Ilmu
dan Politik di Hitung Cepat
Ignas Kleden ;
Sosiolog;
Ketua
Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)
|
KOMPAS,
21 Juli 2014
HITUNG cepat sudah menjadi suatu praktik penelitian
sosial-politik, yang diperkenalkan oleh LP3ES sejak Pemilihan Presiden
Indonesia 2004.
Sejak saat itu praktik ini sudah meluas dan diterapkan oleh
lembaga penelitian lainnya dalam pemilihan presiden, gubernur, dan pemilihan
lain, tanpa menimbulkan kontroversi. Sebab, hasil hitung cepat dan hasil
hitungan manual oleh panitia pemilihan tidak banyak bedanya.
Kontroversi muncul pertama kali dalam Pemilihan Presiden 2014
karena adanya dua kelompok lembaga penelitian yang mengumumkan hasil hitung
cepat berbeda. Perbedaan hasil ini kemudian mendapat amplifikasi politis yang
luas karena kelompok yang satu menunjukkan keunggulan perolehan suara bagi
pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, sedangkan kelompok lain memperlihatkan
keunggulan pasangan Prabowo-Hatta dalam perolehan suara mereka.
Dampak politis dari perbedaan hasil hitung cepat dua kelompok
lembaga penelitian ini sudah dibahas oleh beberapa penulis lain. Tulisan ini
akan difokuskan pada dampak ilmiah dari kontroversi itu dan bagaimana kontroversi
itu seyogianya diselesaikan menurut konvensi yang berlaku dalam komunitas
akademis.
Legitimasi ilmiah
Dalam arti tertentu seseorang menjadi ilmuwan karena dia
diterima dan diakui dalam suatu komunitas dari rekan-rekan yang bekerja dalam
bidang ilmu yang sama. Legitimasi seorang ilmuwan tidak diberikan oleh
khalayak ramai, tetapi oleh rekan-rekan sejawatnya berdasarkan pencapaian
dalam bidang ilmu yang digeluti.
Dalam istilah sosiologi-pengetahuan, legitimasi seorang ilmuwan
bukanlah legitimacy by the people
(seperti halnya seorang politikus), melainkan legitimacy by peers, yaitu legitimasi yang diberikan oleh
rekan-rekan sejawat. Kalau seorang dokter atau peneliti di laboratorium medis
sekali kelak menemukan obat untuk penyakit kanker atau HIV-AIDS, keabsahan
temuan obat itu akan diuji dan ditetapkan oleh rekan-rekan dokter atau para
peneliti di laboratorium medis, dan bukan oleh besar kecilnya dukungan
khalayak ramai atau massa yang dikerahkan untuk memaksakan penerimaan
terhadap temuan tersebut. Pada titik inilah terletak perbedaan hakiki antara
legitimasi politik dan legitimasi ilmiah.
Dalam praktik politik, presiden, gubernur, bupati, atau wali
kota mendapat mandat melalui suara terbanyak yang memilih dia. Ukuran
legitimasi dalam politik adalah besar-kecilnya dukungan rakyat melalui suara
yang diberikan dalam pemilihan, di mana para pemilih tidak harus mengemukakan
alasan bagi pilihan yang dilakukannya. Sebaliknya, legitimasi suatu temuan
ilmiah atau pendapat ilmiah tidak ditetapkan berdasarkan besar-kecilnya
dukungan dari anggota masyarakat, tetapi berdasarkan apakah temuan atau
pendapat itu dapat dipertahankan dengan argumen dan bukti-bukti terbaik yang
meyakinkan anggota komunitas akademis atau komunitas profesional.
Jadi, sekalipun temuan atau pendapat itu dipertahankan oleh
beberapa orang saja, bahkan hanya oleh satu orang, keabsahan ilmiah layak
diberikan. Ketika Albert Einstein mengumumkan teori relativitasnya, dia tidak
mengerahkan jumlah besar ahli fisika untuk mendukung teori baru tersebut,
tetapi membuktikan validnya teori itu melalui perhitungan matematis, yang
kemudian diterima dan diakui oleh ahli-ahli fisika lainnya. Filsuf Jerman,
Juergen Habermas, menulis bahwa hal yang menentukan dalam duskursus ilmiah
adalah the criterion of the better
argument, yaitu argumen yang lebih baik, yang harus diperlakukan sebagai
kriterium untuk menerima suatu pendapat, konsep, atau teori.
Sampai di sini kita dapat bertanya, apakah quick count atau hitung cepat merupakan suatu praktik politik
atau praktik ilmiah? Jawabannya jelas sekali: hitung cepat adalah suatu
praktik ilmiah (dalam kelompok ilmu-ilmu sosial) dan bukan suatu praktik
politik meskipun apa yang dihasilkan oleh praktik ilmiah ini dapat membawa
akibat politik.
Dikatakan praktik ilmiah karena hakikat hitung cepat bukanlah
untuk memperoleh kekuasaan (yang menjadi tujuan setiap tindakan politik),
melainkan memperoleh keterangan tentang suatu realitas sosial dan politik
seperti perolehan suara dalam pemilihan. Yang dicari adalah pengetahuan,
bukan kekuasaan. Bahwa keterangan, informasi, dan pengetahuan yang dihasilkan
oleh hitung cepat dapat dimanfaatkan secara politik, ini soal lain yang masuk
dalam bidang pemanfaatan pengetahuan dan informasi atau the use of knowledge. Tugas hitung cepat, seperti tugas semua
penelitian ilmiah lainnya, adalah menghasilkan pengetahuan atau the production of knowledge.
Dalam kerja memproduksi pengetahuan, seorang ilmuwan atau
peneliti mengusahakan lahirnya pengetahuan baru berupa temuan dan hasil
penelitian. Akan tetapi, ilmu pengetahuan mempersyaratkan juga bahwa
pengetahuan baru yang dihasilkan bukan merupakan pengetahuan yang diperoleh
secara untung-untungan—berdasarkan tebakan atau karena kebetulan—melainkan
melalui suatu proses yang bisa ditelusuri tahapan-tahapannya. Inilah
sebabnya, prosedur yang ditempuh dalam menghasilkan pengetahuan dianggap sama
pentingnya dengan pengetahuan yang dihasilkan. Prosedur ini menjadi penting
karena di sini, dalam prosedur ini, anggota komunitas ilmuwan dan peneliti
dapat melihat bagaimana pengetahuan baru itu diperoleh, metode dan teknik
penelitian mana yang digunakan, dan bagaimana mengetes validitas pengetahuan
tersebut.
Sosiolog Amerika, RK Merton, menyatakan bahwa prosedur keilmuan
ini merupakan dasar bagi berlakunya asas komunalitas (communality) dalam ilmu pengetahuan, yang mewajibkan setiap
temuan ilmiah untuk diumumkan dalam publikasi dan jurnal-jurnal ilmiah, agar
para ilmuwan lain menjadi tahu tentang temuan baru itu dan memberikan
pendapat mereka tentangnya. Tindakan itu sekalian untuk mengecek seberapa
jauh temuan baru itu diperoleh melalui prosedur yang berlaku umum dalam
penelitian ilmiah, dan apakah temuan itu benar-benar merupakan hal baru dalam
body of knowledge yang ada hingga
saat itu.
Dari sinilah muncul slogan publish
or perish, yang menyatakan bahwa seorang ilmuwan yang tidak
memublikasikan temuan-temuan penelitiannya akan hilang eksistensinya sebagai
seorang ilmuwan. Sebab, dia akan menjadi non-faktor yang tidak dibicarakan
dalam komunitas akademis dan karyanya tidak pernah dirujuk oleh rekan-rekan
ilmuwan lainnya.
Kewajiban ilmiah
Hitung cepat hasil Pemilihan Presiden 2014 oleh dua kelompok
lembaga penelitian mempunyai dua hasil yang berbeda. Berdasarkan asas
komunalitas dalam ilmu pengetahuan, perbedaan hasil ini harus
diklarifikasikan melalui pertemuan dan diskusi di antara para peneliti dari
dua kelompok lembaga penelitian yang melakukan hitung cepat. Klarifikasi itu
menyangkut pertanyaan mengapa terdapat hasil yang berbeda, prosedur
penelitian mana saja yang ditempuh oleh setiap kelompok peneliti, dan sejauh
mana ada faktor-faktor eksternal (seperti dana atau tekanan politik) yang
memengaruhi hasil hitung cepat?
Kontroversi mengenai perbedaan hasil ini tidak dapat
diselesaikan dengan mengerahkan massa untuk mendukung hasil hitung cepat dari
kelompok peneliti yang satu atau kelompok yang lain. Kalau ini dilakukan,
keadaannya lebih kurang sama dengan mengerahkan massa untuk mendukung suatu temuan
di sebuah laboratorium medis menyangkut obat kanker atau HIV-AIDS, padahal
massa yang dikerahkan itu praktis buta huruf tentang seluk-beluk penyakit
kanker dan HIV-AIDS dan kemungkinan pengobatannya.
Sangat disayangkan bahwa pertemuan dan diskusi untuk
mengklarifikasi perbedaan hasil hitung cepat ini tidak terlaksana karena
lembaga-lembaga penelitian yang mengunggulkan pasangan Prabowo-Hatta dalam
hasil hitung cepat mereka tidak datang ke pertemuan yang direncanakan. Empat
lembaga penelitian ini, yaitu Puskaptis, JSI (Jaringan Suara Indonesia), LSN
(Lembaga Survei Nasional), dan IRC (Indonesia
Research Centre), hanya menyatakan bersedia membuka data mereka setelah
dilaksanakan pengumuman hasil penghitungan manual oleh Komisi Pemilihan Umum,
22 Juli 2014.
Keberatan ini bukan merupakan alasan yang kuat karena pengumuman
KPU pada 22 Juli besok tidak akan mengubah hasil hitung cepat yang sudah
diumumkan oleh kedua kelompok lembaga penelitian. Membuka data hitung cepat
dalam kontroversi ini bukanlah tindakan gagah-gagahan atau pertanda
ekshibisionisme politik. Akan tetapi, lebih merupakan suatu kewajiban ilmiah
kedua kelompok lembaga penelitian untuk menjernihkan kontroversi mengenai
perbedaan hasil hitung cepat berdasarkan konvensi ilmiah yang baku, untuk menemukan
sebab-musabab terjadinya perbedaan hasil hitung cepat, dan apakah prosedur
penelitian yang diterapkan adalah prosedur yang sama atau prosedur yang
berbeda, dan mengapa digunakan prosedur yang berbeda dari yang sudah baku
dalam pelaksanaan hitung cepat.
Kesediaan untuk menerapkan transparansi dan akuntabilitas dalam
penelitian akan menjamin kredibilitas sebuah lembaga penelitian. Sebaliknya,
keengganan untuk bersikap transparan dan akuntabel akan merugikan
kredibilitas suatu lembaga penelitian dan bahkan menghilangkan kepercayaan
publik terhadap lembaga bersangkutan. Tawaran untuk menunggu pengumuman KPU,
dan tantangan agar lembaga yang hasil hitung cepatnya tidak sesuai dengan
hasil penghitungan manual KPU harus membubarkan diri, tidak ada relevansinya
secara ilmiah, karena dengan membubarkan diri, lembaga bersangkutan terbebas
dari kewajiban mempertanggungjawabkan hasil hitung cepat yang dilakukannya.
Pada akhirnya hitung cepat adalah suatu praktik ilmiah dan bukan
suatu praktik politik. Kontroversi mengenai hitung cepat harus diselesaikan
secara ilmiah dan bukan secara politik. Ibaratnya, meja makan yang kotor
karena sisa makanan yang bertebaran harus dibersihkan dengan lap basah atau
kering, dan bukannya dengan menghantam permukaan meja dengan martil pembelah
batu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar