Wartawan
Indonesia Terancam?
S Sahala Tua Saragih ; Dosen
Prodi Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Mei 2017
HINGGA kini
masih sering terjadi tindak kekerasan terhadap para wartawan di hampir
seluruh negara, termasuk RI. Hal itu semestinya dapat dicegah. "Momentum
peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia yang tahun ini dipusatkan di Jakarta
seharusnya benar-benar dimanfaatkan supaya tidak ada lagi kekerasan terhadap
wartawan," ujar Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo di Jakarta baru-baru
ini (Media Indonesia, 25/4). Human Rights Watch (HRW) pekan lalu menyeru
kepada pemerintah Indonesia agar mengambil sejumlah kebijakan guna memastikan
aparat keamanan, yang melakukan kekerasan terhadap wartawan, diberhentikan
dan dihukum.
Dalam siaran
persnya HRW menyatakan data dan studi kasus terbaru di RI menunjukkan
peningkatan kasus intimidasi dan kekerasan terhadap wartawan yang meresahkan
dalam dua tahun terakhir. "Hari Kebebasan Pers Sedunia harus menjadi
momen merayakan peran para wartawan dalam masyarakat, tetapi di Indonesia
fokusnya sering kali pada ketakutan para wartawan," ujar Wakil Direktur
Asia di HRW Phelim Kine dalam siaran persnya yang berjudul Indonesia:
Wartawan dalam Ancaman. Pemerintah RI harus menanggulangi penurunan kebebasan
pers yang berbahaya di Indonesia serta menghukum aparat keamanan yang
melakukan kekerasan terhadap wartawan, tegas Phelim.
Dalam siaran
persnya HRW mengutip laporan akhir 2016 Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Dalam laporan itu AJI mengungkapkan ada 78 insiden kekerasan terhadap
wartawan, termasuk yang dilakukan aparat keamanan. Jumlah itu meningkat jika
dibandingkan dengan 2015 (42 insiden) dan 2014 (40 insiden). AJI menemukan,
dari 78 kasus, hanya segelintir yang diseret ke pengadilan. Phelim
mengungkapkan HRW telah mewawancarai 18 wartawan dan enam pembela kebebasan
pers di Balikpapan, Banten, Jakarta, Jayapura, Makassar, Medan, Padang,
Pekanbaru, dan Surabaya.
Mereka
menggambarkan suasana resah, kekhawatiran, dan tindakan swasensor di banyak
ruang redaksi, yang disebabkan penganiayaan dan ancaman, yang dilakukan
aparat keamanan dan pihak berwenang setempat, yang tidak ditindak atau dalam
banyak kasus, bahkan tak diselidiki secara menyeluruh. Penganiayaan yang
dimaksud mencakup perusakan peralatan wartawan--terutama kamera dan kartu
memori--pelecehan, intimidasi, ancaman, dan serangan fisik. Bentuk-bentuk
penganiayaan ini terjadi di semua pulau utama di Indonesia, khususnya di ibu
kota provinsi dan kota-kota kabupaten. HRW menyelidiki tiga kasus penyerangan
lima wartawan.
Kelima korban
telah melaporkan kasus mereka dan khawatir dengan kemungkinan aksi balasan
karena merinci kekerasan yang mereka alami. HRW juga melaporkan Provinsi
Papua dan Papua Barat masih menjadi tempat yang sulit, baik bagi wartawan
Indonesia maupun asing. Wartawan etnik Papua khususnya kerap menghadapi
pelecehan dan intimidasi, dan sering menjadi korban tindak kekerasan aparat
keamanan dan prokemerdekaan saat meliput dugaan korupsi, pelanggaran HAM,
perampasan lahan, dan topik peka lain. Pemerintah RI juga masih terus
membatasi akses wartawan asing untuk melakukan liputan di Papua dengan alasan
'keamanan'.
Padahal, pada
10 Mei 2015, Presiden Jokowi mengumumkan wartawan asing terakreditasi
memiliki akses tanpa hambatan ke Papua. Menurut HRW, kemajuan yang dicapai
Indonesia dalam hal kebebasan pers sejak Presiden Soeharto mundur tak akan
berlanjut bila pemerintah tak segera menanggapi tegas setiap kali wartawan
dan organisasi media dilecehkan atau menjadi korban kekerasan. Untuk
memastikan hukum yang melindungi para awak media ditegakkan, Jokowi harus
mendesak lembaga-lembaga negara, khususnya Polri dan TNI, untuk menerapkan
kebijakan yang tak memberi toleransi pelaku kekerasan terhadap wartawan. HRW
mendesak pemerintah memecat sejumlah aparat keamanan yang diduga melakukan
penyerangan terhadap wartawan dari kesatuan masing-masing.
Pemerintah
juga harus menyelenggarakan program pendidikan yang memadai tentang kebebasan
pers bagi para pejabat pemerintah, polisi, dan aparat militer
(Satuharapan.com, 26/4). AJI pernah menyatakan 2016 sebagai tahun berbahaya
bagi jurnalis di RI. Selain masih banyak kasus kekerasan yang dilakukan
aparat keamanan, terdapat regulasi yang menindas media dan jurnalis. Pada
tahun lalu terjadi pembiaran atas kasus intoleransi dan pengekangan ekspresi
yang berbeda di berbagai daerah. Selama Januari-Desember 2016 ada 78 kasus
kekerasan terhadap wartawan, bahkan ada satu kasus pembunuhan wartawan.
Berdasarkan kategori pelaku kekerasan, pihak tertinggi dilakukan warga dengan
26 kasus, diikuti polisi 13 kasus, pejabat pemerintah (eksekutif) 7 kasus,
dan TNI, orang tidak dikenal, Satpol PP masing-masing 6 kasus.
Dilihat dari
kategori jenis kekerasan, ternyata kekerasan fisik masih posisi tertinggi 35
kasus, pengusiran atau pelarangan liputan 17 kasus, ancaman kekerasan atau
teror 9 kasus, dan perusakan alat atau data hasil liputan 7 kasus. Dalam hal
kategori wilayah, Jakarta Pusat dan Medan menempati posisi tertinggi 7 kasus,
Makassar 4 kasus, Bandung dan Bandar Lampung 3 kasus. Kekerasan terhadap
jurnalis terus terulang, salah satu penyebabnya tidak ada penegakan hukum
terhadap para pelaku. Dari 78 kasus sepanjang 2016, tidak ada satu kasus pun
yang diproses hukum hingga dibawa ke pengadilan. AJI menilai Polri gagal
melindungi kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan berpendapat.
Dua tahun
berturut-turut polisi menjadi pelaku kekerasan terbanyak kedua setelah warga.
Menurut AJI, penanganan berbagai kasus kriminal besar itu sangatlah buruk. Jadi,
tidaklah mengherankan, kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia sudah
sampai pada taraf mengkhawatirkan dalam 10 tahun terakhir. Menurut data World
Press Freedom Index 2016, Indonesia di posisi merah, peringkat 130 dari 180
negara. Indonesia berada di bawah Timor Leste, Taiwan, dan India.
Undang-undang wartawan
Agar dunia
komunikasi massa kita tidak semakin kacau dan merugikan masyarakat,
pemerintah, dan pihak-pihak lain, DPR dan Presiden perlu segera merevisi UU
Pers.
UU Pers baru
itu mestilah lengkap dan terinci, termasuk sanksi bagi para pelanggarnya.
Unsur wartawan semestinya dikeluarkan saja dari UU Pers. Revisi besar-besaran
UU Pers sangat penting dilakukan agar tidak sembarang orang mendirikan media
massa, terutama media siber (daring) atas nama HAM sebagaimana dijamin Pasal
28F UUD 1945.
Selain itu,
DPR dan Presiden perlu segera membuat UU wartawan yang sangat komprehensif
dan antisipatif. Berbagai profesi, antara lain guru dan dosen, dokter, hakim,
dan pengacara, telah lama memiliki UU profesi. Ini sangat mendesak diwujudkan
agar tak sembarang orang menyandang status wartawan.
Dari semua
profesi di negeri ini, hanya calon wartawanlah yang sama sekali tak
bersyarat, terutama syarat minimal pendidikan yang relevan. Selama ini syarat
calon wartawan hanya diatur media masing-masing. Dalam UU wartawan juga harus
diatur tegas dan rinci semua kewajiban dan hak wartawan, termasuk
perlindungan komprehensif terhadap wartawan. Dengan demikian, tak ada lagi
wartawan yang dilecehkan, dianiaya, dan dibunuh. Juga tiada lagi wartawan tak
digaji perusahaan medianya, atau gajinya jauh di bawah upah buruh pabrik. UU
wartawan juga mesti menjamin hak wartawan mendirikan serikat wartawan
sebagaimana yang telah lama dimiliki para pekerja di perusahaan-perusahaan
swasta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar