Intoleransi
Mengontaminasi Anak-Anak
Bagong Suyanto ; Dosen Mata Kuliah Masalah Sosial Anak
di Prodi Sosiologi FISIP, Universitas
Airlangga
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Maret 2017
KEKHAWATIRAN bahwa intoleransi telah ditanamkan sejak dini
ke anak-anak telah dilontarkan berbagai kalangan. Beredarnya video anak-anak
SD di media sosial yang membawa simbol agama tertentu dinilai sejumlah
kalangan dapat menebar kebencian dan mengancam kebinekaan (Media Indonesia,
29 Maret 2017). Video yang menjadi viral di dunia maya ini ialah salah satu
bukti meningkatnya intoleransi di kalangan pelajar dan anak muda, yang
berpotensi menjadikan simbol agama untuk kekerasan dan memperalat anak
menumbuhkan kekerasan. Di era perkembangan masyarakat digital (digital society),
risiko anak-anak terpapar sikap intoleransi dan radikalisme harus diakui
memang makin besar. Dari pemberitaan media massa, kita bisa melihat bahwa
yang disebut teroris kini tidak lagi selalu sosok orang dewasa yang fanatik,
soliter, atau mantan orang-orang yang pernah terlibat dalam aksi konflik
terbuka di berbagai daerah atau di luar negeri. Tetapi, sebagian di antaranya
ternyata ialah anak-anak masih masih belia berusia sekitar 14 hingga 17
tahun.
Sejak dini
Di Indonesia sendiri, kenapa paham radikal menyusup ke
anak-anak, dan aksi terorisme kini mulai menyasar merekrut anak-anak di bawah
umur, paling tidak berkaitan dengan dua hal sebagai berikut: Pertama, karena
kehadiran dan penyebarluasan penggunaan media sosial diakui atau tidak telah
membuka peluang baru bagi kelompok radikal untuk menyebarluaskan ideologi
mereka kepada anak-anak yang sekarang ini merupakan pengguna terbesar
teknologi informasi. Di era masyarakat digital, kemungkinan anak-anak
direkrut menjadi pelaku terorisme tidak hanya terjadi di berbagai wilayah
konflik di mana anak-anak biasanya dengan mudah dilibatkan menjadi bagian
dari child soldier. Tetapi, dalam lingkungan masyarakat yang sedang tidak
berperang pun, saat ini bukan tidak mungkin pengaruh paham radikalisme
menyusup diam-diam melalui rumah dan kamar-kamar anak yang tertutup.
Namun, di sisi lain terbuka dari kemungkinan penetrasi
paham radikalisme melalui internet. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet (APJII) 2015, di Indonesia paling-tidak terdapat 88,1 juta jiwa dari
total penduduk Indonesia yang berjumlah 255 juta jiwa yang hari ini terhubung
dengan internet. Dari 88,1 juta kelompok netizen itu, media sosial ialah yang
saluran komunikasi paling banyak dikunjungi. Setiap hari ada sekitar 76 juta
(87,4%) netizen yang melakukan perbincangan di jejaring sosial. Di mana
sebagian besar di dalamnya umumnya ialah anak-anak dan remaja yang merupakan
pengguna dawai paling banyak. Melalui berbagai situs dan akun yang dimiliki,
kini bukan hal yang sulit bagi kaum radikal untuk merekrut anggota-anggota
baru melalui bujuk-rayu yang mereka tawarkan melalui media sosial. Di
internet, anak-anak dengan leluasa bisa mengakses konten-konten radikal tanpa
filter yang memadai.
Melalui internet pula anak-anak bisa belajar bagaimana
merakit bom dan belajar melakukan pemetaan wilayah untuk menentukan lokasi
yang prioritas mereka hancurkan. Kedua, karena perubahan pendekatan yang
dikembangkan kelompok radikal dalam membangun pondasi perjuangan mereka mulai
dari bawah, yakni melalui proses pembibitan dalam bentuk nucleus-nucleus
kelompok mandiri yang jumlahnya kecil, tetapi efektif. Lembaga pendidikan
prasekolah yang sebelumnya sama sekali tidak disentuh, kini ada indikasi
menjadi media yang efektif untuk memulai sejak dini penyusupan pengaruh sikap
intoleransi di kalangan anak-anak. Di berbagai daerah, kini tanpa terasa
sikap intoleransi pelan-pelan telah berkembang dan dikembangkan sejak dini
melalui lembaga pendidikan mulai dari jenjang PAUD dan Taman kanak-Kanak.
Anak-anak sekolah di usia dini, tanpa disadari orangtuanya pelan-pelan mulai
dicekoki dengan sikap intoleransi yang membagi tegas siapa teman (in-group),
dan siapa lawan (out-group). Meski masih harus dikaji lebih mendalam, kita
tidak bisa menutup mata bahwa ada sejumlah lembaga pendidikan yang sejak awal
telah menyusupkan paham-paham intoleransi ke benak peserta didik hingga tanpa
sadar mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang antipluralisme--yang
cenderung menyikapi perbedaan secara hitam-putih.
Deradikalisasi
Merekrut anak sejak dini sebagai bagian dari kelompok
intoleran harus diakui memang membutuhkan kesabaran dan baru dalam jangka
panjang bisa dipetik hasilnya. Tetapi, dengan memilih anak-anak untuk
diindoktrinasi dan direkrut sejak dini sesungguhnya merupakan investasi yang
berbahaya karena dampaknya tidak seketika dirasakan. Bisa dibayangkan, jika
anak-anak sejak dini telah diindoktrinasi dengan sikap intoleransi, dalam 10
atau 20 tahun ke depan sesungguhnya jangan kaget jika bangsa Indonesia tumbuh
menjadi masyarakat yang rapuh dan rentan terjerumus dalam situasi konflik
internal yang berkepanjangan karena sensitivitas yang tidak pada tempatnya.
Untuk melakukan deradikalisasi dan mencegah agar anak-anak tidak menjadi
korban pengaruh buruk paham radikalisme, yang dibutuhkan dewasa ini tidak
hanya kehati-hatian sikap pemerintah--dalam hal ini Kementerian dan Dinas
pendidikan--untuk terus memantau perkembangan sikap intoleransi dalam proses
pembelajaran di jenjang pendidikan PAUD.
Tetapi, yang tak kalah penting ialah bagaimana
menumbuhkembangkan tingkat literasi informasi anak sejak dini agar tidak
mudah terjerumus pengaruh negatif teknologi informasi dan internet. Memblokir
situs-situs yang berbahaya memang perlu dilakukan. Namun demikian, di saat
yang sama pemerintah seyogianya juga mengembangkan narasi-narasi tandingan
yang bisa menjadi counter-culture terhadap pengaruh paham radikalisme yang
disebarkan melalui media sosial. Ujaran yang menyejukkan, ajaran yang
mengedepankan kedamaian, kerukunan umat beragama, saling menyapa
antargolongan dan ras ialah narasi-narasi tandingan yang perlu terus
dikembangkan untuk menetralisasi agar anak-anak kita tidak tumbuh menjadi
bangsa yang fanatik dan radikal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar