Mental
Revolusi
Candra
Malik ; Praktisi
Tasawuf
|
TEMPO.CO,
20 Mei 2014
Kita
tidak punya musuh bersama. Karena itulah, kita saling memusuhi. Yang pada
mulanya kawan, pada akhirnya menjadi lawan. Takdir betapa tiada yang abadi
dalam politik, selain kepentingan, telah membuat kita menjadikan segala
sesuatu sebagai politik. Setidaknya, segala sesuatu itu wajar jika kita
politisasi. Atas nama kepentingan, kita enteng menghalalkan segala cara.
Bahkan dengan menciptakan musuh bersama, meski ia bersih dari dosa sejarah.
Politik
pencitraan berhadap-hadapan dengan kampanye hitam. Politik bukan lagi tentang
siapa bermain cantik, namun lebih tentang siapa berperan sebagai wasit. Tapi,
wasit ternyata tidak ada dalam politik. Semuanya, bahkan termasuk para
penonton, adalah pemain. Setiap penonton dihargai satu suara, yang dirumuskan
dalam demokrasi sebagai "one man
one vote". Tidak ada peluit, kartu merah, kartu kuning, off-side, penalti, atau pelanggaran
apa pun.
Hampir
semuanya kita langgar, baik secara terang-terangan maupun diam-diam.
Kemenangan dalam tanding politik sesungguhnya hanya seperti adu skor yang
bisa kita atur sejak awal. Selebihnya hanya formalitas. Tak mengherankan kita
menyebutnya pesta demokrasi. Padahal, tidak ada pesta dalam demokrasi, selain
nyanyi lagu ulang tahun-kita toh memang terus-menerus mengulang tradisi
politik kotor tahun demi tahun-lalu tiup lilin dan potong kue kekuasaan.
Pesta
demokrasi tidak berlaku bagi rakyat. Jikapun menerima uang dari politikus,
rakyat dihantui kewajiban untuk mencoblos mereka. Kalaupun menerima uang,
tapi menolak pesan sponsor, rakyat tetap dijebloskan ke dalam permainan uang
panas. Tidak ada keberkahan dari kertas bernomor seri entah asli entah palsu
itu. Sejak mau menerima duit politik, sejak itu kita telah terjerumus dalam
lingkaran setan. Kemurnian suara dari rakyat toh juga sirna sejak dilebur
dalam koalisi.
Tak ada
keterwakilan dalam lembaga legislatif. Kalaupun ada yang dibela, mereka bukan
rakyat. Mereka adalah konstituen. Dan, bagi wakil rakyat, itu artinya
pundi-pundi kepentingan. Tak ada kepemimpinan dalam lembaga eksekutif pula.
Kalaupun ada yang dipimpin, mereka bukan kabinet. Tapi gerombolan penyamun
dari gangster berlabel partai politik. Jual-beli nama dan suara sudah terlalu
menjenuhkan untuk dibicarakan, karena sudah basi. Kita belum bergerak ke tema
baru.
Revolusi
mental mudah dipatahkan oleh mental revolusi. Ya, kita memang anak bangsa
dengan mental revolusi. Kita kuat bergerilya lama, bahkan demi pertempuran
yang sejak awal kita ketahui akan berakhir dengan kekalahan. Kalaupun tahu
diri tak akan menang, kita masih akan menawarkan peran merecoki, memecah
konsentrasi, atau merusak kesepakatan. Dan, itu ada harga tersendiri dalam
politik. Toh, kita sama tahu politik bukan milik politikus, melainkan milik
pebisnis.
Pemilu
diadakan sesuai dengan kepentingan, antara lain untuk judi, arisan, lelang,
atau jual-beli. Yang penting, pebisnis yang ikut bermain harus memiliki saham
di perusahaan besar bernama negara-lengkap dengan kop surat, stempel, dan
tanda tangan eksekutif. Dan, setiap pebisnis pada hakikatnya adalah petani:
menanam politikus sejak benih karena yakin akan panen kekuasaan. Lokomotif
reformasi saja bisa kita jual ke mereka, apalagi cuma bordes dan restorasi.
Kita siap terima order. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar