Poros
Al-Azhar-Vatikan
Zuhairi Misrawi ; Alumnus Universitas Al-Azhar,
Kairo, Mesir;
Analis Pemikiran dan Politik
Timur Tengah, The Middle East Institute, Jakarta
|
KOMPAS, 04 Mei 2017
Kunjungan Paus
Fransiskus ke Imam Besar Masjid Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb di Mesir,
28-29 April 2017, mendapat perhatian luas. Di tengah ancaman terorisme yang
menggurita, kedua sosok penting Islam dan Katolik itu menyerukan persaudaraan
dan perdamaian.
Mesir sendiri
menghadapi ancaman terorisme dan radikalisme amat akut. Pasca badai Musim
Semi Arab, yang menjatuhkan rezim Hosni Mubarak dan Muhammad Mursi,
stabilitas politik dan keamanan di sana tak kunjung membaik. Aksi terorisme
mengoyak kedamaian yang subur di negeri Kinanah itu.
Berabad-abad
Muslim dan Kristen di Mesir hidup berdampingan dengan damai. Banyak gereja
megah dibangun bersebelahan dengan masjid. Setelah dinasti Islam menguasai
Mesir, gereja tetap berdiri tegak. Bahkan, Mesir menjadi pusat Kristen Arab
tertua dunia, dikenal dengan Kristen Koptik. Mereka menggunakan Alkitab
berbahasa Arab dan layaknya orang Arab, bercakap dalam bahasa Arab.
Fakta itu kian
membenarkan tesis bahwa Arab tak hanya identik dengan Islam, melainkan juga
agama samawi lain, khususnya Yahudi dan Kristen. Sebelum Islam datang ke
Tanah Arab, Yahudi dan Kristen lama eksis dan jadi bagian kebudayaan dan
peradaban Arab. Begitu pun setelah Islam, agama mayoritas orang Arab, kedua
agama samawi tersebut masih eksis.
Akan tetapi,
Musim Semi Arab menjadi mimpi buruk bagi umat Kristen dan Yahudi di seantero
Arab. Menurut Sheikh Ahmed al-Tayeb perdamaian dunia telah menjadi surga yang
hilang (al-firdaws al-mafqud) karena kebencian dan kekerasan menjadi realitas
mengkhawatirkan. Mereka mengaku paling teguh memegang prinsip agama, tetapi
justru melecehkan nilainilai luhur agama, seperti perdamaian, persaudaraan,
dan keadilan.
Dalam beberapa
tahun terakhir, warga Kristen di Mesir menghadapi ancaman terorisme sangat
serius. Mereka tak lagi warga yang setara karena kerap dapat perlakuan
diskriminatif. Beberapa waktu lalu
gereja di Tanta dan Alexandria menjadi sasaran kelompok teroris di saat umat
Kristen beribadah.
Mesir
beruntung punya Al-Azhar sebagai benteng moderasi Islam. Imam Besar Ahmed
al-Tayeb selalu ambil langkah cepat untuk menormalkan hubungan antaragama di
Mesir dan menyerukan pentingnya toleransi dan perdamaian. Dalam konteks Mesir, Imam Besar Al-Azhar
membentuk forum bersama agama-agama yang dikenal dengan Rumah Keluarga (bayt
al-'ailah). Forum ini hendak menegaskan bahwa agama-agama ibarat keluarga
yang sejatinya dapat membangun harmoni, cinta kasih, dan kehangatan bersama.
Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis menyebutkan ia dan agama samawi lain
ibarat sebuah bangunan yang kukuh. Islam hanya hadir untuk menyempurnakan
akhlak mulia.
Atas dasar
itu, Imam Besar Al-Azhar memerintahkan umat Islam di Mesir agar menjaga
gereja dan sinagoga dari ancaman kaum radikal. Menurut Ahmed Al-Tayeb, umat
Islam tak hanya cukup menjaga masjid, tetapi juga mesti menjaga tempat ibadah
agama lain sebagai bentuk perlindungan dan komitmen menjaga toleransi dan
perdamaian.
Poros toleransi
Membangun
toleransi tidak hanya cukup dalam konteks Mesir, melainkan perlu gerakan
mondial yang mampu membangkitkan spirit untuk menjaga perdamaian dalam skala
lebih luas. Problem intoleransi dan diskriminasi bukan hanya di Mesir,
melainkan di belahan dunia lain.
Problem
intoleransi, diskriminasi, dan terorisme menjadi keprihatinan bersama. Oleh
karena itu, Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb, menempuh jalan
memperkuat poros Al-Azhar dan Vatikan. Ia khusus mengundang Paus Fransiskus
ke Al-Azhar, Mesir. Al-Azhar memandang Paus Fransiskus sebagai sosok amat
penting dalam menggelorakan perdamaian. Harapannya, poros toleransi AlAzhar
dan Vatikan ini dapat mengetuk hati umat di segala penjuru dunia
mengedepankan visi agama yang dapat membangun harmoni dan persaudaraan.
Beberapa pesan
penting disampaikan poros Al-Azhar dan Vatikan. Pertama, agama sebagai sumber
cinta dan kasih. Pesan ini diangkat karena dalam realitasnya ada pihak-pihak
yang hendak menjadikan agama sebagai justifikasi intoleransi, diskriminasi,
dan terorisme. Para pemuka agama dan umatnya harus waspada tinggi karena
anasir kekerasan yang kerap mengatasnamakan agama, bahkan mengatasnamakan
Tuhan. Padahal, negara dan peradaban tak akan bisa dibangun di atas
puing-puing ideologi yang menjustifikasi kekerasan.
Saat ini kita
melihat begitu mudah agama digunakan sebagai justifikasi kekerasan. Karena
itu, Al-Azhar dan Vatikan sadar penuh menyerukan kepada dunia bahwa kekerasan
tak punya pijakan dalam agama. Mereka yang melakukan kekerasan atas nama
agama sama sekali tak bisa dibe- narkan. Tak ada agama dan peradaban mana pun
membenarkan kekerasan dan intoleransi.
Kedua, pesan
kepada para pemimpin dunia agar mengeluarkan kebijakan yang mendorong
keadilan dan perdamaian. Kebijakan yang tidak tepat dan cenderung menindas
akan melahirkan respons yang sangat besar. Faktanya, kelompok ekstremis dan
teroris di berbagai belahan dunia kerap kali menggunakan kebijakan menindas
dari negara-negara adidaya sebagai justifikasi untuk melakukan aksi kekerasan
atas nama agama.
Maka, para
pemimpin dunia harus menciptakan iklim kondusif demi perdamaian dunia. Pa- ra
pemimpin dunia harus mempertimbangkan kembali
perdagangan senjata, termasuk senjata pemusnah massal. Dampak
perdagangan senjata dan senjata
pemusnah massal ini sangat buruk bagi perdamaian dunia.
Ketiga, pesan
agar agama-agama melahirkan sosok yang bisa menjadi juru bicara toleransi dan
perdamaian. Pada tataran empiris, khususnya dalam realitas sosial-politik,
dibutuhkan agamawan yang mampu menyuarakan toleransi dan perdamaian. Al-Azhar dalam beberapa tahun terakhir
bekerja keras melatih khatib masjid agar berwawasan komprehensif perihal
keislaman, kebangsaan, dan globalisasi.
Mesir pernah
punya pengalaman buruk soal khatib yang kerap mendakwahkan kebencian dan kekerasan.
Sejak itu pula, Al-Azhar mengeluarkan kebijakan sertifikasi khatib. AlAzhar
mengajak seluruh umat agama-agama agar melahirkan sosok agamawan dan menjadi
juru bicara toleransi dan perdamaian.
Al-Azhar dan
Vatikan berkomitmen bersama: para agamawan bekerja lebih serius lagi me-
ngampanyekan perdamaian. Para agamawan harus punya pandang- an utuh tentang
pentingnya menjaga kebinekaan dan persaudaraan. Langkah yang diambil Al-Azhar
dan Vatikan perlu respons positif semua pihak.
Saat ini kita
sangat butuh wajah agama dengan pesan toleransi dan perdamaian. Kita sedang
menghadapi tantangan serius karena ada pihak yang ingin menjadikan agama
jalan intoleransi dan kekerasan. Karena itu, pesan poros Al-Azhar dan Vatikan
mesti digaungkan dan jadi pelajaran berharga di negeri tercinta ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar