Benang
Kusut Pendidikan Nasional
Sutrisno ;
Pendidik,
mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Mei 2014
SETIAP 2 Mei bangsa kita memperingati
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tanggal itu merupakan kelahiran Bapak
Pendidikan Nasional dan pendiri Taman Siswa yang dikenal dengan nama Ki Hajar
Dewantara. Sungguh merupakan suatu keniscayaan apabila di hari yang
bersejarah ini, kita berkontemplasi dan berintrospeksi sejenak akan
pendidikan kita.
Membangun pendidikan nasional
ialah mempersiapkan masa depan. Jika pendidikan nasional saat ini mengalami
kemunduran, masa depan nasional tentu juga akan sangat suram, bahkan tidak
bermasa depan. Itulah yang terjadi saat ini; pendidikan nasional kita kian
hari kian terpuruk. Benang kusut pendidikan nasional terus-menerus bertambah
tanpa ada upaya untuk mengurainya.
Dalam UU No 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) disebutkan, pendidikan dimaknai
sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan. Pendidikan juga merupakan suatu
usaha manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
Namun, rupanya di negeri kita,
pendidikan sebagai suatu proses belum sepenuhnya disadari sampai saat ini.
Selain itu, kualitas pendidikan nasional kita adalah kualitas yang hanya
berorientasi pada pembunuhan kreativitas berpikir dan berkarya serta hanya
menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada saat ini, menurut pendapat saya,
hanya membuat anak didik itu pintar, tetapi tidak cerdas. Seperti yang
diungkapkan pakar pendidikan Arief Rahman, pelaksanaan pendidikan di Indonesia
dinilai `malas' untuk mengukur hal-hal yang lebih bersifat holistis.
Selama
ini penilaian terhadap anak didik hanya berdasarkan kecerdasan intelektual
(kepintaran), bukan pada aspek-aspek lain seperti spiritual, emosional,
sosial, ataupun jasmani. Contohnya, pelaksanaan ujian nasional (UN) yang
masih menjadi momok bagi setiap siswa, guru, dan orangtua.
Selalu uji coba
Benang kusut pendidikan juga
terlihat gonta-ganti kurikulum. Jadi, belum ada kurikulum baku. Rembuk
nasional pendidikan dan kebudayaan yang melibatkan instansiinstansi yang
terkait belum mampu menetapkan kurikulum pendidikan yang baku. Sejak awal
kemerdekaan, kurikulum pendidikan berubah hampir setiap dekade, seperti
kurikulum 1968, 1975, 1984, dan terakhir 1994. Akan tetapi, pascareformasi
1998, muncul Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, 2006 muncul lagi
kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Tahun ini pemerintah
menerapkan kurikulum 2013 dan masih bersifat uji coba. Semua serbauji coba
dan uji coba.
Selain itu, kualitas guru dengan
pendidikan guru yang ada sekarang, menurut penulis, belumlah sesuai dengan
tuntutan zaman. Pendidikan guru sekarang tidak banyak memberikan bekal kepada
calon-calon guru dengan ilmu-ilmu keguruan, seperti ilmu pendidikan atau
pedagogis, ilmu jiwa terutama ilmu jiwa anak, dedaktik metodik, dan
materi-materi pelajaran di samping ada ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu
watak. Sebagai contoh, banyak guru yang sama sekali tidak menguasai bagaimana
cara menghukum anak, kemudian alat-alat pendidikan yang lain seperti contoh
dan teladan, sanksi dan penghargaan.
Sarana dan prasarana juga
menjadi problem pendidikan kita. Tentu sangat tidak nyaman jika belajar di
dalam gedung sekolah dengan kerusakan (roboh) atau kebocoran di sana-sini.
Jumlah kelas yang tidak memadai dengan jumlah siswa, jumlah kamar mandi dan
WC siswa yang terbatas, ruang kelas yang pengap dan lembab, perpustakaan yang
minim buku, serta beragam kerusakan atau keterbatasan sarana lainnya turut
berperan dalam menyumbangkan hasil pembelajaran yang kurang maksimal. Prof Dr
Winarno Surachmad MEd pernah menyindir fenomena sekolah di Indonesia dengan
sebutan `kandang ayam'.
Yang juga menyedihkan, dunia
pendidikan kita masih dikuasai neoliberalisme yang telah menjadi inheren
dalam kebijakan ekonomi politik yang diterapkan di Republik ini. Contohnya,
masih ada sekolah berlabel `internasional', padahal Mahkamah Konstitusi sudah
menghapus adanya sekolah berlabel internasional. Sistem itu menggiring
pendidikan Indonesia bersifat kapitalistis. RSBI kini telah dibubarkan,
tetapi masih berpotensi untuk `ganti baju' dengan roh RSBI. UU Pendidikan
Tinggi begitu menampakkan adanya agenda neoliberalisme, yaitu liberalisasi
dunia pendidikan yang akan berdampak kepada pendidikan yang hanya akan
menjadi barang dagangan dan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.
Kastanisasi
Samuel Bowles dan Herbert
Gintis, dalam karya mereka Schooling in
Capitalist America, mengatakan pendidikan di bawah kapitalisme akan
bersifat imperatif dengan tujuan kelas kapitalis: kebutuhan produksi dan
akumulasi. Menurut Samuel Bowles dan Herbert Gintis, model kerja dalam sistem
pendidikan kapitalis juga akan mengacu ke relasi produksi kapitalis. Dalam
pandangan tersebut, bentuk-bentuk kesadaran dan perilaku yang dipupuk dalam
sekolah kapitalis dirancang untuk mereproduksi kelas yang sudah ada dan penge
lompokannya (Berdikarionline.com,
4/2/2012).
Benang kusut pendidikan nasional
berikutnya ialah sekolah murah (gratis), tanpa pungutan, dan semacamnya
ternyata hanya ada dalam berita dan kampanye politik. Tanggung jawab
pemerintah atas seluruh rakyat tentang pendidikan baru sebatas tertulis pada
UUD 1945. Apa yang tertuang dalam Pasal 31 ayat (1 dan 2) UUD 1945 bahwa
‘Setiap warga negara berhak mendapat pengajaran (ayat 1)’ dan ‘Setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
(ayat 2)’ masih jauh dari harapan.
Buktinya, masih ada anak yang
belum mengenyam pendidikan dasar dan anak putus sekolah bahkan ada anak yang
mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri karena keingin annya untuk
bersekolah tak bisa diwujudkan orangtuanya lantaran tak ada biaya. Hal itu
memberi bukti pendidikan yang menjadi hak setiap warga negara belum
sepenuhnya terpenuhi. Pendidikan nasional kita pun semakin menjauh dari
cita-cita kemerdekaan. Negara lepas tangan karena pendidikan diharuskan berada
dalam arus liberalisasi. Wataknya pun semakin komersial. Kastanisasi alias
diskriminasi dalam bidang pendidikan kembali terjadi.
Momentum Hardiknas kali ini
sangat tepat untuk mengurai benang kusut pendidikan nasional dengan berbagai
upaya yang tepat dan benar. Di sinilah peran dan tanggung jawab pemerintah
selaku penyelenggara pendidikan menjamin dan memenuhi semua kebutuhan
pendidikan (biaya pendidikan, infrastruktur, sistem, dan metode pendidikan,
kurikulum, regulasi, dll). Selanjutnya, dibutuhkan dukungan dan perjuangan
tak mengenal lelah antara peserta didik, guru, sekolah, keluarga, dan
masyarakat luas dalam mewujudkan tujuan dan visi pendidikan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar