Eisenhower
dan Sembilan Murid Hitam
Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 10 Januari 2012
Kisah ini sangat mengharukan saya. Sembilan
murid hitam di sebuah kota yang jauh dari ibukota Washington, masuk sekolah
dengan dikawal oleh 1.200 tentara. Hak mereka untuk sekolah hendak dibatalkan
oleh seorang gubernur, dan seorang presiden langsung turun tangan melindungi
murid-murid yang masih belia itu.
Kisah ini terjadi jauh di negeri lain di
tahun 50-an. Tokoh utamanya adalah sembilan murid berkulit hitam, Presiden
Dwight D. Eisenhower dari Amerika Serikat, dan Gubernur negara bagian Arkansas
Orval Faubus. Lokasinya, sebuah sekolah menengah Little Rock High School di
Little Rock, ibukota negara bagian Arkansas. Kisah ini patut menjadi teladan
untuk negeri kita, terutama untuk para pemangku kebijakan.
Inilah kisah selengkapnya.
Sejarah perbudakan di AS berlangsung sejak
lama, jauh sebelum negeri itu berdiri pada 1776. Sebelum abad ke-16, lembaga
perbudakan ada hampir di seluruh pelosok dunia, termasuk di dunia Islam. Baru
pada pertengahan abad ke-16, muncul suara-suara protes dari kalangan gereja
yang menyerukan penghapusan perbudakan. Salah satu sekte Kristen yang terkenal
dengan semangat anti-perbudakan adalah Quaker. Bagi mereka, perbudakan adalah
praktik yang un-Christian, tidak Kristiani.
Pada tahun 1865, perbudakan dihapuskan secara
resmi di AS melalui amandemen ke-13, persis setelah perang sipil yang
berlangsung selama lima tahun (1861-1865). Meski demikian, praktik diskriminasi
terhadap mantan budak masih terus berlangsung, terutama di bagian Selatan.
Praktik segregasi itu bahkan disahkan melalui doktrin hukum yang terkenal saat
itu: equal but separate.
Inti doktrin itu, orang-orang kulit hitam
(belakangan lebih dikenal dengan sebutan African-American) dianggap sebagai
warga negara yang sama dengan warga lain, tetapi mereka tak diperbolehkan
berbaur dengan warga lain itu, terutama yang berkulit putih. Penganut doktrin
ini beranggapan bahwa praktek ‘equal but separate’ tak berlawanan dengan
amandemen ke-13.
Dengan doktrin ini, orang-orang hitam tak
boleh bersekolah di tempat yang sama dengan orang-orang kulit putih, dilarang
masuk ke tempat-tempat umum dimana orang kulit putih ada di sana: restoran,
pub, bar, bahkan toilet. Orang kulit hitam memang dianggap sebagai warga negara
yang sah dan sama kedudukannya dengan warga lain, tetapi mereka seperti
‘dikarantina’ di tempat yang terpisah.
Praktik segregasi, terutama di sekolah itu,
baru dinyatakan ilegal oleh Mahkamah Agung (Supreme Court) AS pada 1954 melalui
suatu keputusan yang dikenal dengan Brown v. Board of Education. Keputusan
mahkamah ini menyatakan bahwa seluruh praktik segregasi di sekolah-sekolah AS
tidak sah dan berlawanan dengan konstitusi. Seluruh sekolah diharuskan untuk
mengintegrasikan murid-murid berkulit hitam dengan murid-murid kulit putih.
De-segregasi juga diharuskan di tempat-tempat publik yang lain.
Semua sekolah, tentu dengan enggan, menaati
aturan ini. Tetapi ada perkecualian yang kemudian pecah sebagai insiden yang
menghebohkan seluruh Amerika pada tahun 1957. Insiden itu terjadi di sebuah
sekolah menengah di kota Little Rock, yakni Little Rock High School.
Menindaklanjuti keputusan mahkamah itu, NAACP
(National Association for the Advancement of Colored People), sebuah LSM yang
berjuang untuk membela hak-hak sipil warga kulit hitam, berencana untuk mendaftarkan
sembilan murid hitam di Sekolah Little Rock yang, sudah tentu, seluruh muridnya
berkulit putih. Kepala sekolah setuju. Rencananya, kesembilan murid itu akan
mulai masuk pada musim gugur 1957, persisnya pada 4 September 1957.
Rencana ini diprotes oleh kelompok kulit
putih yang pro segregasi. Mereka ramai-ramai mendatangi sekolah itu dan
menghalang-halangi kesembilan murid tersebut untuk masuk gerbang sekolah. Yang
lebih dramatis, Gubernur negara bagian Arkansas Orval Faubus mendukung kaum
segregasionis itu, dan, tak main-main, mengirimkan pasukan Garda Nasional dari
Arkansas untuk membantu kaum kulit putih mencegah sembilan murid hitam memasuki
halaman sekolah.
Sembilan murid hitam itu akhirnya gagal masuk
sekolah. Mereka, murid yang masih ingusan itu, dicegat oleh barisan tentara
Garda Nasional. Mereka juga menjadi sasaran cemoohan dan pelecehan massa kulit
putih yang meneriakkan yel-yel, “Two, four, six, eight… We ain’t gonna
intregrate!” Mereka mengejar dan memukuli para wartawan yang meliput peristiwa
itu.
Peristiwa ini langsung menjadi isu nasional
yang menyedot perhatian seluruh warga Amerika.
Melihat tindakan gubernur Arkansas yang
nyata-nyata melawan keputusan Mahkamah Agung ini, Presiden Dwight D. Eisenhower
langsung turun tangan. Dia meminta Gubernur Faubus menemuinya secara pribadi,
dan memerintahkan agar dia tak membangkang dari keputusan Mahkamah. Gubernur
Faubus rupanya tak menggubris. Terjadilah ketegangan antara pemerintah federal
dan negara bagian.
Presiden Eisenhower akhirnya mengambil alih
masalah ‘kecil’ kota Little Rock ini. Dia mengirim pasukan Divisi Airborne 101
dari Angkatan Darat AS ke Arkansas untuk melindungi sembilan murid kulit hitam
itu. Tindakan Presiden Eisenhower membuahkan hasil. Pada 23 September 1957,
untuk kali pertama, sembilan murid itu berhasil masuk sekolah dengan dikawal
oleh 1.200 pasukan AD Amerika.
Presiden Eisenhower juga mengambil tindakan
drastis lain—memfederalisasi pasukan Garda Nasional Arkansas dan menempatkannya
langsung dibawah komando presiden, bukan lagi di bawah Gubernur Faubus.
Tujuannya jelas: agar Gubernur Faubus tak menggunakan tentara garda itu untuk
melawan pemerintah federal.
Kisah ini sangat mengharukan saya. Sembilan
murid hitam di sebuah kota yang jauh dari ibukota Washington, masuk sekolah
dengan dikawal oleh 1.200 tentara. Hak mereka untuk sekolah hendak dibatalkan
oleh seorang gubernur, dan seorang presiden langsung turun tangan melindungi
murid-murid yang masih belia itu.
Keberanian Presiden Eisenhower untuk langsung
turun tangan dan ambil alih masalah ini, merupakan ‘kebajikan kepemimpinan’
(virtue of leadership) yang layak diteladani. Sudah tentu, tindakan Presiden
Eisenhower ini kontroversial, dan ditentang oleh orang-orang kulit putih di
kawasan Selatan yang umumnya masih pro segregasi. Tetapi, konstitusi tetaplah
konstitusi, dan harus ditegakkan.
Kasus di negara bagian Arkansas ini
mengingatkan kita pada kasus yang nyaris serupa. Walikota Bogor, Diani
Budiarto, membangkang dari keputusan MA yang telah menjamin hak jemaat GKI
Yasmin untuk membangun gereja di sebuah kawasan perumahan di Bogor. Apa yang
dilakukan oleh walikota ini persis dengan yang dilakukan oleh Gubernur Orval
Faubus dari Arkansas.
Dalam kasus GKI Yasmin ini, kita tentu
berharap ada ‘Eisenhower Indonesia’ yang mau turun tangan langsung dan
memastikan bahwa hak-harga warga negara untuk membangun rumah ibadah yang
dijamin oleh konstitusi itu tak dicederai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar