Kursi
Rp 24 Juta
James Luhulima, WARTAWAN KOMPAS
Sumber : KOMPAS, 21 Januari 2012
Dewan Perwakilan Rakyat kembali dipersoalkan.
Keberadaannya sebagai wakil rakyat kembali digugat. Setelah mengalokasikan Rp 2
miliar untuk biaya renovasi toilet, DPR kembali mencederai rasa keadilan rakyat
dengan menganggarkan Rp 20,3 miliar untuk merenovasi ruang kerja Badan Anggaran
DPR.
Angka Rp 20,3 miliar untuk merenovasi ruang
kerja Badan Anggaran DPR yang berukuran 780,89 meter persegi itu dianggap luar
biasa besar mengingat Mahkamah Agung (MA) hanya mengalokasikan dana Rp 10,24
miliar untuk merenovasi 37 ruang pimpinan dan hakim agung di tiga lantai gedung
MA. Bukan itu saja, dana tersebut juga digunakan untuk membuat media center MA
yang dilengkapi ruang transit. Dengan kata lain, biaya yang dialokasikan DPR
untuk merenovasi satu ruang kerja itu dua kali lipat dari biaya yang
dialokasikan MA untuk merenovasi 37 ruangan.
Kecaman terhadap DPR menjadi semakin keras
karena pada saat yang sama ada sekolah yang kekurangan dana sehingga satu ruang
kelas digunakan untuk dua kelas. Sekolah itu adalah Sekolah Dasar Negeri Tajur
7 di Desa Tajur, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang
terletak sekitar 30 kilometer dari kediaman pribadi Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Bukan di daerah terpencil atau di pulau terluar negara ini.
Saat pertanyaan mengenai mengapa diperlukan
biaya sebesar itu belum terjawab, muncul informasi baru, yakni kursi ruang
kerja Badan Anggaran DPR itu diimpor dari Jerman dan berharga Rp 24 juta per
kursi.
Ketika dipersoalkan, PT Dekorindo Selbytra
Nugraha, yang memasok kursi merek Vitra untuk ruang kerja Badan Anggaran DPR,
menyebutkan, mahalnya harga kursi untuk ruang baru Badan Anggaran DPR, antara
lain, karena ada biaya lain yang harus ditanggung, seperti ongkos kirim. Kursi
itu disebutkan berkualitas tinggi.
Dalam situs PT Dekorindo Selbytra Nugraha
ditulis harga kursi Vitra tipe ID Trim berada pada kisaran Rp 27 juta. Harga
itu lebih mahal dibandingkan dengan harga yang disebutkan DPR, yakni Rp 24 juta
per kursi.
Namun, dari penelusuran di situs lain,
seperti www.think-furniture.com atau www.connox.com, diketahui harga kursi
Vitra tipe ID Trim berada pada kisaran Rp 9 juta, termasuk pajak. Tentang
adanya selisih harga yang besar itu, Veronica Sitepu dari PT Dekorindo Selbytra
Nugraha mengatakan, ”Ada biaya lain yang harus kami bayar, misalnya ongkos
kirim.”
Senyaman Kursi Mercedes?
Ketika mendengar kursi diimpor dari Jerman
dengan harga Rp 24 juta, bayangan yang masuk ke dalam benak adalah kursi
Mercedes Benz yang multi-contour, yang dapat menyesuaikan diri dengan bentuk
tubuh orang yang duduk di atasnya. Bahkan, ketika mobil membelok tajam pun,
tubuh orang yang duduk di atas kursi itu tetap tertahan di tempatnya. Belum
lagi, biasanya kursi itu dilengkapi dengan alat pemijat. Pendeknya, kursi itu
sangat nyaman diduduki sehingga kalau sudah duduk di atas kursi itu, orang
tidak ingin berdiri lagi.
Tentunya kursi yang diimpor itu bukan kursi
Mercedes Benz yang multi-contour. Kursi itu adalah kursi yang biasa-biasa saja.
Lalu, pertanyaannya, mengapa DPR memilih kursi semahal itu? Ataupun jika harga
kursi tersebut sesungguhnya tidak semahal itu (karena yang mahal adalah ongkos
kirim), mengapa kursi itu yang dipilih?
Mungkin kursi itu mempunyai kenyamanan yang
setara dengan kursi Mercedes Benz multi-contour. Pertanyaannya, mengapa DPR
memerlukan kursi seperti itu?
Secara berseloroh ada yang menjawab agar para
anggota DPR dapat rapat berlama-lama tanpa merasa lelah atau ada juga yang
menjawab agar para anggota DPR dapat mendengar kritik tajam atau kecaman
terhadap kinerja mereka dengan nyaman.
Khusus untuk jawaban yang kedua, itu adalah
persoalan terbesarnya, apakah mereka memang mendengarkan kritik atau kecaman
yang diarahkan kepada mereka? Jawabannya, pasti tidak.
Berbicara kepada DPR, itu sama seperti
berteriak di padang pasir yang tak berpenghuni atau mungkin mirip peribahasa
yang berbunyi ”anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”.
Kita belum lupa ketika pada pertengahan
September 2010, saat kritik dan kecaman yang dilancarkan oleh berbagai elemen
masyarakat terhadap rencana DPR membangun gedung baru 36 lantai senilai Rp 1,6
triliun belum habis, tiba-tiba masyarakat sudah dikagetkan lagi oleh anggota
DPR yang berwisata ke beberapa negara dengan kedok studi banding.
Dan, uniknya, studi banding tersebut bukan
baru dikritik pada saat itu. Sebelumnya, studi banding sudah dikritik berulang
kali. Akan tetapi, DPR tetap melakukan dari waktu ke waktu. Kritik dan kecaman
yang disampaikan gencar dari masyarakat sama sekali tidak digubris.
Kita tidak habis pikir, apa yang sesungguhnya
ada di dalam benak para anggota DPR yang terhormat itu? Kita bertanya-tanya,
mengapa mereka tidak merasa sungkan atau bahkan merasa malu ketika melakukan
sesuatu kegiatan yang jelas-jelas menuai kritik dan kecaman dari masyarakat?
Inilah uniknya, pada saat mereka memerlukan
suara dari rakyat dalam pemilihan umum untuk memperoleh kursi di DPR, seluruh
aspirasi rakyat coba diserap dan janji-janji diumbar. Namun, begitu kursi di
DPR didapat, telinga mereka langsung tertutup.
Jangan-jangan DPR memerlukan kursi yang
benar-benar nyaman sehingga pada saat mereka duduk di atasnya, kritik dan
kecaman yang keras tidak terdengar atau kalaupun terdengar, suara itu sudah
demikian sayup-sayup sehingga kritik dan kecaman itu tidak terdengar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar