Semangat Tebu
Preman dan Bibir Terkatup
Dahlan Iskan ; Menteri
BUMN
|
JAWA
POS, 21 Juli 2014
Waktu saya duduk-duduk santai di bawah pohon besar bersama
seluruh karyawan inti di halaman Pabrik Gula (PG) Kwala Madu, Langkat,
Sumatera Utara, Jumat sore lalu (18/7), tiba-tiba angin sangat kencang
menerjang kawasan itu. Debu, pasir, dan dedaunan kering ikut menimpa kami.
Sebagian debu masuk hidung, mata, dan mulut yang lagi terbuka.
Omong-omong serius menjelang malam ke-21 bulan puasa sore itu
terhenti seketika. Masing-masing sibuk mengucek mata, membersihkan rambut,
dan meludah dari mulut yang kering. ”Ini
memang lagi musim angin. Angin bahorok,” ujar GM PG Kwala Madu sambil gaber-gaber. Setelah angin reda,
omong-omong diteruskan. Sambil was-was akan datangnya bahorok berikutnya.
Angin kencang seperti itu langsung menjadi topik ”tadarus
Ramadan” yang hangat di bawah pohon sore itu. Juga tentang panjangnya musim
hujan di situ. Sebuah tantangan berat yang harus diatasi. Sulit sekali
menanam tebu di iklim seperti itu. PG Kwala Madu selalu sulit mengejar
prestasi pabrik-pabrik gula di Jawa.
”Tanahnya memang tidak
cocok untuk tebu,” ujar Dirut PTPN II Bhatara
Moeda Nasution yang mendampingi saya. Karena itu, Belanda dulu hanya mau
bikin pabrik gula di Jawa.
”Tanaman tebu memerlukan
iklim yang teratur. Perlu batas yang tegas antara musim hujan dan musim
kemarau dan harus ada waktu yang nyaris tanpa hujan sama sekali selama empat
bulan terus-menerus,” ujar Dr Aris Toharisman
saat saya telepon dari bawah pohon di Langkat itu. Dr Aris adalah direktur
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) di Pasuruan, Jawa Timur.
Tapi, pabrik gula ini sudah telanjur ada. Kapasitasnya terlalu
besar untuk ditutup: 4.000 tcd (ton tebu per hari). Waktu itu pemerintah Orde
Baru memang berambisi untuk swasembada gula. Banyak pabrik baru didirikan. Di
Sulsel 3 pabrik, di Sumut 2, dan di Kalsel 1. Yang di Sulsel didirikan di
Takalar, Bone, dan Camming. Ketika tiga pabrik ini mengalami kesulitan yang
panjang, orang menyebutnya terkena TBC, sesuai dengan huruf pertama nama tiga
lokasi itu.
Alhamdulillah, sejak tahun lalu yang dua pabrik (TB) sudah membaik, tinggal
yang C yang masih batuk-batuk. Ini karena lahan tebunya tidak cukup lagi
lantaran diduduki masyarakat di awal reformasi dulu.
Tentang satu pabrik yang di Kalsel, inna lillahi wa inna ilaihi
rajiun, sudah wafat. Pabriknya sudah jadi besi tua dan di atas kuburannya
kini ditanam sawit. Sudah tidak bisa dihidupkan. Mayatnya pun di dalam
kuburnya sudah tinggal tulang-belulang.
Sedangkan dua yang di Sumut, ya itu tadi. Jadi sumber kerugian
besar yang berkepanjangan. Tapi, saya bertekad untuk tidak menutupnya.
Terutama yang di Kwala Madu. Tahun lalu perbaikan manajemen sudah mulai
menunjukkan hasil. Untuk pertama kali dalam 20 tahun terakhir bisa mencapai
rendemen 7. Tapi, untuk lebih dari itu, harus dicari jenis tebu yang cocok.
Saya masih yakin ilmu pengetahuan yang kini sudah begitu majunya
akan bisa mengatasinya. Tantangannya memang sangat besar dan banyak, tapi
justru di situlah asyiknya. Ilmu pengetahuan, disiplin tinggi, dan kerja
keras harus jadi solusi.
Tahun lalu saya sudah meningkatkan anggaran penelitian tebu
menjadi Rp 5 miliar dari sebelumnya, selama bertahun-tahun, hanya Rp 1
miliar. Tahun ini saya minta ditingkatkan lagi menjadi Rp 10 miliar. Ahlinya
cukup memadai. Ada lima doktor di situ. Di bawah Dr Aris yang selalu lulus cum laude di tiga jenjang pendidikan
tingginya. S1-nya IPB jurusan tanah; S2-nya di NSW, Australia, bidang
bioteknologi; dan S3-nya di Ulm, Jerman, di bidang teknologi pangan.
Putra kelahiran Kuningan tahun 1966 ini memang baru saya
terjunkan memimpin tim riset ini 2012 lalu. Intinya: harus ditemukan bibit
tebu jenis ”preman Medan”. Jangan sekali-kali menanam tebu biasa. Jenis
tebunya harus yang sekaligus tahan atas semua persoalan yang panjang ini:
tahan angin (batang harus kaku), tahan hujan, tahan hama penggerek batang
raksasa, tahan hama penggerek batang garis-garis, tahan penyakit daun hangus,
penyakit busuk batang, penyakit pembuluh luka api, dan banyak lagi.
Tidak ada penyakit tebu yang lebih banyak daripada di Medan ini.
Mengatasinya pun amat sulit. Ibarat komplikasi penyakit, obatnya harus saling
bertentangan. Ini ibarat sakit gula komplikasi dengan liver. Yang satu jangan
minum gula, yang satu lagi perlu banyak gula.
Tapi, sekali lagi saya masih yakin ilmu pengetahuan bisa
mencarikan jalan keluar. Dr Aris sudah punya kesimpulan. ”Tebunya harus dari jenis tebu liar,” katanya. Yakni perkawinan
antara tebu yang baik dan rumput liar sejenis gelagah. Varietas itu sudah
dilahirkan di laboratorium P3GI dengan kombinasi lebih dari 20 jenis.
Semuanya lagi diuji coba di Kwala Madu.
Mana di antara 20 kombinasi itu yang cocok ditanam di Medan baru
akan diketahui dua bulan lagi. Kini tanaman uji coba itu baru berumur empat
bulan. Kesimpulan baru bisa dibuat setelah tanaman berumur enam bulan. Semoga
berkah Lailatul Qadar bisa sampai
ke tanaman tebu.
Jumat-Sabtu-Minggu kemarin saya memang ke Medan, Pangkalan Susu,
Langkat, Jember, Lumajang, dan Surabaya. PLTU Pangkalan Susu yang sangat
besar itu, baik ukurannya (2 x 200 mw), lebih-lebih persoalannya, alhamdulillah sudah memasuki tahap uji
coba. Saat saya berkunjung ke situ, turbin unit 2 sedang diuji. Beberapa jam
kemudian saya mendapat laporan, turbinnya sudah berhasil diputar maksimal:
3.000 rpm. Ada harapan besar krisis listrik di Medan berakhir di 100 hari
terakhir kabinet Presiden SBY.
Hari itu, setelah Jumatan di Masjid Tuan Guru Basilam, ke PG
Kwala Madu, dan ke Pesantren Syekh Marbun Medan, saya langsung ke Surabaya,
Jember, dan Lumajang. Di Surabaya tahun ini PT SIER (Persero) kembali menjadi
tuan rumah khataman Alquran oleh 1.500 hufaz
(orang-orang yang hafal Alquran 30 juz).
Di Jember saya ke PG Semboro. Pabrik gula ini tidak hanya
berhasil bangkit, tapi juga bisa menghasilkan kristal terbaik. Lalu syukuran
di Pesantren Bustanil Ilmu Al Gozali yang berambisi menjadi ”Pondok Gontor di Timur”.
Setelah Duhuran di rumah Rais Syuriah NU Jember KH Muhyiddin
Abdusshomad, saya ke Lumajang untuk meninjau PG Jatiroto. Di sinilah saya
harus menjawab pertanyaan sulit para petani tebu: mengapa di saat petani lagi
sangat bergairah, kok gula rafinasi impor membanjiri pasar secara masif?
Saya tertegun menghadapi pertanyaan itu. Lama saya terdiam.
Tidak ada kekuatan di bibir saya untuk membuka mulut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar