Masalah
Relasi dalam Keluarga
Sawitri Supardi Sadarjoen ;
Penulis Rubrik Konsultasi Psikologi
Harian Kompas, Dekan Fakultas Psikologi Universitas YARSI
|
KOMPAS,
20 Juli 2014
PRIA
(L) sekitar usia 43 tahun telah melakukan berbagai usaha untuk menghangatkan
kembali sikap istrinya, tetapi tidak berhasil. Saya bertanya, sejak kapan dia
merasa bahwa sikap istrinya berubah menjadi acuh tak acuh, dingin. Apa saja
yang telah dia lakukan untuk membuat istrinya bergairah dan ”happy” kembali.
Kami
sudah menikah sepuluh tahun. Semula istri saya (M, 40 tahun) adalah pribadi
yang ceria, dan kami sudah punya 2 anak yang berprestasi di sekolah. Namun,
dalam 6 bulan terakhir, sikapnya terhadap keluarga kelihatan berubah. Istri
saya tampak murung, kurang bergairah, dan segala sesuatu ia kerjakan dengan
sikap yang datar, jarang tertawa, bahkan senyumnya yang dulu manis dan tulus
lama-kelamaan hilang.
Walaupun
ia tetap menjalankan tugas rumah tangga dengan baik, menuruti kemauan saya
dalam artian patuh, tidak pernah protes, tetapi semakin hari semakin pendiam
dan hanya bicara seperlunya. Sikap terhadap anak-anak pun berubah dan tampak
”cuek”, acuh tak acuh. Terasa pula dalam hubungan intim pun tampaknya hanya
sekadar memenuhi kewajiban. Memang saya terkadang kesal, tetapi saya tidak
menunjukkan reaksi yang negatif.
Ketika
saya tanya kenapa sikapnya berubah, ia hanya mengatakan, ”Ah, enggak ada apa-apa, biasa saja, sudahlah jangan tanya-tanya.”
Ibu,
saya sangat mencintai istri saya. Ia ibu yang baik untuk anak-anak, ia juga
punya karier membanggakan walaupun untuk masalah penghasilan, saya masih
mengunggulinya. Urusan rumah tangga pada umumnya pun dilakukan dengan baik.
Saya bingung apa yang harus saya lakukan lagi untuk mengembalikan kondisi
istri saya.
Saya
mencoba pulang lebih awal dari kantor agar bisa cepat bertemu dengan istri
dan anak-anak. Setiap akhir pekan selama ini saya ajak keluarga keluar rumah
untuk jalan-jalan, makan di restoran dan terkadang menonton film bersama.
Tadinya saya khawatir kalau istri memiliki pria idaman lain, tetapi
kecurigaan tersebut saya abaikan karena memang tidak ada bukti nyata. Pernah
juga saya menginterogasinya tentang kecurigaan saya tersebut. Kecuali itu, saya
juga menanyakan apa saja yang ia lakukan dengan ibunya saat ia menemui
ibunya.
Tiga
minggu yang lalu saya ajak istri saya berlibur ke Bali, tanpa anak-anak
selama 3 hari. Tampak sinar mukanya agak bercahaya dan saat kita berdua
melihat pertunjukan kesenian Bali, ia mau menyampaikan pendapatnya tentang
tarian Bali dan kostumnya sambil menunjuk salah seorang penari yang
benar-benar menguasai tarian dengan baik. Saat itu ia mau tersenyum dan mau
memandang muka saya saat berkomentar. Saya senang dan saya raih tangannya dan
saya genggam dengan hangat. Tetapi, keluar dari gedung pertunjukan, sikapnya
yang murung muncul kembali.
Membina relasi
Apabila
saya simak apa yang dilakukan Tn L terhadap istrinya, Ny M, untuk mengatasi
masalahnya dengan sang istri sudah sangat sesuai dengan pada umumnya keluarga
bahagia. Tentu saja apabila hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk secara
tulus dan sungguh-sungguh membina kembali relasi yang penuh kasih.
Memang
apabila kita simak, banyak sekali artikel di media masa yang memberikan tips
tentang cara membina kembali relasi dengan pasangan agar dinamis, nyaman, dan
penuh kasih. Tampaknya usaha Tn L telah memenuhi berbagai tips tersebut.
Namun, mengapa sang istri tidak menunjukkan perbaikan respons, bisa
disebabkan kekecewaan yang diderita istri akan perlakuan suaminya lama telah
dirasakannya sebelum 6 bulan terakhir ini. Enam bulan terakhir ini rupanya
puncak kejengkelan dan kekecewaan terhadap suami yang mungkin bertahun telah
diderita istrinya tanpa setahu Tn L.
Menurut
Tn L, istrinya adalah pribadi yang patuh, menuruti kemauan suami dan jarang
secara terbuka mengutarakan apa yang dirasakan pada dirinya. ”Saya pikir,
semua berjalan baik dan kondisi keluarga cukup harmonis,” demikian lanjut Tn
L. Untuk itu, Tn L seyogianya mengikuti rangkaian tambahan upaya dengan
langkah-langkah berikut ini:
•
Introspeksi diri, seberapa nuansa sikap keras dan dominan yang dilakukannya
terhadap Ny M selama 12 tahun pernikahan, adakah respons spesifik yang
diberikan istrinya karena menurut ungkapan di atas, Tn L menyatakan bahwa
istrinya patuh, menuruti kemauannya, terkesan tidak berdaya. Seberapa
keraskah nada suaranya saat berbicara dengan istri sehingga istri kemudian
terdiam dan memilih menuruti kemauannya dalam segala hal. Bagaimanakah relasi
intim dengan istri terjadi, apakah ada pemaksaan respons tertentu, yang
mungkin saja menyiksa batin istri, tanpa dirasakannya.
Adakah
kesempatan bagi istri untuk mengeluhkan hal itu kepada dirinya? Bagaimana
pengelolaan keuangan penghasilan keluarga, adakah kesepakatan yang dengan
tulus diutarakan istri atau semua bergantung pada kemauannya sendiri? Adakah
usul-usul tentang pengelolaan keuangan dipertimbangkan oleh dirinya?
•
Adakah kesempatan istri untuk tertawa lepas dan merasa aman dengan pilihan
perilaku yang ditampilkan dalam kehidupan keseharian? Adakah tuntutan istri,
misalnya tentang hal kebersihan dirinya saat berangkat tidur dan atau cara
meletakkan pakaian kotor di kamar atau kamar mandi, dan lain-lain dalam
keseharian di rumah yang dipatuhinya?
•
Integrasikanlah upaya perbaikan perilakunya sesuai jawaban akan pertanyaan-
pertanyaan introspektif tersebut dengan sejumlah upaya perbaikan nyata
seperti yang sudah dilakukannya.
Jadi,
hanyalah Tn L yang mampu dengan tepat mendapatkan cara-cara tepat dalam
mengatasi kemelut relasi dengan istrinya demi tercipta harmoni relasi yang
hakiki, penuh kasih yang tulus Tn L dan istrinya, Ny M.
Dengan
kata lain, Anda adalah orang yang paling ahli dalam mengatasi masalah relasi
dalam keluarga Anda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar