Pembangunan
Ekonomi untuk Kesejahteraan Bangsa
Rokhmin
Dahuri ; Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Maritim dan
Perikanan
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Mei 2014
INDONESIA sejatinya memiliki modal
dasar terlengkap untuk menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan berdaulat.
Pertama, berupa 250 juta penduduk, terbesar keempat di dunia setelah
Tiongkok, India, dan AS. Jumlah penduduk usia produktif lebih banyak
ketimbang yang berusia tidak produktif (bonus demografi), dengan jumlah kelas
menengah yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini merupakan potensi
pasar domestik yang luar biasa besarnya.
Kedua, kekayaan alam yang
melimpah dan beragam, baik yang terdapat di wilayah darat maupun lautan.
Ketiga, posisi geoekonomi yang sangat strategis, di jantung pusat perdagangan
global. Sekitar 45% dari seluruh komoditas dan barang yang diperdagangkan di
dunia dengan nilai US$1.500 triliun per tahun diangkut melalui laut Indonesia
(UNCTAD, 2010).
Namun, sudah 69 tahun merdeka,
Indonesia masih sebagai negara berkembang (GNP per kapita US$5.000) dengan
angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, kesenjangan antara kelompok
kaya dan miskin kian melebar, serta daya saing ekonomi yang rendah. Tingkat
kemajuan dan kemakmuran Indonesia jauh di bawah negara-negara tetangga yang
modal dasar pembangunannya terbatas.
Sebut saja Singapura, Korea Selatan, dan
Jepang, yang sudah lama menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita di
atas US$30 ribu. IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia hanya menempati
peringkat ke-6 di ASEAN di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia,
Thailand, dan Filipina.
Yang lebih mencemaskan, hingga
saat ini fondasi dan struktur ekonomi Indonesia masih rapuh, sangat bergantung
pada eksploitasi SDA yang miskin hilirisasi dan nilai tambah. Pertumbuhan
ekonomi dalam 10 tahun terakhir lebih dari 70% berasal dari konsumsi, ekspor
komoditas mentah, aliran masuk 'uang panas', dan sektor non-tradable seperti properti, hotel, mal, dan jasa angkutan. Sementara
itu, kita mengimpor mesin dan peralatan mesin, bahan baku, dan bahan penolong
untuk memasok industri nasional. Barang-barang konsumsi (consumer goods) buatan luar negeri seperti kulkas, mesin cuci,
microwave, oven, kipas angin, AC, komputer, dan HP membanjiri pasar domestik
di seluruh wilayah Nusantara. Akhir-akhir ini kita mengimpor pesawat terbang,
kapal perang, dan alutsista dalam jumlah yang sangat besar. Bahkan, ironisnya
Indonesia kini menjadi bangsa pengimpor pangan terbesar di dunia, mulai
beras, jagung, gandum, kedelai, gula, buah-buahan, bawang putih, ikan, sampai
garam.
Strategi industrialisasi
Dengan fondasi dan struktur
ekonomi semacam itu, Indonesia bisa terjebak sebagai negara berpendapatan
menengah, alias tidak bisa menjadi negara maju dan makmur. Untuk keluar dari
jebakan tersebut, mulai sekarang kita harus membangun perekonomian negara ini
berbasis industri yang inovatif, inklusif, dan ramah lingkungan. Suatu sistem
perkonomian yang mampu menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang
kompetitif untuk memenuhi kebutuhan nasional ataupun ekspor secara
berkelanjutan.
Ciri dari barang dan jasa yang
kompetitif ialah kualitasnya unggul, harganya relatif murah, dan volume
produksinya teratur, serta dapat memenuhi kebutuhan konsumen (pasar) domestik
ataupun ekspor setiap saat diperlukan. Barang dan jasa dengan tiga ciri
semacam itu hanya dapat diproduksi oleh perusahaan (unit usaha) yang memiliki
produktivitas dan efisiensi yang tinggi. Yakni, perusahaan yang memenuhi
skala ekonomi, menggunakan teknologi mutakhir dalam setiap mata rantai sistem
bisnisnya, menerapkan manajemen sistem rantai suplai (produksi-processing-pemasaran)
secara terpadu, dan mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang
ramah lingkungan.
Dalam jangka pendek dan menengah
(1-5 tahun ke depan), kita mesti memperkuat dan mengembangkan
perusahaan-perusahaan nasional berskala besar (korporasi) ataupun UMKM yang
mampu; 1) menghasilkan barang dan jasa yang kompetitif, 2) membuahkan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas 8% per tahun), 3) menyerap banyak
tenaga kerja dengan pendapatan rata-rata sedikitnya US$7.250 (pendapatan
minimal untuk negara berpendapatan menengah atas), dan 4) tersebar secara
proporsional di seluruh wilayah NKRI. Ini sangat mungkin kita realisasikan
dengan meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan nilai tambah sektor-sektor
ekonomi SDA (pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, ESDM, dan
pariwisata) secara berkeadilan dan ramah lingkungan, juga melakukan
ekstensifikasi dan diversifikasi sektor ekonomi SDA berbasis inovasi ramah
lingkungan, terutama di luar Jawa dan Bali. Selain itu, kita harus
merevitalisasi industri-industri yang selama ini menjadi unggulan nasional
(seperti tekstil, elektronik, otomotif, makanan dan minuman, serta industri
kreatif) supaya lebih produktif dan berdaya saing di pasar domestik ataupun
global.
Secara simultan, mulai sekarang
sampai 25 tahun ke depan (jangka panjang), kita harus secara sistematis dan
berkesinambungan melakukan transformasi struktur ekonomi nasional. Ini
meliputi industrialisasi sektor pertanian, kehutanan dan kelautan-perikanan
tradisional dengan menerapkan teknologi mutakhir, skala ekonomi, manajemen
sistem rantai suplai terpadu, dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
ramah lingkungan. Selain itu, melakukan hilirisasi sektor ESDM dan
pengelolaannya harus sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. Jangan seperti
sekarang, lebih dari 85% pengelolaan migas dan pertambangan umum (mineral dan
batu bara) diserahkan kepada korporasi asing.
Industri dasar (logam,
permesinan, kimia, dan biologi) harus diperkuat dan dikembangkan. Dalam hal
industrialisasi, kita bisa belajar dari Korea Selatan. Negara yang pada
1960-an kemajuan dan kemakmurannya di bawah Indonesia itu, sejak 1997 sudah
menjadi negara industri maju yang makmur. Negeri Ginseng' juga yang paling
cepat bangkit dari krisis ekonomi Asia 1998. Sekarang Korsel menjadi salah
satu raksasa ekonomi dunia di bidang teknologi informasi, elektronik,
otomotif, perkapalan, konstruksi, farmasi, kosmetik, dan industri kreatif.
Kuncinya satu, Korea memiliki industri dasar yang kuat dan berdaya saing.
Selain itu, transformasi struktur
ekonomi juga mencakup peningkatan kapasitas bangsa untuk; 1) mendi
versifikasi struktur produksi domestik, 2) mengembang kan sektor-sektor
ekonomi baru (seperti kelautan, teknologi informasi, energi baru dan
terbarukan, bioteknologi, nanoteknologi, dan new materials), 3) memperkokoh keterkaitan ekonomi (economic linkages) antarsektor
pembangunan dan antarwilayah, dan 4) meningkatkan peran Indonesia dalam
sistem rantai produksi global agar lebih sebagai bangsa produsen, bukan
konsumen seperti dalam sepuluh tahun terakhir.
Dukungan SDM inovatif
Untuk melaksanakan strategi
industrialisasi di atas, kita harus meningkatkan kapasitas bangsa dalam
menguasai, menghasilkan, dan menerapkan inovasi ipteks (ilmu pengetahuan
teknologi dan seni) dalam segenap aspek kehidupan, khususnya di bidang
industri dan ekonomi. Pasalnya, fakta empiris menunjukkan bahwa bangsa-bangsa
yang maju dan sejahtera, seperti yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic Cooperation and
Development), Singapura, dan Tiongkok adalah mereka yang memiliki daya
inovasi tinggi.
Malangnya, saat ini Indonesia
tergolong bangsa dengan daya inovasi yang rendah, urutan 85 dari 142 negara
yang disurvei tentang kapasitas inovasi (Global
Innovation Index). Adapun Singapura berada di peringkat ke-8, Malaysia
ke-32, Tiongkok ke-35, Thailand ke-57, Filipina ke-65, dan Vietnam ke-76. Lima
bangsa dengan kapasitas inovasi tertinggi ialah Swiss, Swedia, Inggris,
Belanda, dan AS (Cornell University, INSEAD dan WIPO, 2013).
Supaya kapasitas inovasi bangsa
Indonesia bisa sejajar dengan negara-negara industri maju, kualitas SDM
(sumber daya manusia) mesti terus menerus ditingkatkan sehingga memiliki
pengetahuan, keahlian, daya inovasi, dan etos kerja yang unggul. Ini dapat
dilakukan melalui penguatan dan pengembangan sistem pendidikan, R&D
(penelitian dan pengembangan), pelatihan, dan pelayanan kesehatan prima. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar