Minggu, 02 Februari 2014

Menyoal Model Majalah Pria Dewasa Ikut Nyaleg

Menyoal Model Majalah Pria Dewasa Ikut Nyaleg

Yulizah  ;   Mahasiswa  Pascasarjana Unand
HALUAN,  01 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Pemilu Legislatif 09 April 2014 yang sebentar lagi akan diadakan mendapatkan perhatian khusus dari semua pihak. Dimulai dari para pengu­saha, artis hingga ulama, berlomba-lomba mencoba peruntungan di dunia politik.

Masyarakat di setiap daerah memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Inilah yang membuat mereka yakin untuk maju menjadi anggota dewan yang mewa­kili aspirasi rakyat di daerah pemilihan atau dapil mereka masing-masing.

Sebenarnya fenomena ini bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan. Pemilu legislatif atau pileg  beberapa periode belakangan ini memang selalu diwarnai oleh wajah-wajah pengusaha dan artis ibu kota. Namun pileg mendatang akan tambah berwarna dengan hadirnya calon legislatif yang berlatar belakang model majalah pria dewasa.

Profesi model majalah pria dewasa mungkin saja dipandang negatif oleh sebagian kalangan masya­-rakat. Namun beberapa model ini tidak takut kecewa dengan hasil pemilihan nantinya. Model seksi ini mencoba peruntungan di dunia politik dengan modal nekat. Nekat dalam artian tidak pernah berkecimpung dalam dunia tersebut tetapi ingin mencoba dengan pe­ngetahuan yang minim.

Salah satu model tersebut yaitu Destiya Purna Panca atau yang lebih dikenal dengan Destyiya Talita. Partai politik yang me­rekrut para model ini sepertinya tidak takut jika popu­laritas partainyanya menjadi menu­run. Atau bahkan hal ini merupakan salah satu sensasi untuk menaikkan pamor partai karena akan jadi sorotan media.

Salah satu partai yang merengkrut mo­del majalah pria dewasa ini sebagai caleg yaitu PKPI. Strategi perek­rutan ini tentunya menjadi hal yang unik. Seharusnya perekrutan anggota partai bukan hanya pada saat musim pemilu saja. Par­tai seharusnya sudah mem­per­siapkan dengan ma­tang calon-calon terbaik mereka untuk mem­berikan keperca­yaan kepada masyarakat.

Timbul beberapa perta­nyaan yang meng­hantui publik. Kenapa saat ini partai cenderung meme­nuhi kuota calegnya bukan dari kalangan politikus sejati? Atau anggota partai yang aktif merintis karir dari bawah dan benar-benar mengetahui berbagai hal tentang dunia politik dan notabene mereka yang benar-benar belajar lika-liku perpolitikan? Tapi partai justru malah merekrut calon-calon wakil rakyat dari golongan artis yang nota­bene mereka sama sekali belum pernah bersing­gungan dengan yang na­manya politik, atau produk undang-undang yang tentu saja mesti didasarkan atas kedalaman ilmu dan penga­laman sebagai seorang kader sebuah partai.

Artis-artis yang direkrut oleh partai politik kebanya­kan juga dari artis-artis kontroversial, se­perti Angel Lelga yang berita mi­ring mengenai dirinya banyak dibe­ritakan, atau Ca­melia Petir yang meng­ganti nama­nya men­jadi Came­lia Pandu­winata, se­orang penya­nyi dang­dut yang juga ter­kenal akibat ma­salah asmaranya dengan Vicky Pa­setyo. Dan se­karang ditam­bah lagi dengan calon legislatif dari kalangan model hot.

Hal ini mungkin disebab­kan karena situasi politik saat ini berubah, di mana kecen­derungan masyarakat lebih mengidolakan artis yang keren-keren dan meng­hibur daripada se­orang yang memahami ilmu politikan dan ilmu ketatanegaraan. Bisa jadi karena saat ini masyarakat sudah mulai bosan dengan intrik politik para wakil rakyat. 

Apalagi saat ini ada kecenderungan calon wakil rakyat sama sekali tidak dikenal oleh rakyat. Sehingga ada imej bahwa wakil rakyat adalah orang-orang yang istimewa dan bukan bagian masya­rakat kecil. Keadaan ini mungkin sangat mengun­tungkan bagi partai politik dan anggota calon legislatif tersebut. Namun hal ini justru tidak akan merubah nasib rakyat yang mereka wakili.

Siapapun calonnya dan apapun latar belakang pekerjaannya memang tidak perlu diper­masa­lahkan ketika mereka memiliki niat yang baik untuk membawa peru­bahan. Harapan masya­rakat akan calon legislatif ini adalah kehadiran mereka memang betul-betul akan membawa perubahan dan kesejah­teraan bagi masya­rakat. Ketika sese­orang mem­beranikan diri untuk menja­di seorang pemimpin, tentu ia sudah siap dengan segala risiko dan tanggung jawab yang diembannya. Dan tentu tidak ada salah­nya jika seorang model majalah pria dewasa juga ingin mem­buktikan dirinya lewat politik untuk mem­bawa suatu perubahan. Namun apa betul masya­rakat ingin diwakili oleh seorang man­tan model majalah pria dewasa? Untuk menjawab pertanyaan ini, masyarakat tentu harus berupaya lebih mengenal dari dekat sosok calon pemimpin mereka. ●

.�  �4� �ھ ly:"Arial","sans-serif"'>Pada titik inilah lajur kehidupan musik dangdut berlawanan dengan pop. Karena menjadi musik kerakyatan, dangdut adalah sarana ideal dalam mengemban misi menyemarakkan kampanye. 

Tak mengherankan kemudian diberitakan bahwa pentas dangdut menjadi sarana efektif menggalang massa di musim politik. Di balik itu, banyak para politikus dan birokrat telah jatuh hati pada kemolekan penyanyi dangdut. 

Dilupakan

Moh Muttaqin lewat tulisannya berjudul Dangdut and its Existence in the Society (2006) menjelaskan, dangdut menjadi ruang ideal dalam misi propaganda politik, terutama lewat erotika. Wajar kemudian jika jadwal pementasan kelompok dangdut di Jawa Timur dan Pantai Utara Jawa (Pantura) penuh menjelang pemilu. 
Musim panen sedang berlangsung. Erotika menjadi pemandangan lumrah. Para politikus disemai dari hasil goyang. Walaupun kadang mereka lupa, setelah menjadi birokrat sibuk mengurusi tentang undang-undang pornografi dalam musik dangdut. Tak sadar bahwa lewat dangdut dan erotikalah politisi itu dibentuk.
Namun panggung dangdut juga seringkali minta korban karena berdesakan, tawuran, dan kekerasan. Dangdut boleh dikata sebagai musik paling banyak mendulang kerusuhan. Adu joget menjadi adu jotos. 
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, presiden yang dibesarkan lewat dangdut itu mencoba melarang kampanye dengan medium dangdut (Koran Jakarta, 16/01/2013). Menurutnya, saat ini kurang efektif mengumpulkan masa lewat dangdut. Sebab, selain rawan ricuh, visi misi tak sampai secara ideal karena masyarakat hanya ingin hiburannya untuk bergoyang. 
Alangkah lebih baik kampanye dilakukan di dalam gedung dan hanya mengundang masa dengan kapasitasnya terbatas. Semakin banyak politikus menggunakan dangdut, tambah mengangkat namanya untuk dikenal masyarakat luas.
Atau justru sebaliknya, masyarakat hanya datang demi dangdut, bukan karena pamrih politik. Kata-kata politisi lewat orasinya tidak lagi penting. Yang utama dan ditunggu adalah menikmati lagu dangdut sambil ekstase goyang
Dangdut menjadi nukilan yang menyertai hajad agung negeri ini. Dangdut berjasa besar dalam struktur penekanan politik Indonesia abad XXI. Dangdut kembali diprediksi segera menyapa masyarakat jelang kampanye.
Dangdut memanggil massa untuk datang, menyaksikan biduan-biduan cantik dan beratraksi tubuh. Nyanyian boleh sumbang, suara politisi boleh muluk penuh janji, tapi goyang tidak tergantikan. 
Dangdut tak lagi sekadar goyang dan musik, tetapi telah mewarnai politik. Boleh jadi dangdut politik tengah berlangsung. Dangdut politik adalah sebuah potret demokratisasi yang masih "goyang," belum mapan, labil karena demokrasi masih bisa "digoyang" politik uang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar