaksi penjual dan pembeli bisa turun drastis.
Sebaliknya, dalam kasus terjadi kelebihan penawaran, suku
bunga diskonto hasil kesepakatan bisa melejit jauh melampaui takaran
toleransi BI. Suku bunga diskonto di pasar NCD tidak lagi merefleksikan
kondisi likuiditas yang sebenarnya. Jika kecenderungan ini yang terjadi, daya
dorong NCD untuk memangkas suku bunga kredit boleh jadi bakal berkurang.
Perbankan kian sulit diharapkan secara agresif menurunkan suku bunga kredit.
Karenanya, target suku bunga kredit single digit pada tahun ini bakal kembali
gagal terealisasi. Alhasil, tanpa sosialisasi yang komprehensif, instrumen
NCD bakal kurang atraktif. Bukan mustahil, NCD akan dihadapkan pada salah
satu pilihan antara tujuan stabilisasi suku bunga atau likuiditas. Risiko
yang paling berat ialah stabilitas suku bunga tidak terkelola, sementara
perbankan masih saja mengalami kelangkaan likuiditas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar