Revolusi
Bunga
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 30 April 2017
A Flower Does Not Talk
Silently a flower blooms,
In silence it falls away;
Yet here now, at this moment, at this place,
the whole of the flower, the whole of
the world is blooming.
This is the talk of the flower, the truth
of the blossom:
The glory of eternal life is fully shining here.
Zenkei Shibayama
Zenkei
Shibayama (1894-1974), seorang imam Rinzai Zen, Jepang. Di India, Zen disebut
Dhyana, di Korea disebut Seon, di Vietnam Thien, dan di China Chan. Zen
termasuk dalam agama Buddha. Oleh karena itu, ketika orang mempelajari Zen
secara tidak langsung juga mempelajari agama Buddha. Zen merupakan aspek
Buddha Mahayana yang mengkhususkan dirinya pada meditasi. Puncak praktik Zen
adalah meditasi dengan duduk dalam posisi lotus (posisi bersila). Di kalangan
orang Zen, meditasi ini disebut Za-zen. Shibayama juga dikenal sebagai
seorang ilmuwan Buddha yang menjabat guru besar di Universitas Hanazono dan
Universitas Otani. Keduanya kolese Buddha.
Shibayama,
seperti Rumi—nama lengkapnya Moulana Muhammad Jalaluddin Rumi, seorang sufi
yang lahir pada 30 September 1207, di Balk, Khorasan, sekarang masuk wilayah
Afganistan—mengungkapkan isi hatinya lewat bunga. Mereka membaca kondisi
masyarakat dengan menggunakan metafora bunga. Rumi, misalnya, dalam puisinya
menulis:
Bunga tulip memang indah menawan:
Di taman ada beratus-ratus kekasih nan menawan
Bunga mawar dan bunga tulip menari berputar-putar
Di anak sungainya mengalir air bening,
Semuanya ini hanyalah helat (dalih)--itulah Dia!
Rumi juga
menulis:
Desember dan Januari berlalu
Tulip bermunculan. Ini saatnya menikmati
bagaimana pohon bergoyang ditiup angin
dan mawar tak pernah istirahat.
Metafora
sangat penting dalam semua aspek kehidupan. Metafora terutama diterapkan
dalam politik. Karena politik dan diskursus politik adalah domain
kompleksitas dan keniskalaan tinggi. Dan, ”metafora”, seperti dikatakan oleh
Elena Semino, ”dapat memberikan jalan, cara, untuk menyederhanakan
kompleksitas dan membuat keniskalaan dapat diterima”. Atau menurut Seth
Thompson, ”politik tanpa metafora seperti ikan tanpa air” (Ludmila Torlakova:
2014).
Lewat
puisinya, Shibayama barangkali ingin mengatakan, ”Jadilah seperti bunga. Ia
tidak pernah sombong, menyombongkan diri, tidak banyak omong. Ia mekar,
secara diam-diam, dan layu pun secara diam-diam”. Ketika mekar dengan warna
yang begitu indah dan harum mewangi, bunga pun tidak pernah bermaksud menjadi
yang lebih hebat dibandingkan dengan bunga lainnya, yang kurang indah, dan
tidak harum mewangi. ”Bunga tidak pernah berpikir bersaing dengan bunga
lainnya. Ia mekar, mekar begitu saja,” tulis Shibayama.
Karena
persaingan, kompetisi, bisa memunculkan benih-benih permusuhan, membunuh persaudaraan,
dan bisa saling menghancurkan. Tujuan persaingan adalah untuk menang. Dan,
tidak jarang untuk merebut kemenangan dilakukan dengan segala cara, segala
jalan, bahkan jalan dan cara yang sangat tidak pantas, jalan yang melukai
kemanusiaan, jalan kecurangan, jalan kemunafikan. Pendek kata, ”menghalalkan
segala cara”, menurut istilah Niccolo Machiavelli. Meskipun sebenarnya dalam
Il Principe, apa yang dianjurkan Machiavelli adalah didorong oleh tekad untuk
mencapai persatuan Italia daripada sekadar mengabaikan nilai-nilai moral.
Akan tetapi, dalam praktiknya sekarang ini, ”nilai-nilai moral” itulah yang
diabaikan demi kemenangan yang berujung dengan diraihnya kekuasaan.
Itulah
sebabnya, karena tidak menginginkan kekerasan dan menghendaki perdamaian,
gerakan melawan rezim diktator Marcello Caetano, penguasa Portugal (25 April
1974), disebut Revolusi Anyelir (Carnation Revolution). Revolusi mengakhiri
secara damai pemerintahan Caetano dan Estado Novo atau Republik Kedua, yang
didirikan pada tahun 1933. Revolusi Anyelir menghasilkan konstitusi baru bagi
Portugal dan mengakhiri kolonialisme Portugal, juga kebebasan sipil yang
sebelumnya di zaman pemerintahan Caetano dilarang.
Sama halnya,
revolusi penyingkiran diktator Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali disebut
sebagai Revolusi Melati (Jasmine Revolution). Revolusi Melati adalah suatu
pergolakan rakyat di Tunisia yang memprotes korupsi, kemiskinan, dan represi
politik di bawah rezim Ben Ali. Gerakan rakyat ini pada akhirnya berhasil
menjatuhkan Ben Ali, Januari 2011. Keberhasilan Revolusi Melati inilah yang
menginspirasi revolusi-revolusi lainnya di negara-negara Arab, yang kemudian
disebut sebagai Musim Semi Arab.
Sebenarnyalah,
tulis Ludmila Torlakova, penggabungan jasmine (melati) dan revolution
(revolusi) adalah dua konsep yang mustahil. Revolusi diasosiasikan sebagai
menghancurkan tatanan yang mapan, kekerasan, dan merusak. Di sisi lain,
melati adalah bunga yang secara tradisional dalam budaya Arab, dan dalam
budaya lainnya, diasosiasikan dengan wewangian yang menyenangkan, kecantikan,
dan kelembutan, kehalusan. Melati adalah bunga simbol Tunisia dan yang
berarti ”kemurnian, keindahan kehidupan, dan toleransi.”
Delapan tahun
sebelumnya, di Georgia, meletuslah Revolusi Mawar (2003) setelah pemilu yang
berujung pada tersungkurnya Presiden Eduard Shevardnadze. Dua tahun kemudian,
2005, terjadi Revolusi Tulip di Kirgistan. Pada tahun yang sama, antara
Februari dan April 2005, pecah Revolusi Cedar di Lebanon sebagai ujung dari
sengketa pemilu. Revolusi Musim Semi di Mesir sering pula disebut sebagai
Revolusi Lotus, sebuah revolusi yang memaksa secara damai Presiden Hosni
Mubarak turun.
Benar yang
ditulis oleh Shibayama bahwa bunga mengatakan kebenaran; ia tidak pernah
berpura-pura. Bunga adalah kejujuran. Ia tidak pernah menipu. Dan, bunga
indah dari sejak semula. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar