Reformasi
Polri Setengah Hati
Ahmad Yani, ANGGOTA
KOMISI III DPR
Sumber : REPUBLIKA, 21 Januari 2012
Tahun
2012 datang dengan memberi kan banyak pekerjaan rumah bagi Ke polisan Negara
Republik Indonesia (Polri). Sejumlah peristiwa yang ter jadi pada 2011 lalu
membuktikan bahwa Polri masih perlu ber benah. Sangat nyata, reformasi Polri,
yang sudah berjalan selama puluhan tahun, masih jauh dari optimal. Tak heran
jika hasil sur vei Lembaga Survei Indonesia (LSI) memperlihatkan anjloknya
persepsi publik terhadap penegakan hukum hingga 44 persen— yang salah satu
penyebabnya ada lah buruknya kinerja kepolisian.
Pada
dasarnya, polisi memiliki tiga fungsi dalam tugasnya sebagai alat negara.
Polisi wajib melaku kan penegakan hukum dan pemberantasan kejahatan; pemeliha
raan ketertiban; dan pelayanan masyarakat. Tiga fungsi yang di emban Polisi itu
membuat apa ratur lembaga tersebut selalu berada di tengah masyarakat. Tak
heran jika setiap langkah yang di lakukan seorang polisi, sadar atau tidak,
selalu berada di bawah pengawasan publik, khususnya, mereka yang tengah dalam
situasi sensitif karena sangat membutuh kan perlindungan atau pelayanan hukum.
Di
sisi lain, polisi sendiri juga punya kendala. Tugas dan kewajibannya kerap
membuat mereka bergaul dengan dunia kejahatan.
Sudah
jamak jika seorang polisi merasa tidak asing dengan tindak tanduk kejahatan.
Mereka paham benar pelbagai modus para krimi nal. Maka, para polisi sejatinya
Godaan
yang didapat aparat po lisi untuk melakukan penyele wengan juga tak kurang
berbahaya. Awalnya, motif penyele weng an masih ‘bisa dimengerti’, misalnya,
untuk menambah uang bensin. Toh, anggaran bahan ba kar minyak (BBM) untuk
setiap mobil patroli polisi di Jakarta ha nya cukup untuk membeli dua liter
bensin per hari. Kalau sudah begitu, apa yang bisa diharapkan? Selanjutnya,
dari yang tadinya cuma urusan bensin mobil, lama kelamaan, urusan bisa
meningkat ke hal-hal yang tak terbayangkan.
Dan
kita tahu, nilai perkara yang diurus polisi juga tak terbilang be sarnya. Dalam
kasus korupsi, mi salnya, kepolisian ternyata hanya punya anggaran Rp 37 juta
untuk memproses tuntas sebuah perkara.
Tentu
saja, bukan karena minimnya anggaran belaka atau karena polisi ‘dekat’ dengan
penjahat, yang membuat citra polisi menjadi tercoreng—gara-gara terkesan suka
korup. Yang lebih mendasar lagi, pengawasan terhadap lembaga kepolisian juga
masih kurang efektif. DPR memang memiliki hak melakukan pengawasan terhadap
kepolisian. Namun, DPR ju ga dihadapkan pada kendala kurangnya informasi valid
dan rinci mengenai pengelolaan ke uangan di tubuh kepolisian.
Karena
itulah, upaya untuk me mastikan adanya pengawasan efektif terhadap Polri harus
benar-benar dijalankan. Toh, Polri
pada
dasarnya adalah lembaga yang menjalankan fungsi pemerintahan berdasarkan Pasal
2 UU No 2 Tahun 2002. Dengan begitu, Polri juga harus menerapkan sistem
pemerintahan yang baik (good governance).
Itu
artinya, Polri mutlak harus menjalankan prinsip supremasi hukum,
profesionalitas, akunta bilitas, transparansi, dan pelayan an berkualitas. Yang
juga harus di ingat, Polri tidak terlepas dari kewajiban untuk menjalankan
prinsip demokrasi, efisiensi, efektivitas, dan bisa diterima oleh ma syarakat.
Saat
ini, Polri telah menjalan kan reformasi yang didasari oleh pelbagai peraturan,
termasuk Tap MPR Nomor X/MPR/1998 dan Instruksi Presiden Republik Indo nesia
Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan da lam Rangka Pemisahan
Polri dari ABRI. Lalu, muncul Tap MPR RI No VII/MPR/2000 tentang pemisahan
peran Tentara Nasional Indo nesia di bidang pertahanan dan peran Kepolisian
Negara Republik Indonesia di bidang keamanan.
Selanjutnya,
struktur organi sasi Polri dibenahi dan fungsi ser ta tugas Polri semakin tegas
ber ori entasi kepada publik. Reformasi Polri semakin kuat dengan lahir nya UU
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-undang
ini juga sangat berorientasi publik.
Persoalan
yang tersisa sampai sekarang adalah belum optimalnya pengawasan terhadap Polri.
Akibatnya,
gejala moral hazard di tubuh Polri menjadi sulit dian tisipasi. Perilaku
sebagian personel Polri juga masih belum se penuhnya reformis. Sebagai birok
rat, sebagian personel Polri belum menyadari bahwa orientasi mereka harus
ditujukan kepada semua kalangan tanpa pandang bulu.
Nyatanya,
kini muncul kecaman orientasi pelayanan Polri hanya di tujukan kepada kalangan
pemodal belaka.
Ditambah
lagi, gaya militeristis juga belum hilang dari karakter se bagian personel
Polri. Polri ma sih memiliki kekuatan paramiliter di tubuh Brimob dalam jumlah
yang besar. Akibatnya, pendekat an keamanan yang diterapkan ke tika berhadapan
dengan masya rakat kerap berakhir dengan keke rasan. Tengok saja, kasus bentrok
an antara Polri dan masyarakat di Pelabuhan Sape, kasus Mesuji, kasus Bima, dan
masih banyak ka sus kekerasan lainnya yang dilakukan polisi.
Artinya,
Polri masih gagal untuk menjadi pelindung dan penga yom warga. Tujuan polisi
dikeluarkan dari institusi militer agar lebih merakyat juga belum terwujud. Ke
depan, Polri harus mengedepankan tindakan persuasif dan meninggalkan hal-hal
berbau represif. Jangan lagi terulang, polisi yang seharusnya melindungi
rakyat, justru berbalik menghantam rakyat.
Saya
berharap, selain dari luar tubuh Polri, ada pimpinan internal Polri yang mau
jadi lokomotif re for masi Polri. Toh, suksesnya re for masi selalu ha rus ditopang
komitmen kuat pe mimpin organisasi di setiap level.
Untuk itu pula, pemimpin Polri perlu
merumuskan standar kinerja personel Polri—yang bersifat terbuka bagi
publik—dilengkapi sistem reward and punishment yang jelas dan saluran bagi
teraplikasinya gagasan atau ide yang brilian dari setiap lini, atas mau pun
bawah. Dari sanalah, ukuran keberhasilan pelaksanaan tugas personel yang
berorientasi kepada publik dapat kita nilai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar