Syukuran
dan Selamatan Nasional
Mohamad Sobary ;
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 14 Juli 2014
Syukuran
dan selamatan itu sebetulnya bisa diringkas menjadi satu: alhamdulillah. Ketika suatu pekerjaan
penting selesai dengan baik ucapan apa yang paling tepat, cepat, dan spontan,
selain alhamdulillah? Apa lagi yang
harus dikatakan begitu melihat semua dalam keadaan selamat, selain alhamdulillah? Kenyataan bahwa kita
bisa bersyukur pun tak ada sambutan lebih baik selain alhamdulillah.
Di
sini, jadinya kita bersyukur karena kita bisa bersyukur. Bisa bersyukur itu
sendiri sebuah berkah. Betapa ”menyimpang” tingkah laku kita bila kita tak
mampu sekadar bersyukur. Bersyukur tidak selalu mahal dan memang tidak mahal.
Asal kita punya hati, niscaya kita bisa bersyukur. Syukuran, dan dalam
konteks lain kita namakan selamatan, memang lebih mahal. Syukuran yang dalam
arti tertentu juga selamatan itu wujud syukur yang dibikin lebih sosial dan
lebih dari sekadar urusan pribadi. Adapun wujud dan pelaksanaan syukuran yang
juga berarti selamatan tadi berbeda dan banyak variasinya antara satu
masyarakat dan masyarakat lain.
Kita
juga bisa mengatakan itu berbeda antara satu jenis kebudayaan dan jenis
kebudayaan lain. Syukuran atau selamatan itu dilaksanakan di dalam bingkai
yang sifatnya lebih umum, lebih merangkum, lebih akomodatif: kendurian. Kita
tahu, kendurian itu bisa kecil, hanya menampung beberapa keluarga, tetapi
bisa juga kendurian mengundang satu dusun atau kampung, satu desa, satu
kecamatan, satu kabupaten, dan seterusnya, hingga kita pun mengenal ungkapan
”kenduri nasional”.
Kita
ini ibaratnya hidup dalam bingkai syukur. Ada yang punya anak laki-laki, yang
diberi nama Syukur atau Syakir untuk tanda bahwa dia bersyukur atau berharap
si anak kelak menjadi anak saleh yang pandai bersyukur. Kalau kita dicermati
dengan baik, akan tampak jelas bahwa hidup ini rangkaian syukur demi syukur
yang begitu panjang dan kita bikin mapan, kokoh, tapi fleksibel dan rutin di
dalam tradisi. Syukur itu kita tradisikan. Kita membangun rumah, syukuran.
Memasuki rumah, syukuran. Pindah dari rumah itu, syukuran. Tiba di rumah berikutnya,
kita juga syukuran. Pendek kata, kita ini bangsa yang sangat pandai
menyelenggarakan syukuran.
Kita
merasakan bahwa syukuran itu bukan lagi unsur luar dari hidup kita. Dia sudah
lama menjadi unsur dalam karena syukuran sudah menjadi kebudayaan kita.
Mungkin kita ini memang si Syukur atau si Syakir. Sebetulnya syukuran atau
selamatan itu konsep yang hidup di dalam alam kesadaran kita. Dia ada di
wilayah psikologi. Tapi, kenduri atau kendurian lain lagi. Dia menghuni
wilayah sosial kita. Kenduri menjadi wujud organisasi untuk
terselenggarakannya gagasan syukuran atau selamatan tadi. Syukuran atau
selamatan tanpa kenduri atau tanpa kendurian, si Syukur dan si Slamet akan
kelihatan bisu, sunyi, tanpa bunyi tanpa suara, dan tanpa rupa. Soalnya, bisa
saja syukuran dilaksanakan di dalam hati. Bisa pula suatu jenis selamatan
yang dibingkai secara personal, sunyi dalam kesendiriannya, bahkan dalam
kesendiriannya tadi bisa tanpa kata-kata.
Ada
antropolog terkemuka Amerika, almarhum Clifford Geertz, yang mencatat
fenomena yang kita bicarakan ini dengan sedikit rasa heran: ”Di pusat seluruh sistem keagamaan orang
Jawa terdapat suatu upacara yang sederhana, formal, tidak dramatik, dan
hampir-hampir mengandung rahasia: selamatan .” Ini dapat dibaca di dalam
bukunya klasiknya, The Religion of Jawa,
atau dalam versi terjemahan bahasa Indonesianya, yang diterbitkan Pustaka
Jaya pada 1980-an yang lalu.
Sesudah
menyampaikan pernyataan itu Geertz bingung, ketika menambahkan: kadang-kadang
disebut juga dengan kenduren. Bukan. Kenduren buka sinonim, bukan kata lain,
pun bukan sebutan lain dari selamatan tadi. Kenduren, bahasa Indonesianya
”kenduri” atau ”kendurian”, merupakan wadah, organisasi, wujud, dan bentuk event dari selamatan tadi agar
selamatan punya dimensi sosial dan tampil ke dalam wilayah sosial kita. Saat
ini kita berada dalam suatu momentum ”kosong” ketika pemilu baru saja
selesai. Kita menunggu pengumuman resmi KPU.
Memang,
dengan begitu, kita tahu pemilu belum selesai secara tuntas, semata karena
masih menunggu formalitas pengumuman. Tapi, pemilu lewat dan segalanya
berjalan lancar dan selamat, tak terjadi suatu gangguan apa pun. Apa anugerah
sebesar ini tak layak kita sambut dengan agak sedikit meriah, boleh ada musik
”jreng” ”jreng”, ”jring” ”jring ”, boleh saja dengan suara-suara yang lebih
membahana, seolah menggedor-gedor pintu langit, apa salahnya asal kita
khusyuk? Juga tulus hingga ke dasar hati yang terdalam? Kita layak syukuran
atau selamatan karena bukankah hajat nasional itu telah berlangsung slamet ?
Syukuran
dan selamatan itu layak kita selenggarakan dalam suatu kenduri atau kendurian
nasional. Semua pihak kita undang. Bahwa tak semua bisa hadir itu soal lain
dan tak kita sebut sebagai ”soal”. Biarlah yang tak hadir itu tak hadir
secara fisik, tapi semoga hatinya, jiwanya, bersama kita. KPU-lah yang paling
layak. Kalau budget KPU sudah mendekati kering, bisalah bergabung dengan
lembaga lain, terserah, bahkan tidak memakai biaya pun kenduri nasional itu
bisa diselenggarakan. Tanya saja pada relawan. Mereka ahli mengelola suatu
event besar tanpa biaya. Apa yang dibicarakan dalam kenduri yang akan kita
adakan itu? Tidak ada.
Ini
bukan saat ketika kita harus berbicara. Sudah kelewat banyak yang kita
bicarakan. Sudah banyak kata-kata kita hamburkan ke langit dan entah sekarang
menempel di mana. Sejak kampanye, debat capres dan cawapres itu, kita bicara
melulu. Bahkan banyak unsur dalam pembicaraan kita tadi yang bisa di golongan
”omong kosong” karena bicara akan berhenti pada bicara. Jadi bakal tak
terlaksana. Lebih baik, kenduri nasional yang tak perlu memakai biaya negara
itu diselenggarakan dengan uang rakyat yaitu orangorang yang sudah luluh
dengan ikhlas menjadi sukarelawan itu. Bukankah kalau biaya itu dikeluarkan
dari anggaran pemerintah, artinya itu biaya rakyat juga? Tanpa rakyat,
pemerintah tak pernah punya uang.
Di
tempat di mana kendurian diselenggarakan, tak perlu pidato, tak perlu
sambutan, tak perlu pertanggungjawaban keuangan, karena bukankah tak tersedia
uang apa pun dan berapa pun? Yang terjadi ialah kebisuan yang menggapai
langit. Dalam bisu, Tuhan Mahatahu apa maksud yang disampaikan. Kita memuji
syukur, dan syukur yang dalam, dan ikhlas yang tinggi, karena kita bisa
menyelenggarakan pemilu yang bagus dan kita semua selamat. Syukur.
Alhamdulillah. Puji Tuhan Yang Maha Terpuji, yang memberi kita keselamatan.
Di sini bangsa kita bersyukur. Kita kenduri. Kita selamatan. Kita syukuran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar