Kendala
Program Efisiensi Energi
Makmun Syadullah, PENELITI UTAMA BADAN KEBIJAKAN FISKAL, KEMENTERIAN KEUANGAN
Sumber
: SUARA KARYA, 10 Januari 2012
Masyarakat Indonesia tergolong konsumen yang sangat boros dalam
penggunaan energi listrik. Begitu borosnya hingga angka pertumbuhan penggunaan
listrik pernah mencapai 20%. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan di negara
maju yang sadar betul dalam memanfaatkan listrik secara benar dan tepat. Di
negara maju, pertumbuhan penggunaan energi listrik hanya 2%, bahkan beberapa
negara ASEAN pertumbuhan penggunaan listrik juga telah mendekati angka
tersebut.
Salah satu pendekatan yang dapat dikembangkan pemerintah untuk
mengerem laju pertumbuhan konsumsi listrik adalah melalui demand side
management (DSM). DSM dapat didekati melalui pengembangan program efisiensi
konsumsi energi. Melalui program ini, selain dapat mengurangi laju pemakaian
energi juga akan membawa multiplier effect pada keuangan negara. Program ini
dalam praktiknya dapat didekati dari dua sisi.
Pertama, peralihan penggunaan sumber energi dari non-terbarukan ke
penggunaan sumber-sumber energi terbarukan. Dari sisi ini, sebenarnya Indonesia
kaya akan sumber daya terbarukan, namun pemanfaatannya masih sangat rendah. Hal
ini disebabkan, selain harga energi terbarukan masih belum bisa bersaing dengan
energi tidak terbarukan, juga penguasaan teknologi energi terbarukan masih
rendah. Di samping, penerapan kebijaksaan energi ini yang belum optimal, lokasi
yang cukup sulit serta kurangnya investasi.
Kedua, mendorong berkembangnya produsen peralatan hemat energi.
Pendekatan ini, kini sudah mulai dikembangkan oleh banyak negara di Asia untuk
membantu memperbaiki efisiensi energi melalui 'produksi bersih'.
Manfaat-manfaat dari program efisiensi energi adalah mengurangi risiko dan
menaikkan keuntungan insentif harga energi dan kurangnya pasokan energi.
Kemudian, mendorong perbaikan produktivitas dan kualitas produk, perbaikan
reputasi dengan pelanggan, pemerintah dan masyarakat, perbaikan kesehatan,
keselamatan dan moral, perbaikan pemenuhan peraturan perundangan/hukum dan
target-target ISO 14001, dan perbaikan kinerja lingkungan.
Untuk mendorong berkembangnya produsen peralatan hemat energi,
sejumlah negara memberikan berbagai insentif fiskal (dalam bentuk fasilitas
perpajakan, bea masuk maupun subsidi), insentif finansial (dalam bentuk
pinjaman lunak, pendanaan inovatif dan hibah), dan instrumen pasar (dalam
bentuk standar dan lebel, clean development mechanism dan kuota).
Dalam praktiknya, bentuk insentif yang diberikan oleh negara
berbeda-beda. Jepang, misalnya, memberikan insentif pajak berbasis biaya dengan
mengurangi pajak sebesar 7% dari biaya akuisisi peralatan untuk produsen energy
effisiency dengan maksimum 20% dari total kewajiban pajak pada tahun fiskal
berjalan. Thailand juga memberikan insentif yang sama dalam bentuk potongan
pajak untuk investasi awal senilai 50 juta baht untuk jangka waktu lima tahun.
Bentuk insentif fiskal lainnya adalah insentif pajak berbasis
kinerja yang diberikan oleh Pemerintah Thailand kepada konsumen yang melakukan
penghematan produsen energy effisiency. Insentif ini diberikan dalam bentuk
potongan pajak berdasarkan penghematan energi yang diperoleh. Di samping itu,
Thailand juga memberikan insentif pajak untuk biaya penyusutan bagi perusahaan
untuk mendapatkan pengurangan pajak secara tidak langsung melalui biaya
penyusutan.
Insentif finansial bagi produsen diberikan dalam bentuk penyaluran
pinjaman melalui lembaga keuangan yang ditunjuk. Hal serupa juga dilakukan di
Hongaria, di mana pemerintah menyediakan dana jaminan pada bank dalam
menyalurkan fasilitas pinjaman. Sementara itu Pemerintah China pada periode
2008-2010 juga memberikan subsidi langsung kepada produsen untuk lampu hemat
energi, sehingga harganya di pasar dapat turun sampai 50%.
Dalam rangka mensukseskan program efisiensi energi, pemerintah
telah memberikan insentif kepada produsen penghasil peralatan hemat energi.
Bentuk insentif sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70
Tahun 2009 tentang Konversi Energi ini berbentuk instrumen fiskal, dan
instrumen pasar. Adapun kriteria penerima insentif adalah produsen yang
memproduksi peralatan hemat energi yang tingkat efisiensinya lebih tinggi dari
benchmark, dan mencantumkan label tingkat efisiensi sesuai dengan standar.
Lebih lanjut dalam PP 70 Tahun 2009, pemerintah juga memberikan
insentif dalam bentuk (i) fasilitas perpajakan, (ii) pengurangan, keringanan
dan pembebasan pajak daerah, dan (iii) fasilitas bea masuk. Pemerintah juga
memberikan insentif finansial dalam bentuk pinjaman lunak. Untuk mendorong
pengembangan peralatan hemat energi, pemerintah juga mulai menetapkan standar
dan label. Bentuk-bentuk insentif ini masih berpeluang untuk dikembangkan lebih
lanjut, setidaknya dengan mencontoh pada jenis-jenis insentif yang sudah lazim
dijalankan oleh berbagai negara.
Meski pemerintah telah memberikan berbagai bentuk insentif,
program efosoensi energi terkendala pada harga energi listrik. Pemberian
subsidi energi selama ini secara nyata telah membuat harga listrik di Indonesia
saat ini relatif murah dibandingkan negara-negara lain. Akibatnya, kesadaran
masyarakat untuk berhemat dalam mengonsumsi listrik sangat rendah. Tentunya
kondisi ini juga akan berdampak pada konsumsi alat-alat hemat energi yang pada
umumnya harganya lebih mahal dibandingkan dengan peralatan yang tidak hemat
energi.
Sekiranya program efisiensi energi berjalan dengan lancar, maka
akan terjadi penghematan konsumsi energi dalam jumlah yang cukup besar.
Berdasarkan Rencana Induk Konversi Energi Nasional (RIKEN), peluang penghematan
energi di industri bisa mencapai sekitar 15%-30%, sektor transportasi 25% dan
sektor rumah tangga dan bangunan komersial 10%-30%. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar