Mencari Arah Pendidikan Indonesia
Anggaran
Besar, tetapi Tanpa Target
Luki Aulia ;
Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
03 Mei 2014
Sejak
konstitusi menetapkan alokasi anggaran fungsi pendidikan minimal 20 persen
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada 2009, bidang pendidikan
selalu bergelimang anggaran. Tahun ini saja jumlahnya mencapai Rp 368
triliun. Sayang, kesenjangan kondisi pendidikan masih kasatmata.
Kesenjangan
itu dikarenakan kebijakan pendidikan dibuat berdasarkan anggaran yang
tersedia. Akibatnya, kebijakan lebih terasa sebagai proyek yang selalu
berganti setiap kali pergantian pemimpin.
Pendekatan
input atau pendekatan anggaran dalam penyusunan kebijakan pendidikan seperti
itu dinilai keliru. Seharusnya program ataupun kebijakan dirancang atas dasar
kebutuhan dan anggarannya yang harus fleksibel menyesuaikan dengan program
prioritas atau target capaian pendidikan, misalnya dalam 5-10 tahun ke depan.
Jika itu yang dilakukan, dijamin tidak akan ada anggaran yang terbuang
percuma ataupun tidak terserap.
Efisiensi
dan efektivitas penggunaan anggaran pendidikan bisa tercapai jika saja
pemerintah berani menetapkan target capaian yang terukur sehingga dapat
dievaluasi. Barulah nanti ditentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan. Belum
juga jelas target hasil pendidikan yang hendak dicapai, anggaran sudah
langsung dipatok 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Itu pun mayoritas langsung ditransfer ke daerah.
Jika
target capaian yang ditentukan terlebih dahulu, bisa jadi anggaran pendidikan
yang dibutuhkan akan lebih atau justru kurang dari 20 persen. Itu seharusnya
bisa dilakukan, terutama jika kita sama-sama sepakat bahwa peningkatan
kualitas pendidikan merupakan urusan paling mendesak bagi bangsa.
Masalah
anggaran pendidikan tersebut menjadi salah satu bahasan diskusi kerja sama
Kompas-Persatuan Guru RI (PGRI) ”Mencari Arah Pendidikan Indonesia”, 21 April
lalu. Para pembicara dalam diskusi tersebut ialah Rektor Universitas Islam
Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat, Ketua Umum Pengurus Besar
PGRI Sulistiyo, pengajar dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Faisal
Basri, dan Direktur Pendidikan Karakter Education
Consulting Doni Koesoema dengan moderator Ketua Departemen Penelitian dan
Pengembangan PGRI Mohammad Abduhzen.
Ukuran keberhasilan
Selama
ini, ukuran keberhasilan proses pembelajaran pendidikan formal hanya dilihat
dari tingkat kelulusan ujian nasional (UN) dan banyaknya prestasi kemenangan
dalam berbagai olimpiade nasional ataupun internasional. Ukuran prestasi pada
kedua hal itu pula yang mendasari pemberian insentif atau beasiswa kepada
sekolah atau murid. Bagi sekolah dengan nilai UN terendah akan diberi
insentif khusus untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Bagi anak-anak
pemenang olimpiade, yang jumlahnya tidak banyak, dijanjikan masa depan
gemilang dengan beasiswa hingga pendidikan tinggi.
Seperti
cara kerja pemadam kebakaran atau dokter, program kebijakan pendidikan yang
dibuat tidak hanya berdasarkan anggaran, tetapi juga responsif saja. Seakan
tanpa target jangka panjang yang jelas dan terukur. Generasi seperti apa yang
hendak dibentuk agar mempunyai daya saing kuat? SDM dengan keahlian spesifik
apa yang kita butuhkan agar mampu mendorong perekonomian bangsa ini?
Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan dan keunggulan di sektor apa
nantinya? Pertanian? Kelautan? Pertanyaan-pertanyaan itu seharusnya menjadi
fondasi penyusunan kebijakan pendidikan.
Mengingat
semakin dekatnya pasar terbuka, seharusnya pemerintah lebih berani menetapkan
target capaian tinggi, bahkan berstandar internasional. Kondisi anak-anak
kita, jika dibandingkan dengan anak lain di berbagai negara, setidaknya dari
sisi akademik, belumlah membanggakan. Setidaknya, itu yang terlihat di hasil
tes internasional, seperti Programme
for International Student Assessment (PISA), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS),
dan Progress in International Reading
Literacy Study (PIRLS). Ketiga tes itu menunjukkan kemampuan berhitung
(math), sains, dan memahami konteks (reading)
berada di peringkat terbawah. Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Ghana
dan, yang jelas, jauh tertinggal dari tetangga terdekat, seperti Thailand dan
Malaysia.
Wajar
saja jika hasil pendidikan Indonesia belum sesuai harapan dan belum bisa
menggerakkan roda perekonomian dengan lebih cepat. Itu karena pendekatan
input atau anggaranlah yang digunakan. Anggaran fungsi pendidikan justru
lebih banyak digunakan untuk birokrasi pendidikan, bukan untuk kepentingan
murid atau peningkatan kualitas pendidikan. Karena pendekatan input itu pula,
pembuatan program terkesan untuk menghabiskan anggaran saja.
Anggaran
fungsi pendidikan bisa tiba-tiba naik pada Juni atau Juli tahun anggaran
karena subsidi BBM naik. Lalu, tergopoh-gopohlah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan membuat rencana penggunaan anggaran. Yang paling masuk akal dan
bisa dengan cepat menghabiskan anggaran dalam waktu singkat ialah dengan
memberikan bantuan dan beasiswa pendidikan sebanyak-banyaknya.
Tidak efektif
Anggaran
fungsi pendidikan 20 persen dari APBN dinilai tidak efektif meningkatkan
kualitas pendidikan karena anggaran itu dibagi-bagi ke kementerian/lembaga
lain yang juga menyelenggarakan fungsi pendidikan. Dari total anggaran Rp 368
triliun, alokasi terbesar justru ada di pos transfer daerah hingga Rp 238,6
triliun (mayoritas untuk tunjangan guru/dosen dan gaji). Barulah kemudian
alokasi untuk Kemdikbud sebesar Rp 80,6 triliun, Kementerian Agama Rp 42,5
triliun, dan sisanya di 16 kementerian/lembaga lain sebesar Rp 7,05 triliun.
Dari Rp
80,6 triliun anggaran Kemdikbud, ada anggaran yang mengikat sebesar Rp 61,01
triliun untuk bantuan siswa miskin, beasiswa Bidikmisi, bantuan operasional
PTN, bantuan operasional menengah, tunjangan guru/dosen, dan gaji. Ada pula
program prioritas nasional, seperti wajib belajar sembilan tahun, Kurikulum
2013, pendidikan menengah universal, dan sarana prasarana pendidikan tinggi
Rp 18,2 triliun (22,56 persen).
Melihat
postur anggaran seperti ini, pemerintah sepertinya masih menitikberatkan pada
kuantitas dan akses demi menggenjot angka partisipasi anak di sekolah.
Berbagai bantuan dan beasiswa dikucurkan agar semua anak usia sekolah bisa
bersekolah dan mampu bertahan selama mungkin supaya tidak putus sekolah.
Dari
pandangan pemerintah selama ini, dampak pemanfaatan anggaran fungsi
pendidikan 20 persen dari APBN itu memang diakui belum terasa seluruhnya
karena baru dimulai tahun 2009. Meski demikian, Kemdikbud mencatat capaian
yang mulai terlihat, seperti kenaikan angka partisipasi kasar (APK) perguruan
tinggi dari 18-19 persen tahun 2009 menjadi 27 persen pada 2012. Dampak
anggaran fungsi pendidikan itu membutuhkan proses panjang, tak cukup hanya
lima tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar