Peran
Jalur Minyak Indo-ASEAN
Eddy Purwanto, MANTAN DEPUTI BADAN PELAKSANA KEGIATAN HULU MINYAK DAN GAS BUMI BP MIGAS
Sumber : KORAN TEMPO, 24 Januari 2012
Jalur
minyak Indo-ASEAN adalah garis imajiner yang menggambarkan alur minyak dan gas
alam. Garis ini bermula di Australia, menyeberang ke Timor Leste, masuk ke
wilayah Indonesia dari Papua, Jawa, Kalimantan, perairan Natuna, lalu berbelok
ke utara menuju Laut Cina Selatan dan berujung di Da Nang, Vietnam. Jalur ini
akan memainkan peran vital dalam pemenuhan energi dunia. Itu sebabnya, penulis
menamakannya "Jalur Minyak Indo-ASEAN", terinspirasi oleh Jalur
Sutera yang menghubungkan perdagangan dan politik Asia, Eropa, dan Afrika sejak
dua abad sebelum Masehi.
Kehadiran
Presiden Barack Obama di Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur di Bali, November
lalu, jadi momen bersejarah karena mengabarkan rencana peningkatan level
eksistensi Amerika Serikat di Asia Pasifik. Menteri Luar Negeri Hillary Clinton
menyatakan keterlibatan mereka di kawasan itu merupakan satu tugas diplomasi
yang jadi prioritas di dasawarsa mendatang. Dalam rangkaian kunjungan yang
sama, Obama singgah di Australia dan bersepakat dengan Perdana Menteri Julia
Gillard untuk menempatkan 2.500 marinir Amerika di Darwin, Australia Utara.
Di
antara sekian pendorong peningkatan atensi itu adalah ketahanan energi. Amerika
khawatir lonjakan kebutuhan energi Cina akan menggiring Negeri Tirai Bambu
mencari tambahan pasokan dari mancanegara dan berujung pada peningkatan pengaruh
politik, ekonomi, dan militer Tiongkok secara global. Pada Agustus 2010,
International Energy Agency Paris melaporkan bahwa Cina telah menggeser Amerika
sebagai pengguna energi nomor satu, dengan selisih konsumsi sekitar 4 persen.
Ketika
Hu Jintao mengambil alih kursi kepresidenan Republik Rakyat Cina pada 2002, dia
mengeluarkan doktrin bahwa pasokan minyak dan gas vital penting bagi ketahanan
ekonomi dan nasional. Dia juga mengirim angkatan lautnya ke Laut Cina Selatan
dan menimbulkan keresahan di negara-negara ASEAN. Desember lalu, secara
mengejutkan, Presiden Hu memerintahkan Angkatan Laut agar mempercepat
transformasi dan mempersiapkan diri jika dibutuhkan untuk perang. Pernyataan
ini ia sampaikan sebulan setelah kesempatan penempatan marinir Amerika di
Darwin. Wajar jika Amerika, juga Cina, memandang penting Asia Tenggara. Di sana
terbentang Jalur Minyak Indo-ASEAN, rantai sumur minyak dan gas yang mungkin
jadi pemasok energi mereka di masa datang.
Sumber
Energi Masa Depan
Dalam
dasawarsa terakhir, konstelasi sebaran cadangan minyak dunia telah bergeser.
Organisasi negara eksportir minyak, OPEC, menyatakan negara pemilik cadangan
minyak terbesar bukan lagi Arab Saudi, melainkan Venezuela, sebesar 296,5
miliar barel. Namun kebijakan nasionalisasi minyak yang dicetuskan Presiden
Hugo Chavez jadi batu ganjalan bagi perusahaan minyak Amerika dan sekutunya
untuk masuk negara itu. Akibatnya, Amerika perlu melirik kawasan lain yang
lebih akomodatif. Setelah "sukses" di Libya, alternatif yang relatif
damai adalah Jalur Indo-ASEAN, sekaligus membatasi ruang gerak pesaing utama,
Cina.
Bentangan
Jalur Minyak Indo-ASEAN dimulai dari Australia. Tidak disangka sebelumnya bahwa
Australia akan menemukan lapangan gas raksasa Gorgon di lepas pantai Australia
Barat dengan cadangan gas mencapai 40 triliun kaki kubik. Operator dan pemilik
saham terbesar Lapangan Gorgon adalah perusahaan minyak Amerika, yaitu Chevron,
sebesar 47 persen, dan ExxonMobil 25 persen. Pemilik lainnya adalah Shell dari
Belanda 25 persen, dan sisanya perusahaan Jepang. Rencana produksinya mencapai
15 juta ton gas alam cair atau LNG per tahun yang sebagian besar akan diekspor
ke Jepang melalui gerbang Indo-ASEAN. Selain Lapangan Gorgon, ExxonMobil asal
Amerika juga jadi operator di lapangan besar lain, yaitu Scarborough dengan
cadangan sebesar 8 sampai 10 triliun kaki kubik.
Di
Timor Leste, lumbung minyak utama adalah Bayu Undan dengan cadangan minyak 400
juta barel, dengan operator yang juga dari Amerika, ConocoPhillips. Disusul
Lapangan Greater Sunrise dengan cadangan minyak 300 juta barel. Di Papua, ada
Lapangan Tangguh dengan cadangan gas 12 triliun kaki kubik, bertetangga dengan
lapangan Masela di Laut Arafuru dengan cadangan gas sekitar 6 triliun kaki
kubik. Bergeser ke barat, terbentang Lapangan Banyu Urip di Cepu, Jawa Tengah,
yang diperkirakan mengandung cadangan minyak lebih dari 450 juta barrel.
Mobil-Cepu bersama Ampolex, keduanya anak perusahaan ExxonMobil, menguasai 45
persen saham.
Lumbung
migas berikutnya adalah Blok Mahakam di Kalimantan Timur yang menyumbang 30
persen produksi gas Indonesia. Potensinya yaitu 12 triliun kaki kubik dan
sahamnya dimiliki Total Indonesie dari Prancis dan Inpex dari Jepang. Dengan
potensi demikian besar, tidak heran sederet perusahaan seperti Chevron dari Amerika
mengincar pengelolaan blok ini saat kontrak berakhir pada 2017, bersaing dengan
dua perusahaan sebelumnya. Juli 2011, Perdana Menteri Prancis Francois Fillon
menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta. Kuat dugaan, salah satu
agenda adalah mempertahankan eksistensi Total di Blok Mahakam, dan mematangkan
kehadiran Total di Blok East Natuna.
East
Natuna di Laut Natuna disebut sebagai ladang gas terbesar di Asia Timur dengan
cadangan sekitar 222 triliun kaki kubik. Dari jumlah itu, sekitar 46 triliun
kaki kubik dinyatakan komersial. Pemerintah menunjuk Pertamina menjadi
operator, namun karena membutuhkan investasi sampai 30 miliar dolar Amerika
Serikat, mereka butuh partner. Pertamina diharapkan akan menguasai 40 persen
saham, sisanya dibagi dengan ExxonMobil, Total Indonesie, dan Petronas dari
Malaysia.
Di
wilayah Indocina, menurut laporan yang terbit Agustus lalu, ExxonMobil
menemukan lapangan gas besar dilepas pantai Da Nang, Vietnam. Raksasa minyak
dari Amerika Serikat itu menerima konsesi di Blok 117, 118 dan 119 dari Vietnam
yang bersikukuh wilayah tersebut berada di Zona Ekonomi Eksklusif mereka. Cina
menolak kesepakatan itu dan mengklaim lapangan gas ada di wilayah mereka. Tidak
lama kemudian mereka meluncurkan uji coba kapal induk baru di Laut Cina Selatan
dan menggelar latihan militer tidak jauh dari kawasan sengketa.
Jalur
Minyak Indo-ASEAN bermuara di Laut Cina Selatan. Letaknya strategis bagi jalur
perdagangan lintas negara karena setiap tahun digunakan sebagai jalur
niaga--sebagian besar minyak dan gas cair dari dan ke Cina, Jepang, Korea
Selatan, dan Amerika--dengan nilai 5 triliun dolar Amerika Serikat. Bagi Cina,
jalur ini sangat vital karena 80 persen impor minyak dan gas datang via
perairan ini.
Beberapa
kepulauan di Laut Cina Selatan, seperti Paracel dan Spratly, diperkirakan
mengandung sumber daya minyak dan gas dalam jumlah masif. Menurut hitungan ahli
geologi Cina yang dikutip oleh The US Energy Information Agency, EIA, perairan
itu berpotensi mengandung cadangan minyak sebesar 213 miliar barrel, atau 80
persen cadangan minyak Arab Saudi.
Apabila
volume seluruh potensi minyak dan gas yang berada di Jalur Indo-ASEAN
digabungkan, kawasan ini akan jadi lumbung energi yang patut diperhitungkan
Amerika dan sekutunya. Tidak mengherankan apabila mereka buru-buru meningkatkan
pengaruh politik dan kekuatan militer di Asia-Pasifik, khususnya kawasan Asia
Tenggara. Dari pangkalan militer di Australia dan Singapura, mereka bisa
mengawal eksplorasi dan eksploitasi tambang di jalur tersebut.
Indonesia
Pantang Terlena
Persaingan
pengaruh Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina membuat Asia Tenggara rawan
konflik. Hampir dua dasawarsa Indonesia memendam bibit-bibit sengketa bilateral
dengan Negeri Tirai Bambu. Beberapa kali negara raksasa itu menyinggung isu
perbatasan di kawasan Natuna yang kaya gas. Mereka mengklaim kepulauan itu
sebagai wilayahnya berdasarkan peta teritorial Cina yang diresmikan pada 1995.
Selama ini, jalinan diplomasi kedua negara mampu mendinginkan isu tersebut.
Natuna tetap di pangkuan Ibu Pertiwi dan jadi tumpuan energi kita. Namun isu
ini bisa kembali jadi bola panas seiring meningkatnya aktivitas militer Cina
dan Amerika. Kesalahpahaman kecil bisa menimbulkan kemarahan Cina dan membuka
luka lama akan perebutan teritori.
Mulai 2012, Indonesia harus pandai-pandai
menari dan berdendang di antara dua tambur yang bertalu bersahutan, namun tidak
seirama. Sembari berharap agar tabuhan itu bukan berasal dari genderang perang.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar