Kolonisasi
Ruang Publik
Asep Salahudin ; Wakil Rektor I IAILM Tasikmalaya;
Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Mei 2017
AGAMA seperti
memiliki banyak nyawa. Nafsu modernisme dan anak kandungnya sekularisme untuk
membunuh atau minimal mengusirnya ke 'kamar pribadi' (privat), alih-alih
kesampaian, malah agama awal abad ke-21 semakin gempita. Diskursus
post-sekularisme akhir-akhir ini kian meneguhkan posisi agama yang tak pernah
pudar. Bahkan menampakkan gejala kebalikannya: kian terlibat dalam ranah
publik baik melalui saluran resmi demokrasi (partai) atau lewat 'parlemen
jalanan' yang mendesak negara memperhatikan aspirasi kaum beragama. Dalam
konteks keindonesiaan lebih meriah lagi, apalagi pascarobohnya Orde Baru.
Peristiwa aksi
yang berjilid-jilid dan terakhir 5 Mei 2017 ialah sebuah konfirmasi bagaimana
dinamika politik pilkada akhirnya harus ditautkan pada sentimentalisme
keagamaan dan menemukan sumbunya pada sang petahana yang dianggap telah
melakukan penistaan agama. Bahkan pengadilan pun merasa harus terus diawasi
karena khawatir vonisnya tidak sesuai dengan fantasi mereka. Di pusaran ini,
wacana politik bergeser menjadi hiruk pikuk penafsiran agama dari sebuah ayat
yang sejatinya masih multitafsir.
Deliberatif
Tentu saja ada
sesuatu yang substansial yang seharusnya kita pikirkan. Bagaimana semestinya
menempatkan peran agama di ruang publik di tengah masyarakat haterogen, yang
berbeda tidak saja keyakinan, etnik, budaya juga secara geografis menempati
pulau berlainan. Untuk itu, karya-karya Jurgen Habermas, filsuf terkemuka
abad ke-21, yang banyak mengungkap relasi agama dan negara di ruang publik
patut disimak. Pada karya-karya awalnya, Habermas tidak banyak mempercakapkan
agama bahkan cenderung mengimani sekularisme sebagai jalan yang dapat
memberikan jaminan terwujudnya kesejahteraan umum. Namun, pada
tulisan-tulisan terakhirnya dia sangat memperhitungkan peran agama: agar
demokrasi itu punya legitimasi, agama harus dilibatkan dalam penalaran
publik.
Agama di
samping memiliki wajah dogmatis dan patologis (seperti sering dikhotbahkan
nalar sekuler) juga pada wajah lainnya bisa sangat kritis, emansipatif,
liberatif, dan transformatif. Wajah kedua itulah yang semestinya dimunculkan
kaum agamawan agar agama di satu sisi tidak jatuh dalam limbo manipulasi
(sekadar atas nama) dan di sisi lain demokrasi mendapatkan legitimasi yang
kukuh. Agama dan demokrasi menjadi berjalan seiring: memburu makna hidup,
kebaikan bersama dan problem moral pun dapat diselesaikan secara meyakinkan.
Orang berdemokrasi tanpa terus menanggung beban teologis, juga beragama tanpa
selamanya dihantui demokrasi yang dianggap 'kafir' itu.
Tentu saja
untuk mencapai itu, agama ketika berkiprah di ruang publik harus melucuti
klaim kebenarannya yang bersifat partikular. Sisi universalitas agama yang
menjadi kebaikan bersama yang harus dikedepankan sehingga bisa diterima semua
kalangan.
Penafsiran
agama diperdebatkan lewat amal rasional ke dalam bahasa yang dipahami
khalayak, melalui logika yang bisa dicerna semua kalangan dan diterjemahkan
lewat ungkapan-ungkapan inklusif dan keberpihakan yang jelas terhadap
kepentingan bersama. Ajaran agama dan tradisi lokal harus berani keluar dari
watak dogmatisme dan kemudian berdialog dengan rasio publik yang beragam, saling
ber-hujjah dengan akal pencerahan. Harus ada upaya menciptakan interaksi
intim dengan menanggalkan sikap curiga dari isi kepala demi mencari titik
persamaan tanpa harus memudarkan keunikan-keunikan perbedaan di dalamnya. Di
titik ini, agar kesalahpahaman dapat dihindari dan pengertian bersama bisa
tercapai, Habermas menawarkan apa yang disebut dengan 'tindakan komunikasi'.
Individu-individu yang berbeda melalui komunikasi dan dialog intersubjektif
seperti ini pada akhirnya bisa menjalin kerja sama konstruktif atau gotong
royong dalam istilah Bung Karno.
Dengan
demikian, defisit demokrasi dan kebuntuan komunikasi dapat diselesaikan.
Bangsa (nation) dan negara (state) yang ada dalam sebuah negeri (country)
pada akhirnya bisa mewadahi semua kepentingan rakyat (people) dan setiap
anggota masyarakat (society) dengan segala keragamannya ikut berpartisipasi
dalam pembangunan dan peningkatan kualitas demokrasi dan penghayatan
keagamaan.
Kolonisasi
Kolonisasi
ruang publik terjadi salah satunya apabila agama ditarik ke ruang bernegara
tanpa penalaran rasional, tapi semata lewat jalur pemaksaan kehendak dan atau
sisi partikularitasnya dipaksa didorong untuk menjadi aturan bersama.
Cara-cara inilah pada akhirnya yang akan mengakibatkan kualitas demokrasi
melorot dan agama mengalami pemiskinan makna (religion impoverishment).
Langit kebebasan menjadi pudar (loss of freedom) dan 'makna' menjadi lenyap
(loss of meaning). Proses kolonisasi juga akan membawa tiga efek susulan.
Pertama, pada level individu berupa alienasi (keterbelahan jiwa); kedua, pada
level negara berupa legitimasi negara semakin rendah dan kepercayaan publik
menurun. Ketiga, agama dan tradisi mengalami keretakan yang mengakibatkan
hilangnya identitas dan terjungkalnya jangkar moralitas (Deddy Jamaluddin
Malik, 2017).
Setelah itu,
mencuatlah: (1) apatisme politik (massa merasa tidak harus bertanggung jawab
lagi terhadap proses politik yang berlangsung) dan; (2) sinisme politik
(publik tidak hanya curiga tetapi selalu berpandangan negatif terhadap seluruh
kebijakan elitenya). Agar tradisi-tradisi religius tetap memiliki peran
penting dalam negara dan mengakar di tengah masyarakat, yang semestinya
dikembangkan ialah dialog diskursif, jujur, nondiskriminatif, dan setara.
Sebagaimana tempo hari diteladankan para pendiri bangsa ketika merumuskan
dasar negara. Mereka mencapai musyawarah mufakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar