PII
dan Wajah Pelajar Kita
M Anwar Djaelani ; Aktivis
di saat pelajar dan mahasiswa;
Penulis buku ’’50 Pendakwah
Pengubah Sejarah’’
|
JAWA
POS, 08
Mei 2017
’’STUDENT today, leader tomorrow’’ adalah ungkapan populer dan
memiliki banyak bukti. Maka, kapan pun perkembangan pelajar harus kita
cermati. Terkait ini, ketika pekan lalu Pelajar Islam Indonesia (PII) genap
berumur 70 tahun, menarik jika kita ’’menengok’’-nya dan lalu
menyandingkannya dengan kondisi pelajar sekarang.
Wajah Pelajar Kehadiran sebuah organisasi pasti tak terlepas
dari situasi yang melatarbelakanginya. Di masa lalu, pengaruh pendidikan
penjajah memiliki bekas negatif di banyak pelajar. Terasakan bahwa hasil
pendidikan (lewat berbagai modus) berhasil menjauhkan pelajar Islam dari roh
Islam dan jiwa kebangsaan.
Atas situasi itu, pemuka Islam berusaha membentengi umat dan
terutama generasi muda dengan mendidiknya lewat pesantren.
Tak lama setelah Indonesia merdeka terbit persoalan baru: Ada
jurang pemisah antara pelajar umum (hasil didikan pola Belanda) dan pelajar
Islam (buah didikan pesantren). Lalu, lahirlah gagasan untuk mendirikan
organisasi pelajar sebagai upaya menutup jurang pemisah itu. Maka, di
Jogjakarta pada 4 Mei 1947 Pelajar Islam Indonesia (PII) lalu didirikan.
Sejak tanggal itu, momentum tersebut dijadikan sebagai Hari
Kebangkitan PII. Istilah ’’bangkit’’ didasari fakta bahwa kehadiran PII
dipicu oleh kesadaran para pelajar Islam.
Apa tanggung jawab pemuda-pelajar? Tentang itu bisa ditemukan di
tujuan PII. Bahwa, organisasi ini berusaha mewujudkan ’’Kesempurnaan
pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam untuk segenap rakyat
Indonesia dan umat manusia’’. Tampak PII peduli kepada semua hal yang
mendorong kepada terbinanya pendidikan secara sempurna.
Sementara, menurut Prof Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
pendidikan itu bertujuan utama membentuk manusia yang beradab. Adab, kata
Al-Attas, adalah disiplin rohani, akli, dan jasmani yang memungkinkan
seseorang dan masyarakat mengenal dan meletakkan segala sesuatu pada
tempatnya dengan benar dan wajar, sehingga menimbulkan keharmonisan dan
keadilan dalam diri, masyarakat, dan lingkungannya. Hasil tertingginya,
mengenal Allah dan beramal saleh pada tahap ihsan.
Orang beradab tahu yang hak dan yang batil. Maka, di pentas
sejarah, lihatlah kontribusi PII dalam beramar makruf nahi mungkar. Berikut
sekadar menyebut dua kontribusi besar PII.
Pada 1966 Indonesia bergolak. Rakyat menentang rezim Orde Lama.
Di antara elemen perjuangan masya- rakat yang berperan sangat penting ketika
itu adalah Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI). Di KAPPI –antara lain– bergabung PII (Pelajar
Islam Indonesia). Sementara, di KAMI –antara lain– bergabung HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam). Kita tahu, hasil gerakan itu adalah tumbangnya Orde Lama.
Bagaimana situasi pelajar kini? Secara umum, banyak yang
prihatin dengan perkembangan pelajar kita. Sisi-sisi negatif dari pelajar
mencuat seperti berita ’’antar pelajar tawuran’’, ’’pelajar bacok guru’’,
’’pelajar arisan seks’’, atau ’’pelajar terlibat kasus narkoba’’. Tapi,
apakah semua pelajar?
Pada 31 Maret 2017 sebuah media massa menurunkan hasil
penelitian agama bertema ’’Transmisi NilaiNilai Keagamaan Melalui Organisasi
Rohis’’. Di antara hasil penelitian dari Balai Litbang Agama Semarang itu
menyebutkan bahwa pelajar mengidolakan Habib Rizieq Sihab dan Ustad Bachtiar
Nasir. Dua nama itu menempati ranking tertinggi dalam daftar tokoh-tokoh
idola para pengurus unit kegiatan sekolah kerohanian Islam (rohis) di
beberapa SMA negeri favorit atau unggulan di Jawa Tengah dan DIJ.
Temuan itu menarik. Pertama, respondennya adalah pengurus rohis
dari SMA negeri favorit. Asumsinya, responden adalah representasi dari
pelajar-pelajar Islam. Asumsi lain, level intelektualitas responden di atas
rata-rata sehingga pendapat mereka tentu sudah melewati pertimbangan yang
rasional dan matang.
Kedua, tampak bahwa responden adalah pelajar yang aktif
mengikuti perkembangan masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang ada di
sekitarnya. Mereka tampaknya tahu persis peran sentral Rizieq Sihab dan
Bachtiar Nasir dalam menggerakkan jutaan orang di Aksi Bela Islam 411 dan 212
menuntut dipenjarakannya oknum penista agama. Hai PII, Halo Pemerintah! PII
telah berusia 70 tahun. Sejarah telah ditorehkan dan insya Allah masih akan
panjang catatannya. Dari PII telah lahir banyak tokoh bangsa. Sekadar
menyebut, mereka antara lain adalah Jusuf Kalla (wakil presiden), Muhadjir
Effendi (menteri pendidikan dan kebudayaan), Soetrisno Bachir (ketua Komite
Ekonomi dan Industri Nasional –KEIN, sekarang), Abdul Malik Fadjar (mantan
menteri agama).
Rasanya, para tokoh nasional yang disebut itu akan seragam
berkesaksian bahwa kesuksesan yang mereka raih karena –antara lain– mereka
pernah dibesarkan oleh PII. Lewat PII, mereka dikader untuk selalu tanggap
memikirkan sekitar, cerdas dan kreatif mencari jalan keluar atas berbagai
masalah yang dihadapi, serta dapat memimpin organisasi dalam mencapai
tujuan-tujuannya.
Alhasil, pertama, dengan berbagai prestasinya, semoga PII tetap
eksis dan bersemangat dalam mewarnai dunia pelajar di negeri ini. Kedua,
kepada pemerintah, patut untuk menciptakan situasi sedemikian rupa organisasi
ekstra sekolah semisal PII mendapat kemudahan untuk berkiprah di sekolah-sekolah
dalam mewujudkan ’’Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan
Islam untuk segenap rakyat Indonesia dan umat manusia’’. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar