Karpet
Merah
Toriq
Hadad ; Wartawan
|
TEMPO.CO,
20 Mei 2014
ORANG
menggelar karpet merah untuk dua maksud: menjebak dan menghormat. Keduanya
memiliki riwayat panjang.
Literatur
Yunani yang ditulis pada 458 Sebelum Masehi berkisah tentang Agamemnon. Raja
Argos itu baru kembali dari Perang Trojan. Sebagai panglima perang, ia
membunuh kepala pasukan lawan, juga 15 prajurit Trojan. Clytemnestra,
permaisuri, menggelar karpet merah, dari tempat kereta kuda raja berhenti
sampai gerbang istana.
Raja
ternyata menolak. "Hanya Dewa yang
layak mendapat penghormatan sebesar itu." Firasatnya menangkap
konspirasi jahat. Melalui karpet merah, Raja diarahkan memasuki oikos. Di
bangunan utama itu, ketika Raja berada di bak mandi, pembantaian keji
dirancang: jubah mandi dijaringkan untuk menutup muka, dan tiga tongkat
pelekus dipakai untuk menggebuki kepala raja yang meronta-ronta sampai
benar-benar lunglai.
Agamemnon
tak terpancing strategi durjana itu. Ia tahu istrinya menginginkan
kematiannya. Sebab, ia mengorbankan anak perempuannya, Iphigenia, kepada dewa
dengan barter bangkitnya semangat tempur pasukan Yunani. Ia juga tahu persis,
sang istri menutupi hubungan gelap dengan sepupunya, Aeghistus-yang ternyata
ngebet mengincar takhta raja. Toh, dalam kesempatan lain, akhirnya Agamemnon
tewas. Clytemnestra dipercaya sebagai dalang. Sampai sekarang, Agamemnon
diceritakan sebagai pemberani, sombong, dan sekaligus arogan. Malapetaka
gampang datang dari sifat angkuh.
Karpet
merah bukan hanya tentang jebakan, tapi juga penghormatan. Untuk pertama
kali, pada 1821, Presiden Amerika Serikat James Monroe mendapat penghormatan
berupa hamparan karpet merah dalam sebuah kunjungan. Pada 1902, The New York Central Railroad
membentangkan karpet merah untuk penumpang kereta api 20th Century Limited.
Kita
bicara lagi soal karpet merah hari-hari ini, menjelang pemilihan presiden
baru Republik. Megawati, ketua umum Partai Banteng, telah menetapkan pilihan.
Ketimbang untuk dirinya, lebih baik menggelar hambal untuk Joko Widodo,
Gubernur Jakarta. Jokowi-begitu Joko Widodo biasa disapa-memang yang
tertinggi tingkat keterpilihannya menurut survei. Banyak yang berharap tak
ada "niat lain" di balik keputusan ini. Jokowi bukanlah Raja Argos
yang mesti "dikendalikan" ketika ia melewati mulut gerbang
"oikos". Rasionalitas dalam memilih barisan koalisi penyokong
Jokowi akan sangat menentukan. Jika partai itu abai pada suara publik, selalu
mendasarkan keputusan politik pada alasan pribadi atau trauma masa lalu
pemimpinnya, akibatnya bisa fatal. "Malapetaka"
bisa mampir lewat keangkuhan sebagai pengumpul suara terbanyak pemilu
legislatif.
Kesempatan
gelar babut merah sebenarnya dimiliki Partai Golkar dan Partai Demokrat. Itu
kalau keduanya mau melayani rakyat, bukan meladeni hasrat "pemilik"
partai belaka. Golkar merupakan "pemenang kedua" pemilu legislatif.
Perolehan itu dipercaya sebagai hasil kaderisasi yang cukup berjalan di
partai yang lahir pada masa Orde Baru itu.
Bahwa
dukungan rakyat terhadap Golkar tak serta-merta merupakan dukungan untuk
Aburizal Bakrie (ARB), ketua umum, sebagai calon presiden, tak terlalu sulit
menerka penyebabnya. Dukungan untuk ARB tak utuh. Pencalonannya semula bahkan
ditentang sebagian orang dalam. Ia juga memiliki "handicap",
misalnya akibat penanganan kasus Lumpur Lapindo. Belakangan, dalam penjajakan
koalisi, "pinangan" ARB-kendati ia sudah menurunkan syarat,
bersedia cukup menjadi wakil presiden-ternyata tak membuat dua grup koalisi
besar, yakni PDI Perjuangan dan Gerindra, mengubah susunan calon
presiden-wakil presiden dengan memasukkan ARB.
Kalau
kelak Golkar "berjodoh" dengan Partai Demokrat, itu pilihan
kepepet. Hanya dengan begitu keduanya memenuhi ketentuan batas suara untuk
mencalonkan presiden. Kalau "poros ketiga" terbentuk, pemilihan
presiden mungkin akan berlangsung dua putaran. Artinya, anggaran negara untuk
tiga kali pemilu tahun ini sebesar lebih dari Rp 14 triliun seluruhnya akan
terpakai.
Padahal,
survei menunjukkan, siapa pun pasangan yang diajukan "poros
ketiga", peluang menangnya sangat tipis. Peserta konvensi Demokrat
suaranya telah diketahui amat tak signifikan. ARB pun tingkat keterpilihannya
di bawah Prabowo, apalagi Jokowi.
Bila tak
ingin bergabung dengan dua koalisi besar, Golkar dan Demokrat bisa bersatu
menjadi "oposisi" di parlemen. Mengingat jam terbang kedua partai
itu dalam memerintah, mereka bisa mengajak rakyat membedah program-program
strategis presiden terpilih kelak. Akses dan pengetahuan yang lebih baik akan
meningkatkan partisipasi publik dalam membangun. Bukankah itu berarti
menggelar "karpet merah" yang paling berharga untuk rakyat? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar