Sabtu, 03 Mei 2014

Pergunjingan Jam Tangan Panglima

Pergunjingan Jam Tangan Panglima

Mahmudi Asyari  ;   Peneliti dari ICIS Jakarta
SUARA MERDEKA, 02 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
"Pernyataan Moeldoko bahwa ia memakai barang palsu dan tiruan justru bisa mencoreng sifat-sifat perwira"

MASALAH jam tangan sebenarnya sepele, berapa pun harganya mengingat siapa saja yang mempunyai banyak uang boleh membeli arloji mahal dan mengenakannya. Adapun menyangkut etika pantas atau tidak pantas memakai jam tangan mahal, itu lebih pada tafsir subjektif sehingga siapa pun boleh berpendapat pantas atau tidak pantas sesuai dengan konstruksi argumen yang diinginkan. Jadi, arloji berharga mahal sekalipun semestinya tak jadi persoalan siapa pun pemakainya, termasuk Jenderal Moeldoko, selama itu dibeli dari uang yang diperoleh secara halal. Terlebih ketika mengikuti fit and proper test di DPR dia berujar, ”Apa salah seorang tentara kaya?” Menyusul penjelasannya bahwa kekayaannya itu hibah dari mertua, dan dari uang perjalanan tugastugas di luar negeri.

Dengan total kekayaan hanya beberapa digit di bawah jumlah kekayaan Hadi Poernomo, mantan direktur jenderal Pajak Kemenkeu dan mantan ketua BPK, secara logika tentu sangat mudah bagi Moeldoko untuk membeli jam orisinal. Apalah arti 1 miliar rupiah dibanding 32-34 miliar rupiah? Tentu itu bisa dianggap ”receh”, dan tak ada pihak yang boleh mempersoalkan. Sejatinya, sebagai perwira, terlebih perwira tinggi, dengan mendasarkan pada mata kuliah Kewiraan maka ia harus senantiasa berkata jujur dan bersikap terus terang. Dia sebenarnya tinggal menjawab pertanyaan wartawan bahwa arloji yang dipakainya asli. Itu berarti selaras dengan jawabannya ketika ditanya asal-usul hartanya di sela-sela fit and proper test di DPR,” Apa salah seorang jenderal memakai jam mahal?” Jawaban seperti itu malah lebih menuntaskan, terlebih ia memang mengaku tajir sehingga tak bakal ada bayangan gratifikasi.

Seandainya ia mengatakan seperti itu maka ”kasus jam mahal” tersebut langsung rampung, dan ia bisa memakai seluruh koleksinya tanpa harus berapologia. Andaikata itu dikaitkan dengan masalah etis pun, semua orang mafhum bahwa kemahalan itu relatif dan bagi saya mengingat ia kaya maka pantaslah memiliki dan memakai arloji mahal. Hanya ketika persoalan itu mengemuka dan ramai diramaikan di internet, Moeldoko memberi klarifikasi bahwa arloji itu tiruan yang tak sampai berharga satu miliar rupiah. Penjelasannya menimbulkan persoalan baru, bahkan bisa merusak reputasi nilai-nilai perwira, sebagaimana saya dapatkan ketika dulu mengikuti mata kuliah Kewiraan. Dengan mengatakan bahwa itu bukan jam tangan asli alias tiruan atau barang KW, timbul masalah yang lebih serius ketimbang ia langsung saja bilang bahwa jam yang dipakainya memang ”bermerek”.

Hak Cipta Dengan mengatakan bahwa itu barang KW (istilah sebagian masyarakat untuk mengatakan bahwa itu bukan produk/merek asli-Red) berarti Moeldoko terbukti membeli dan memakai produk bajakan. Tidak hanya sampai di situ, pernyataannya itu, selaku pejabat negara dia tidak bisa menunjukkan keteladanan dalam hal ketaatan hukum. Padahal Indonesia melalui undang-undang hak cipta telah menegaskan bahwa barang palsu adalah musuh. Komputer di warnet-warnet saja menjadi sasaran razia polisi meskipun saya yakin tak semua komputer di kantor polisi itu asli atau orisinal. Dengan kata lain, ”mengklaim” sebagai pembeli dan pengguna barang tiruan, secara tak langsung Moeldoko telah melanggar undang-undang. Seandainya itu dilakukan orang biasa pasti harus berurusan dengan aparat penegak hukum.

Pernyataan Moeldoko bahwa ia menggunakan barang palsu dan tiruan justru bisa mencoreng sifatsifat perwira, karena dengan begitu ia tidak menjadi teladan dalam menaati hukum. Padahal seandainya ia mengatakan arloji yang dikenakan itu asli (berapa pun harganya) dan dibeli dari kekayaan yang menurutnya hibah dari mertua, jauh lebih bermartabat. Adapun kemungkinan ada penilaian etis atau tidak etis, itu relatif. Saya katakan lebih bermartabat karena selain ia ”pantas” memiliki mengingat kaya, pernyataannya sekaligus menunjukkan keteladanannya menaati hukum. 

Apa yang sedang dipergunjingkan sebagian orang berkait jam tangan Moeldoko memang ironis. Pasalnya kasus jam itu justru muncul ketika ia berinisiatif menurunkan tensi hangat hubungan antara Indonesia dan Singapura dengan menyatakan ”menyesal” (regreted) atas penamaan dua kapal perang kita. 
Pernyataan itu, bila tidak dari presiden, harus datang dari menteri luar negeri atau menteri pertahanan mengingat hal itu ranah negara. Ketika dia diwawancarai itulah, televisi Negeri Singa menyorot jam tangan jenderal bintang empat tersebut. 

Singapura, sekaligus media massa di negara itu, tentu ”senang” mengingat selain mendapatkan apa yang dituntut, mereka merasa mendapat berita hangat yang menurutnya pantas diberitakan, dan kemudian menjadi bahan pergunjingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar