Gerakan
Literasi tanpa Campur Tangan Negara
AS Laksana ; Esais
dan Cerpenis, tinggal di Jakarta
|
JAWA
POS, 08
Mei 2017
ADA kabar baik
yang saya baca di koran hari Sabtu, 6 Mei 2017, tentang gerakan literasi.
Komunitas-komunitas di berbagai daerah semakin bergairah dalam menyebarkan
”virus” gemar membaca. Orang-orang yang peduli untuk ikut melahirkan generasi
gemar membaca, yang menginginkan masyarakat menjadi lebih cerdas, terus
berupaya sebisa mereka dalam mendorong masyarakat, terutama anak-anak, agar
memiliki kebiasaan membaca buku.
Mereka mencoba
untuk mengakrabkan masyarakat dengan buku bacaan. Mereka bergotong royong
mengumpulkan buku-buku dan menyumbangkannya kepada masyarakat yang kesulitan
mendapatkan buku. Mereka menciptakan lingkungan gemar membaca serta
mengangkut buku ke daerah-daerah yang jauh dari jangkauan industri perbukuan
dan sebagainya.
Pemerintah dan
institusi-institusi resmi belum memiliki gairah seperti para aktivis untuk
membuat masyarakat kita gemar membaca buku. Namun, saya tetap berharap suatu
saat pemerintah akan tersadar dan mulai membuat kampanye besar-besaran
seperti kampanye program keluarga berencana yang berhasil di waktu lalu,
tetapi kali ini dengan semboyan: Banyak membaca banyak rezeki!
Saya sendiri
tidak memiliki daya tahan dan kegigihan sebagaimana yang dimiliki para
aktivis perbukuan, juga tidak pernah melakukan kebajikan yang tak kenal lelah
seperti mereka. Paling-paling saya hanya sibuk memikirkan bagaimana membuat
anak-anak saya suka membaca dan menyediakan buku-buku yang saya pikir perlu
mereka baca. Itu tindakan normal saja sebagai orang tua. Di luar itu, saya
tidak sanggup.
Tetapi, apa
sebenarnya yang bisa diharapkan dari anak-anak yang suka membaca? Mereka akan
terlihat sebagai pemalas yang duduk berjam-jam dan hanya membuka-buka halaman
demi halaman buku di tangan. Sesekali mereka akan mengubah posisi dari duduk
menjadi meringkuk seperti kepompong. Sering anak yang sedang asyik masyuk
membaca buku tidak memedulikan hal-hal lain di sekitarnya, tidak mendengar
suara panggilan, dan tidak lekas mengerjakan perintah. Anak-anak yang terlalu
asyik dengan buku sering membuat ibu mereka jengkel dan berteriak-teriak.
Anak saya yang paling senang membaca juga sering membuat ibunya jengkel.
Masalah
selanjutnya, apa buku-buku yang sebaiknya mereka baca? Kegemaran membaca
tentu saja perlu didukung dengan ketersediaan buku-buku bagus, baik fiksi
maupun nonfiksi, baik sastra maupun buku-buku ilmu pengetahuan.
Anak-anak di
negara berbahasa Inggris, yang perbukuannya maju, sejak kecil diperkenalkan
pada karya-karya penulis besar seperti Shakespeare, Cervantes, Charles
Dickens, Robert Louis Stevenson, dan sebagainya melalui versi saduran untuk
pembaca pemula. Sejak kecil mereka akrab dengan nama-nama besar dan karya-karya
besar sampai nanti membaca versi aslinya. Hampir semua novel klasik di sana
punya versi saduran untuk pembaca anak-anak atau pembaca pemula.
Hal yang sama
tidak bisa diterapkan di Indonesia. Kesastraan kita tidak memiliki versi
anak-anak untuk buku-buku, misalnya, Layar Terkembang, Sitti Nurbaya,
Belenggu, Jalan Tak Ada Ujung, dan tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Anak
saya, kelas dua SMP, membaca Si Dul Anak Jakarta karya Aman Dt. Madjoindo.
Dan dia membaca buku itu tidak selancar membaca buku-buku terbitan sekarang.
”Bahasanya lucu,” katanya. Tetapi, dia harus membacanya karena itu tugas
sekolah. Artinya, sekolah memberi tugas kepada murid-murid untuk membaca buku
yang tidak menarik dan buku yang tidak menarik, saya yakin, tidak akan
membuat orang gemar membaca.
Jadi, sekali
lagi, buku apa saja yang sebaiknya dibaca anak-anak?
Saya membuka
mesin pencari internet dan mengetikkan kata kunci ”book recommendations
library”, lalu menemukan daftar buku yang direkomendasikan oleh sejumlah
perpustakaan. Untuk bacaan musim panas tahun ini, misalnya, New York Public
Library merekomendasikan sejumlah buku. Antara lain Homo Deus (Yuval Harari),
novel Haruki Murakami, dan buku George Orwell untuk pembaca dewasa.
Perpustakaan tersebut juga merekomendasikan buku-buku untuk pembaca remaja
dan anak-anak.
Selain
perpustakaan, banyak pesohor di sana yang rajin membaca buku dan senang
memberikan rekomendasi kepada publik. Bill Gates, misalnya, adalah seorang
pembaca yang tekun hingga sekarang –dia masih memaksakan diri membaca satu
buku seminggu– dan selalu memberikan rekomendasi kepada publik tentang
buku-buku yang menarik untuk dibaca. Barack Obama juga tetap rajin membaca
buku. Mark Zuckerberg tetaplah seorang pembaca buku yang lahap dan membuat
klub buku di Facebook.
Elon Musk,
orang terkaya di dunia urutan ke-21 menurut Forbes, seorang pengusaha,
investor, sekaligus inventor yang mendirikan PayPal, perusahaan yang
mengembangkan sistem pembayaran online, juga orang yang tetap senang membaca
buku hingga sekarang. Dia terutama menyukai buku-buku riwayat hidup
orang-orang besar. Buku-buku terakhir yang dia rekomendasikan, di antaranya,
biografi terbaru Albert Einstein yang ditulis Walter Isaacson, penulis
biografi Steve Jobs. Selain itu, dia merekomendasikan fiksi; kesukaannya
adalah novel-novel fiksi ilmiah dan fantasi.
Saya tidak
menemukan hal yang sama ketika mengetikkan pada mesin pencari ”buku
rekomendasi perpustakaan nasional”. Perpustakaan kita tampaknya tidak
memiliki kebiasaan merekomendasikan buku-buku apa yang sebaiknya dibaca
orang-orang. Para pesohor kita juga rata-rata bukan pembaca buku. Dan
sekolah-sekolah juga tidak membuat saran kepada murid-murid tentang buku apa
yang sebaiknya mereka baca. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar