Minggu, 04 Mei 2014

Benang Kusut Pendidikan Nasional

Benang Kusut Pendidikan Nasional

Sutrisno  ;   Pendidik, mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
MEDIA INDONESIA,  03 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SETIAP 2 Mei bangsa kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tanggal itu merupakan kelahiran Bapak Pendidikan Nasional dan pendiri Taman Siswa yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Sungguh merupakan suatu keniscayaan apabila di hari yang bersejarah ini, kita berkontemplasi dan berintrospeksi sejenak akan pendidikan kita.

Membangun pendidikan nasional ialah mempersiapkan masa depan. Jika pendidikan nasional saat ini mengalami kemunduran, masa depan nasional tentu juga akan sangat suram, bahkan tidak bermasa depan. Itulah yang terjadi saat ini; pendidikan nasional kita kian hari kian terpuruk. Benang kusut pendidikan nasional terus-menerus bertambah tanpa ada upaya untuk mengurainya.

Dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) disebutkan, pendidikan dimaknai sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan. Pendidikan juga merupakan suatu usaha manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.

Namun, rupanya di negeri kita, pendidikan sebagai suatu proses belum sepenuhnya disadari sampai saat ini. Selain itu, kualitas pendidikan nasional kita adalah kualitas yang hanya berorientasi pada pembunuhan kreativitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada saat ini, menurut pendapat saya, hanya membuat anak didik itu pintar, tetapi tidak cerdas. Seperti yang diungkapkan pakar pendidikan Arief Rahman, pelaksanaan pendidikan di Indonesia dinilai `malas' untuk mengukur hal-hal yang lebih bersifat holistis. 

Selama ini penilaian terhadap anak didik hanya berdasarkan kecerdasan intelektual (kepintaran), bukan pada aspek-aspek lain seperti spiritual, emosional, sosial, ataupun jasmani. Contohnya, pelaksanaan ujian nasional (UN) yang masih menjadi momok bagi setiap siswa, guru, dan orangtua.

Selalu uji coba

Benang kusut pendidikan juga terlihat gonta-ganti kurikulum. Jadi, belum ada kurikulum baku. Rembuk nasional pendidikan dan kebudayaan yang melibatkan instansiinstansi yang terkait belum mampu menetapkan kurikulum pendidikan yang baku. Sejak awal kemerdekaan, kurikulum pendidikan berubah hampir setiap dekade, seperti kurikulum 1968, 1975, 1984, dan terakhir 1994. Akan tetapi, pascareformasi 1998, muncul Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, 2006 muncul lagi kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Tahun ini pemerintah menerapkan kurikulum 2013 dan masih bersifat uji coba. Semua serbauji coba dan uji coba.

Selain itu, kualitas guru dengan pendidikan guru yang ada sekarang, menurut penulis, belumlah sesuai dengan tuntutan zaman. Pendidikan guru sekarang tidak banyak memberikan bekal kepada calon-calon guru dengan ilmu-ilmu keguruan, seperti ilmu pendidikan atau pedagogis, ilmu jiwa terutama ilmu jiwa anak, dedaktik metodik, dan materi-materi pelajaran di samping ada ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu watak. Sebagai contoh, banyak guru yang sama sekali tidak menguasai bagaimana cara menghukum anak, kemudian alat-alat pendidikan yang lain seperti contoh dan teladan, sanksi dan penghargaan.

Sarana dan prasarana juga menjadi problem pendidikan kita. Tentu sangat tidak nyaman jika belajar di dalam gedung sekolah dengan kerusakan (roboh) atau kebocoran di sana-sini. Jumlah kelas yang tidak memadai dengan jumlah siswa, jumlah kamar mandi dan WC siswa yang terbatas, ruang kelas yang pengap dan lembab, perpustakaan yang minim buku, serta beragam kerusakan atau keterbatasan sarana lainnya turut berperan dalam menyumbangkan hasil pembelajaran yang kurang maksimal. Prof Dr Winarno Surachmad MEd pernah menyindir fenomena sekolah di Indonesia dengan sebutan `kandang ayam'.

Yang juga menyedihkan, dunia pendidikan kita masih dikuasai neoliberalisme yang telah menjadi inheren dalam kebijakan ekonomi politik yang diterapkan di Republik ini. Contohnya, masih ada sekolah berlabel `internasional', padahal Mahkamah Konstitusi sudah menghapus adanya sekolah berlabel internasional. Sistem itu menggiring pendidikan Indonesia bersifat kapitalistis. RSBI kini telah dibubarkan, tetapi masih berpotensi untuk `ganti baju' dengan roh RSBI. UU Pendidikan Tinggi begitu menampakkan adanya agenda neoliberalisme, yaitu liberalisasi dunia pendidikan yang akan berdampak kepada pendidikan yang hanya akan menjadi barang dagangan dan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.

Kastanisasi

Samuel Bowles dan Herbert Gintis, dalam karya mereka Schooling in Capitalist America, mengatakan pendidikan di bawah kapitalisme akan bersifat imperatif dengan tujuan kelas kapitalis: kebutuhan produksi dan akumulasi. Menurut Samuel Bowles dan Herbert Gintis, model kerja dalam sistem pendidikan kapitalis juga akan mengacu ke relasi produksi kapitalis. Dalam pandangan tersebut, bentuk-bentuk kesadaran dan perilaku yang dipupuk dalam sekolah kapitalis dirancang untuk mereproduksi kelas yang sudah ada dan penge lompokannya (Berdikarionline.com, 4/2/2012).

Benang kusut pendidikan nasional berikutnya ialah sekolah murah (gratis), tanpa pungutan, dan semacamnya ternyata hanya ada dalam berita dan kampanye politik. Tanggung jawab pemerintah atas seluruh rakyat tentang pendidikan baru sebatas tertulis pada UUD 1945. Apa yang tertuang dalam Pasal 31 ayat (1 dan 2) UUD 1945 bahwa ‘Setiap warga negara berhak mendapat pengajaran (ayat 1)’ dan ‘Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (ayat 2)’ masih jauh dari harapan.

Buktinya, masih ada anak yang belum mengenyam pendidikan dasar dan anak putus sekolah bahkan ada anak yang mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri karena keingin annya untuk bersekolah tak bisa diwujudkan orangtuanya lantaran tak ada biaya. Hal itu memberi bukti pendidikan yang menjadi hak setiap warga negara belum sepenuhnya terpenuhi. Pendidikan nasional kita pun semakin menjauh dari cita-cita kemerdekaan. Negara lepas tangan karena pendidikan diharuskan berada dalam arus liberalisasi. Wataknya pun semakin komersial. Kastanisasi alias diskriminasi dalam bidang pendidikan kembali terjadi.

Momentum Hardiknas kali ini sangat tepat untuk mengurai benang kusut pendidikan nasional dengan berbagai upaya yang tepat dan benar. Di sinilah peran dan tanggung jawab pemerintah selaku penyelenggara pendidikan menjamin dan memenuhi semua kebutuhan pendidikan (biaya pendidikan, infrastruktur, sistem, dan metode pendidikan, kurikulum, regulasi, dll). Selanjutnya, dibutuhkan dukungan dan perjuangan tak mengenal lelah antara peserta didik, guru, sekolah, keluarga, dan masyarakat luas dalam mewujudkan tujuan dan visi pendidikan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar