Rabu, 23 Juli 2014

Pilpres Tidak Dipercaya

                                           Pilpres Tidak Dipercaya

Garin Nugroho  ;   Sutradara Film, Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS,  20 Juli 2014
                                                


Haruslah dicatat, perhitungan cepat menjadi kisruh serta kehilangan kepercayaan, karena dalam sejarah 10 tahun ini, banyak lembaga survei merangkap sebagai konsultan politik hingga tim pemenangan peserta pemilu, baik presiden, kepala daerah, maupun legislatif.”

Catatan di atas disampaikan rekan saya, mantan direktur lembaga survei, yang terpaksa keluar karena tidak kuat bertahan dengan cara kerja lembaga itu, yang mengelola survei politik tidak atas dasar etika survei, tetapi rekayasa.

Catatan di atas selayaknya mendorong kita semua untuk merenungi kembali proses berbangsa lewat pemilu, tidak sekadar menang-kalah, tetapi sebagai sebuah perjalanan peradaban, lebih khusus lagi pemilu sebagai proses pendidikan warga negara yang terbesar. Oleh karena itu, di bawah ini saya mencoba memberikan beberapa catatan budaya berkait pemilu.

Pertama, pemilu dalam era komoditas. Segala-galanya dikemas, sekaligus dibeli dan dijual layaknya produk komoditas, baik suara warga, debat calon presiden, hingga peran institusi pemilu. Dalam bentuk praktisnya tercermin dalam budaya politik uang.

Contoh konkret, pemilu legislatif yang lalu, meski terkumpul data politik uang yang dianggap paling masif pasca reformasi, pemilu dipuji berjalan lancar dan terasa tidak cukup panduan keprihatinan dari presiden, DPR, KPU, hingga institusi pemilu. Bisa diduga, meski meriah, pemilu kehilangan nilai-nilai peradabannya: kepercayaan, kejujuran, dan nilai proses berbangsa.

Kedua, merosotnya kultur kekuatan sipil penjaga obyektivitas, bertumbuh derasnya aktivis kemenangan kandidat. Tercatat dalam dua pemilu awal pasca reformasi, dengan cukup tersedianya sistem dana untuk lembaga-lembaga NGO, maka institusi penjaga pemilu hingga perhitungan cepat dibiayai oleh lembaga-lembaga publik swadaya masyarakat. Harus dicatat pula, sebagian besar intelektual hingga aktivis politik-sosial-budaya-agama aktif dalam menjaga obyektivitas pemilu serta kematangan berbangsa lewat kerja pendidikan warga negara.

Seiring lemahnya sistem dana pada lembaga swadaya masyarakat, terjadilah migrasi besar-besaran aktivis di berbagai bidang dari kerja pendidikan warga negara menjadi juru pemenangan kandidat. Kondisi ini melahirkan kecilnya kerja pemilu sebagai pendidikan warga negara, seluruhnya adalah kerja kampanye menabuh genderang perang kemenangan. Padahal, belum berpengalamannya warga mengalami budaya pemilihan langsung dua kandidat sesungguhnya memerlukan kerja besar pendidikan warga negara, agar tidak lahir dua blok dengan kultur cinta-benci berlebihan yang membelah kehidupan warga.

Ketiga, guncangnya status dan peran elite serta institusi pemilu mendorong guncangnya kultur pendidikan warga negara. Contoh konkret adalah peran berkait aspek perspektif lembaga survei seperti terurai di awal tulisan. Guncangnya status dengan peran institusi dan elite politik melahirkan beragam paradoks dalam proses pemilu: paradoks pemilu mencari pemimpin mulia, tetapi dipenuhi dengan pemilu politik uang serta manipulasi, paradoks antara pemilu sebagai komunikasi publik dengan komunikasi komoditas, antara impian prinsip ideologi warga dengan elite pragmatis tanpa ideologi.

Keempat, era paradoks bisnis media. Inilah pemilu abad komoditas yang didukung oleh bisnis teknokapitalis dari televisi hingga media sosial. Setiap suara serta kerja partisipasi adalah komoditas yang tidak saja menghidupi serta memenangkan kandidat, tetapi juga menghidupkan korporasi teknokapitalis dari bisnis industri televisi hingga media sosial. Di sisi lain, kebebasan melahirkan wajah dua pemilih, yakni partisipasi disertai kreativitas luar biasa, di sisi lain kebebasan tanpa etika yang melahirkan kampanye hitam serta klarifikasi balik dengan cara tanpa etika, baik dalam kata maupun tindakan.

Oleh karena itu, di era bisnis media, penyelenggara pemilu harus hati-hati untuk tak terjebak dalam lomba menarik perhatian warga lewat kompetisi stasiun televisi. Di beberapa negara, bahkan seperti Amerika Serikat, debat presiden dilakukan oleh televisi publik, yakni PBS, tanpa iklan, tanpa eksplorasi pendukung di studio. 

Pada akhirnya, kerja sama KPU dengan stasiun televisi swasta yang bertabur iklan serta kemasan, menjadikan terjebak dalam lomba menarik perhatian antarstasiun televisi, sangatlah sulit melakukan pengawasan dan penghukuman terhadap stasiun televisi yang melakukan pelanggaran sekaligus bertentangan dengan filosofi komunikasi nilai publik.

Catatan di atas menunjukkan, kekisruhan, keterbelahan, dan ketidakpercayaan warga berkait dua blok perhitungan cepat adalah akumulasi pergeseran status dan peran institusi pemilu di era komoditas dan bisnis media dan hilangnya peran pendidikan warga negara. Demokrasi kehilangan peradabannya, yang terpenting hanya prosedur, kemasan riuh rendah, dan hasil akhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar