Ancaman
Bisa Perkuat Iran
Syafiq Basri Assegaff, WARTAWAN, PENULIS
BUKU IRAN PASCA REVOLUSI, PENGGAGAS GERAKAN ANTI-RADIKALISME ISLAM-INDONESIA
(GARIS)
Sumber : JAWA POS, 21 Januari 2012
ADA
panas yang menganga di Teluk Persia. Ketegangan antara Iran dan Barat makin
menjadi-jadi -dan dunia amat ngeri bila sampai meletus perang di antara
keduanya dalam waktu dekat ini. Tetapi, konflik antara Iran dan Barat
-khususnya Amerika Serikat (AS)- memang bukan sesuatu yang baru. Perseteruan
keduanya sudah berlangsung hampir satu abad. Ada luka lama di sana.
Pada 1953, misalnya, AS dan Inggris berhasil mendongkel Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadeq dari kursinya dan memantapkan kedudukan Syah Reza Pahlevi yang dibenci rakyat di singgasana emas.
Lalu, saat Iran di bawah Ayatullah Khomeini baru saja berhasil menggulingkan Syah Reza Pahlevi pada 1979, tiba-tiba Iran diserang Iraq pada 1980. Keduanya berperang selama delapan tahun dan AS -bersama sekutu Eropa dan sohib-sohib Arab-nya- mendukung pemimpin Iraq Saddam Hussein.
Meski beban sejarah itu dapat dilupakan, misalnya, masalah-masalah yang ada sekarang ini saja sudah cukup menyuguhkan kerumitan-kerumitan diplomasi yang serius.
Melalui sanksi-sanksi yang kian ketat, serangan virus Stuxnet (yang kabarnya dikirim Israel untuk merusak sistem komputer fasilitas nuklir Iran), kondisi ditutupnya Selat Hormuz oleh Iran, dan pembunuhan beberapa ilmuwan nuklir Iran belakangan ini menjadikan ketegangan makin luas di berbagai front, sementara koalisi berbagai negara berusaha menghentikan program nuklir Iran.
Belakangan, Iran mengancam menutup Selat Hormuz melalui latihan militer selama sepuluh hari di kawasan Teluk Persia dan mengumumkan bahwa Iran sewaktu-waktu "siap" memulai pengayaan salah satu fasilitas nuklirnya.
Sementara itu, pengamat Barat menengarai bahwa ancaman Iran tersebut menjadi sangat mengkhawatirkan, terutama oleh adanya ketidakjelasan apakah negeri itu dipimpin aktor-aktor yang (menurut Barat) "rasional". Hingga saat ini, Barat sering dibuat bingung oleh sikap petinggi Iran sehingga sering terkecoh dan sulit menduga apa yang sebenarnya terjadi di dalam negeri Iran.
Anggaran militer Iran sendiri sebenarnya hanya 2 persen jika dibandingkan dengan anggaran militer AS dan kurang dari seperempat bujet Arab Saudi. Juga, berbeda dengan Iraq, selama ini Iran tidak pernah menyerang atau balas dendam kepada Iraq ataupun tetangganya di Teluk. Tetapi, toh Iran tetap dimusuhi.
Sebenarnya, pemerintahan Obama, sang penerima Nobel Perdamaian, selama 2009 berusaha menggeser kebijakannya terhadap Iran. Intonasi pesan AS kepada Iran juga sempat berubah. Namun sayang, tak lama kemudian pintu dialog itu kembali tertutup rapat. Di tengah tekanan kongres, pemerintah AS mengurungkan kegiatan diplomasinya dan memilih memvonis Iran.
Pada 2010 AS tak lagi mendukung upaya-upaya membangun kesalingpercayaan yang diperantarai Turki dan Brazil. Malah AS kemudian memimpin penggalangan tuntutan adanya sebuah sanksi baru resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB terhadap Iran.
Sekarang di antara berbagai skenario yang disiapkan AS, tampaknya pemerintah Obama akan memilih menanggulangi pemerintah Iran dan meruntuhkannya karena risikonya dianggap "paling sedikit".
Untuk maksud itu, AS harus mendekati para kalangan oposisi, kelompok buruh, industri minyak, dan para pedagang bazar. Obama dan para penasihat militernya mesti mencari tahu cara terbaik agar kelompok oposisi itu dapat mengorganisasikan diri dan menggalang kerja sama satu sama lain.
Tentu saja itu tidak mudah. Apalagi sekarang, di tengah absennya kehadiran pasukan di darat dan adanya keterbatasan hubungan dengan berbagai negara counterpart Iran, AS makin sulit meneliti kekuatan dan kelemahan di dalam Iran ataupun kebijakan itu sendiri.
Itu sebabnya, muncul anggapan bahwa kebijakan tersebut hanya akan membuat AS di bawah Obama terperangkap dalam kesalahan-kesalahan yang pernah merepotkan empat pemerintahan sebelumnya.
Sebagian pejabat AS menganggap mereka harus membawa kasus Iran ke DK PBB (badan politik) dan lembaga nuklir dunia International Atomic Energy Agency (lembaga teknis). Sebab, itu akan memberikan alasan legal untuk tindakan penghukuman (vonis) terhadap Iran, misalnya dalam bentuk sanksi yang makin mencekik.
Tetapi, seberapa besar embargo ekonomi tersebut akan berpengaruh kepada Iran? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, melihat berbagai pengalaman sebelumnya, Iran selama ini selalu berhasil survive dari situasi yang menjepit dan mengasingkannya. Perkembangan negeri itu seperti selalu tidak terduga.
Saat revolusi Februari 1979, ketika Iran harus memulai segalanya dari titik nol, misalnya, banyak yang meramalkan bahwa Iran akan ambruk. Tetapi, para wartawan senior, analis politik, dan negarawan kawakan toh akhirnya kecewa terhadap berbagai dugaan mereka; Iran seolah berkembang dengan hukum-hukumnya sendiri yang tak punya preseden.
Stansfield Turner, yang saat itu menjadi direktur CIA, pernah meramalkan bahwa para ayatullah akan bertengkar dan kaum Marxis bakal memperoleh kemenangan. Terbukti, ramalan-ramalan itulah yang hancur.
Perlahan tapi pasti -meski bukan tanpa korban- negeri itu seperti selalu mampu berkelit dari masalah-masalah besar yang mengimpitnya. Persoalan oposisi dalam negeri, minoritas Kurdi, dan perang dengan Iraq (dulu) malah menjadi semacam rahmat terselubung (blessing in disguise) yang berbentuk daya pemersatu negeri dengan kebudayaan amat tua itu.
Maka, tidak heran bila sekarang pun banyak yang menduga bahwa berbagai sanksi itu justru bisa memperkuat persatuan dan tekad rakyat Iran melawan Barat. ●
Pada 1953, misalnya, AS dan Inggris berhasil mendongkel Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadeq dari kursinya dan memantapkan kedudukan Syah Reza Pahlevi yang dibenci rakyat di singgasana emas.
Lalu, saat Iran di bawah Ayatullah Khomeini baru saja berhasil menggulingkan Syah Reza Pahlevi pada 1979, tiba-tiba Iran diserang Iraq pada 1980. Keduanya berperang selama delapan tahun dan AS -bersama sekutu Eropa dan sohib-sohib Arab-nya- mendukung pemimpin Iraq Saddam Hussein.
Meski beban sejarah itu dapat dilupakan, misalnya, masalah-masalah yang ada sekarang ini saja sudah cukup menyuguhkan kerumitan-kerumitan diplomasi yang serius.
Melalui sanksi-sanksi yang kian ketat, serangan virus Stuxnet (yang kabarnya dikirim Israel untuk merusak sistem komputer fasilitas nuklir Iran), kondisi ditutupnya Selat Hormuz oleh Iran, dan pembunuhan beberapa ilmuwan nuklir Iran belakangan ini menjadikan ketegangan makin luas di berbagai front, sementara koalisi berbagai negara berusaha menghentikan program nuklir Iran.
Belakangan, Iran mengancam menutup Selat Hormuz melalui latihan militer selama sepuluh hari di kawasan Teluk Persia dan mengumumkan bahwa Iran sewaktu-waktu "siap" memulai pengayaan salah satu fasilitas nuklirnya.
Sementara itu, pengamat Barat menengarai bahwa ancaman Iran tersebut menjadi sangat mengkhawatirkan, terutama oleh adanya ketidakjelasan apakah negeri itu dipimpin aktor-aktor yang (menurut Barat) "rasional". Hingga saat ini, Barat sering dibuat bingung oleh sikap petinggi Iran sehingga sering terkecoh dan sulit menduga apa yang sebenarnya terjadi di dalam negeri Iran.
Anggaran militer Iran sendiri sebenarnya hanya 2 persen jika dibandingkan dengan anggaran militer AS dan kurang dari seperempat bujet Arab Saudi. Juga, berbeda dengan Iraq, selama ini Iran tidak pernah menyerang atau balas dendam kepada Iraq ataupun tetangganya di Teluk. Tetapi, toh Iran tetap dimusuhi.
Sebenarnya, pemerintahan Obama, sang penerima Nobel Perdamaian, selama 2009 berusaha menggeser kebijakannya terhadap Iran. Intonasi pesan AS kepada Iran juga sempat berubah. Namun sayang, tak lama kemudian pintu dialog itu kembali tertutup rapat. Di tengah tekanan kongres, pemerintah AS mengurungkan kegiatan diplomasinya dan memilih memvonis Iran.
Pada 2010 AS tak lagi mendukung upaya-upaya membangun kesalingpercayaan yang diperantarai Turki dan Brazil. Malah AS kemudian memimpin penggalangan tuntutan adanya sebuah sanksi baru resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB terhadap Iran.
Sekarang di antara berbagai skenario yang disiapkan AS, tampaknya pemerintah Obama akan memilih menanggulangi pemerintah Iran dan meruntuhkannya karena risikonya dianggap "paling sedikit".
Untuk maksud itu, AS harus mendekati para kalangan oposisi, kelompok buruh, industri minyak, dan para pedagang bazar. Obama dan para penasihat militernya mesti mencari tahu cara terbaik agar kelompok oposisi itu dapat mengorganisasikan diri dan menggalang kerja sama satu sama lain.
Tentu saja itu tidak mudah. Apalagi sekarang, di tengah absennya kehadiran pasukan di darat dan adanya keterbatasan hubungan dengan berbagai negara counterpart Iran, AS makin sulit meneliti kekuatan dan kelemahan di dalam Iran ataupun kebijakan itu sendiri.
Itu sebabnya, muncul anggapan bahwa kebijakan tersebut hanya akan membuat AS di bawah Obama terperangkap dalam kesalahan-kesalahan yang pernah merepotkan empat pemerintahan sebelumnya.
Sebagian pejabat AS menganggap mereka harus membawa kasus Iran ke DK PBB (badan politik) dan lembaga nuklir dunia International Atomic Energy Agency (lembaga teknis). Sebab, itu akan memberikan alasan legal untuk tindakan penghukuman (vonis) terhadap Iran, misalnya dalam bentuk sanksi yang makin mencekik.
Tetapi, seberapa besar embargo ekonomi tersebut akan berpengaruh kepada Iran? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, melihat berbagai pengalaman sebelumnya, Iran selama ini selalu berhasil survive dari situasi yang menjepit dan mengasingkannya. Perkembangan negeri itu seperti selalu tidak terduga.
Saat revolusi Februari 1979, ketika Iran harus memulai segalanya dari titik nol, misalnya, banyak yang meramalkan bahwa Iran akan ambruk. Tetapi, para wartawan senior, analis politik, dan negarawan kawakan toh akhirnya kecewa terhadap berbagai dugaan mereka; Iran seolah berkembang dengan hukum-hukumnya sendiri yang tak punya preseden.
Stansfield Turner, yang saat itu menjadi direktur CIA, pernah meramalkan bahwa para ayatullah akan bertengkar dan kaum Marxis bakal memperoleh kemenangan. Terbukti, ramalan-ramalan itulah yang hancur.
Perlahan tapi pasti -meski bukan tanpa korban- negeri itu seperti selalu mampu berkelit dari masalah-masalah besar yang mengimpitnya. Persoalan oposisi dalam negeri, minoritas Kurdi, dan perang dengan Iraq (dulu) malah menjadi semacam rahmat terselubung (blessing in disguise) yang berbentuk daya pemersatu negeri dengan kebudayaan amat tua itu.
Maka, tidak heran bila sekarang pun banyak yang menduga bahwa berbagai sanksi itu justru bisa memperkuat persatuan dan tekad rakyat Iran melawan Barat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar