Menyoal
Model Majalah Pria Dewasa Ikut Nyaleg
Yulizah ;
Mahasiswa
Pascasarjana Unand
|
HALUAN,
01 Februari 2014
Pemilu Legislatif 09 April
2014 yang sebentar lagi akan diadakan mendapatkan perhatian khusus dari semua
pihak. Dimulai dari para pengusaha, artis hingga ulama, berlomba-lomba
mencoba peruntungan di dunia politik.
Masyarakat di setiap daerah memiliki hak
untuk memilih dan dipilih. Inilah yang membuat mereka yakin untuk maju
menjadi anggota dewan yang mewakili aspirasi rakyat di daerah pemilihan atau
dapil mereka masing-masing.
Sebenarnya fenomena ini bukanlah hal yang
perlu dipermasalahkan. Pemilu legislatif atau pileg beberapa periode
belakangan ini memang selalu diwarnai oleh wajah-wajah pengusaha dan artis
ibu kota. Namun pileg mendatang akan tambah berwarna dengan hadirnya calon
legislatif yang berlatar belakang model majalah pria dewasa.
Profesi model majalah pria dewasa mungkin
saja dipandang negatif oleh sebagian kalangan masya-rakat. Namun beberapa
model ini tidak takut kecewa dengan hasil pemilihan nantinya. Model seksi ini
mencoba peruntungan di dunia politik dengan modal nekat. Nekat dalam artian
tidak pernah berkecimpung dalam dunia tersebut tetapi ingin mencoba dengan pengetahuan
yang minim.
Salah satu model tersebut yaitu Destiya
Purna Panca atau yang lebih dikenal dengan Destyiya Talita. Partai politik
yang merekrut para model ini sepertinya tidak takut jika popularitas
partainyanya menjadi menurun. Atau bahkan hal ini merupakan salah satu
sensasi untuk menaikkan pamor partai karena akan jadi sorotan media.
Salah satu partai yang merengkrut model
majalah pria dewasa ini sebagai caleg yaitu PKPI. Strategi perekrutan ini
tentunya menjadi hal yang unik. Seharusnya perekrutan anggota partai bukan
hanya pada saat musim pemilu saja. Partai seharusnya sudah mempersiapkan
dengan matang calon-calon terbaik mereka untuk memberikan kepercayaan
kepada masyarakat.
Timbul beberapa pertanyaan yang menghantui
publik. Kenapa saat ini partai cenderung memenuhi kuota calegnya bukan dari
kalangan politikus sejati? Atau anggota partai yang aktif merintis karir dari
bawah dan benar-benar mengetahui berbagai hal tentang dunia politik dan
notabene mereka yang benar-benar belajar lika-liku perpolitikan? Tapi partai
justru malah merekrut calon-calon wakil rakyat dari golongan artis yang notabene
mereka sama sekali belum pernah bersinggungan dengan yang namanya politik,
atau produk undang-undang yang tentu saja mesti didasarkan atas kedalaman
ilmu dan pengalaman sebagai seorang kader sebuah partai.
Artis-artis yang direkrut oleh partai
politik kebanyakan juga dari artis-artis kontroversial, seperti Angel Lelga
yang berita miring mengenai dirinya banyak diberitakan, atau Camelia Petir
yang mengganti namanya menjadi Camelia Panduwinata, seorang penyanyi
dangdut yang juga terkenal akibat masalah asmaranya dengan Vicky Pasetyo.
Dan sekarang ditambah lagi dengan calon legislatif dari kalangan model hot.
Hal ini mungkin disebabkan karena situasi
politik saat ini berubah, di mana kecenderungan masyarakat lebih
mengidolakan artis yang keren-keren dan menghibur daripada seorang yang
memahami ilmu politikan dan ilmu ketatanegaraan. Bisa jadi karena saat ini
masyarakat sudah mulai bosan dengan intrik politik para wakil rakyat.
Apalagi
saat ini ada kecenderungan calon wakil rakyat sama sekali tidak dikenal oleh
rakyat. Sehingga ada imej bahwa wakil rakyat adalah orang-orang yang istimewa
dan bukan bagian masyarakat kecil. Keadaan ini mungkin sangat menguntungkan
bagi partai politik dan anggota calon legislatif tersebut. Namun hal ini
justru tidak akan merubah nasib rakyat yang mereka wakili.
Siapapun calonnya dan apapun latar belakang
pekerjaannya memang tidak perlu dipermasalahkan ketika mereka memiliki niat
yang baik untuk membawa perubahan. Harapan masyarakat akan calon legislatif
ini adalah kehadiran mereka memang betul-betul akan membawa perubahan dan
kesejahteraan bagi masyarakat. Ketika seseorang memberanikan diri untuk
menjadi seorang pemimpin, tentu ia sudah siap dengan segala risiko dan
tanggung jawab yang diembannya. Dan tentu tidak ada salahnya jika seorang
model majalah pria dewasa juga ingin membuktikan dirinya lewat politik untuk
membawa suatu perubahan. Namun apa betul masyarakat ingin diwakili oleh
seorang mantan model majalah pria dewasa? Untuk menjawab pertanyaan ini,
masyarakat tentu harus berupaya lebih mengenal dari dekat sosok calon
pemimpin mereka. ●
|
Tak mengherankan kemudian diberitakan bahwa
pentas dangdut menjadi sarana efektif menggalang massa di musim politik. Di
balik itu, banyak para politikus dan birokrat telah jatuh hati pada kemolekan
penyanyi dangdut.
Dilupakan
Moh Muttaqin lewat tulisannya berjudul Dangdut and its Existence in the Society (2006) menjelaskan, dangdut menjadi ruang ideal dalam misi propaganda politik, terutama lewat erotika. Wajar kemudian jika jadwal pementasan kelompok dangdut di Jawa Timur dan Pantai Utara Jawa (Pantura) penuh menjelang pemilu.
Dilupakan
Moh Muttaqin lewat tulisannya berjudul Dangdut and its Existence in the Society (2006) menjelaskan, dangdut menjadi ruang ideal dalam misi propaganda politik, terutama lewat erotika. Wajar kemudian jika jadwal pementasan kelompok dangdut di Jawa Timur dan Pantai Utara Jawa (Pantura) penuh menjelang pemilu.
Musim panen sedang berlangsung. Erotika
menjadi pemandangan lumrah. Para politikus disemai dari hasil goyang.
Walaupun kadang mereka lupa, setelah menjadi birokrat sibuk mengurusi tentang
undang-undang pornografi dalam musik dangdut. Tak sadar bahwa lewat dangdut
dan erotikalah politisi itu dibentuk.
Namun panggung dangdut juga seringkali
minta korban karena berdesakan, tawuran, dan kekerasan. Dangdut boleh dikata
sebagai musik paling banyak mendulang kerusuhan. Adu joget menjadi adu jotos.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya,
presiden yang dibesarkan lewat dangdut itu mencoba melarang kampanye dengan
medium dangdut (Koran Jakarta, 16/01/2013). Menurutnya, saat ini kurang
efektif mengumpulkan masa lewat dangdut. Sebab, selain rawan ricuh, visi misi
tak sampai secara ideal karena masyarakat hanya ingin hiburannya untuk
bergoyang.
Alangkah lebih baik kampanye dilakukan di
dalam gedung dan hanya mengundang masa dengan kapasitasnya terbatas. Semakin
banyak politikus menggunakan dangdut, tambah mengangkat namanya untuk dikenal
masyarakat luas.
Atau justru sebaliknya, masyarakat hanya
datang demi dangdut, bukan karena pamrih politik. Kata-kata politisi lewat
orasinya tidak lagi penting. Yang utama dan ditunggu adalah menikmati lagu
dangdut sambil ekstase goyang
Dangdut menjadi nukilan yang menyertai
hajad agung negeri ini. Dangdut berjasa besar dalam struktur penekanan
politik Indonesia abad XXI. Dangdut kembali diprediksi segera menyapa
masyarakat jelang kampanye.
Dangdut memanggil massa untuk datang,
menyaksikan biduan-biduan cantik dan beratraksi tubuh. Nyanyian boleh
sumbang, suara politisi boleh muluk penuh janji, tapi goyang tidak
tergantikan.
Dangdut tak lagi sekadar goyang dan musik,
tetapi telah mewarnai politik. Boleh jadi dangdut politik tengah berlangsung.
Dangdut politik adalah sebuah potret demokratisasi yang masih
"goyang," belum mapan, labil karena demokrasi masih bisa
"digoyang" politik uang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar