Paradoks
Kemajemukan Bangsa
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Mei 2017
GEJALA
menggunakan agama sebagai alat politik begitu menguat akhir-akhir ini,
terutama pada saat pilkada DKI. Isu kebencian dan SARA tak pelak memang
digunakan untuk menghalalkan tujuan kekuasaan, untuk dan atas nama agama dan
Tuhan. Tuhan sendiri pasti sedang menertawakan para politikus yang
menarik-narik masalah agama menjadi jargon politik.
Karena
sesungguhnya para politikus dan sekaligus para agamawan yang terbelenggu oleh
nafsu berkuasa secara tak sadar sedang mendaku dirinya sebagai wakil Tuhan
yang sah, dan dapat menafsirkan seenaknya semua jenis ajaran. Atau bahkan
jangan-jangan para politikus dan agamawan jenis ini sesungguhnya sedang
mempraktikkan nafsu syirik (menyekutukan) Tuhan dengan hawa nafsu kekuasan. Nauzubillah.
Kelamnya agama
Fenomena
kekerasan, secara verbal ataupun aksi, dengan menggunakan agama merupakan
ciri ideologi teroris yang menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan
atas nama agama. Sejarah agama-agama di abad pertengahan pun terjebak masalah
eksklusivisme itu. Ketika agama dijadikan ideologi tertutup untuk
melegitimasi kekuasaan, agama pun menjadi alat teror.
Mark
Juergensmayer dalam bukunya Terror in
the Mind of God, misalnya, menggambarkan bahwa semua agama, jika dipahami
secara eksklusif dan menutup dialog, akan berujung pada pembenaran terorisme.
Dalam ideologi
tertutup tidak dimungkinkan dialog dan kata maaf serta diskusi untuk mencari
kebenaran secara bersama. Jika sebuah ideologi kita klaim paling benar dan
tertutup, pada ujungnya memunculkan tindakan kekerasan dan teror untuk
mencapai tujuan kekuasaan.
Dalam sejarah
perkembangan ideologi, kita mengetahui fasisme, nazisme dan komunisme yang
tertutup di abad ke-20 menggunakan kekerasan dan teror untuk mencapai
cita-cita mereka. Tanpa ada dialog dan keterbukaan, ideologi apapun bisa
terjebak dan berujung tindakan kekerasan.
Nabi Muhammad,
Isa al-Masih, Sidharta Gautama yang sejarah hidupnya dipenuhi kisah indah
tentang cinta dan kemanusiaan, di tangan sebagian pengikutnya yang paranoid
dan haus kekuasaan, ajaran mereka tiba-tiba berubah menjadi kekerasan dan
teror. Bahkan isi-isi ceramah tentang kebencian serta buku-buku yang berisi
pembenaran terhadap penggunaan kekerasan yang diambil dari ayat dan kitab
suci agama-agama besar sampai saat ini masih kita jumpai.
Tragisnya, tak
sedikit orang teperdaya dan terprovokasi para pengujar kebencian dan teror
yang mengatasnamakan agama itu.
Mempertahankan kebinekaan
Para pelaku
kekerasan yang menggunakan agama secara eksklusif sebagai basis gerakannya
tentu saja bertentangan dan fakta kebinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Indonesia ialah miniatur simbol Tuhan, Allah yang Mahakuasa, bahwa keragaman
bukti adanya Tuhan. Dengan keragaman itulah sesungguhnya semua manusia diuji
untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat), bukan membuat
permusuhan tiada henti. Adanya sekelompok orang yang ingin menjadikan RI
sebagai negara Islam dan khilafah harus dicegah karena cara pandang mereka
tidak asli pandangan Indonesia.
Para pegiat
ideologi tertutup biasanya melihat musuh dekat mereka ialah AS dan
simbol-simbol Barat lainnya yang ditemukan di mana saja mereka berada.
Sementara itu,
musuh jauh adalah AS, sekutu-sekutu AS, dan simbol-simbol Barat lain yang
memusuhi kaum muslimin. AS dan sekutunya menjadi penghalang utama semua upaya
dan cita-cita terwujudnya daulah islamiah dan khilafah.
Cara pandang
ideologis seperti dikemukakan para pelaku teror mengacu kepada ajaran
(sir'ah) dan metode (manhaj) salafisme dan pengalaman kesejarahan Darul
Islam/Negara Islam Indonesia, sebuah gerakan pemberontakan yang gagal
dipimpin SM Kartosuwirjo di Jabar, Indonesia.
Sebagai bangsa
yang memiliki kekayaan budaya, tradisi, dan bahasa yang sangat banyak dan
beragam, selayaknya kita bersyukur dan menjaga keragaman itu.
Salah satu
cara paling kuat dan strategis menjaga kemajemukan ini ialah proses
pendidikan yang benar. Titik tekan pada kata 'proses pendidikan' ialah
kesadaran melakukan penyadaran kepada para guru dan siswa secara
terus-menerus tentang pentingnya menjaga dan melestarikan kemajemukan itu. Dalam
konteks ini, pendidikan kita tampaknya memerlukan bentuk pedagogis yang
kritis dalam menanamkan rasa kemajemukan tadi.
Giroux (2003:
83), seorang ahli di bidang critical
pedagogy, mengatakan pedagogi seharusnya digunakan sebagai rujukan
menganalisis bagaimana sebuah pengetahuan, nilai, keinginan, dan relasi
sosial itu dibentuk. Critical pedagogy
juga harus memberi kesadaran kita bahwa setiap bentuk relasi sosial yang
didasarkan nilai, budaya, dan tradisi selalu memiliki implikasi politik di
antara pemegang kekuasaan.
Karena itu,
proses pendidikan mengharuskan dirinya menggunakan basis kemajemukan itu
sebagai cara mengomunikasikan perbedaan secara benar dan cerdas dalam
kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam menjaga
kemajemukan RI, para founding father bangsa ini mengemasnya dengan balutan
Pancasila sebagai dasar bernegara.
Pancasila
harga mati bagi kehidupan bernegara karena di dalamnya terkandung makna
spiritual yang dapat dijadikan suluh kehidupan masyarakat.
Pancasila juga
bentuk kompromi politik yang berangkat dari kesadaran memelihara perbedaan
agar tetap selaras dan harmonis. Akan tetapi, dengan melihat bagaimana
interaksi masyarakat di tingkat bawah akhir-akhir ini yang mulai gemar dengan
kekerasan dan main hakim sendiri, hal itu mengindikasikan nilai-nilai
kemajemukan mulai rusak.
Kecenderungan
kekerasan dan intoleransi juga merasuki dunia pendidikan kita. Riset Lembaga
Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP: 2011) yang dirilis Media Indonesia
(27/02/2011) mengindikasikan hal itu.
Bahkan secara
spesifik riset itu juga menemukan fakta ada di antara guru agama (21,1%)
maupun siswa SMP dan SMA (25,8%) menganggap Pancasila sudah tidak relevan
lagi sebagai ideologi negara.
Angka itu
sangat memprihatinkan dan karena itu otoritas pendidikan harus mengambil
langkah serius menyadarkan kembali makna Pancasila sebagai basis kehidupan
berbangsa dan bernegara yang faktanya memang sangat majemuk ini.
Ada paradoks
yang menghinggapi cara pandang para siswa kita dalam melihat sentimen
kebangsaan dan sentimen keagamaan mereka saat ini.
Paradoks ini
memang perlu diteliti lebih lanjut, apakah pandangan itu mewakili pandangan
semua siswa kita atau tidak.
Meski
penerimaan siswa terhadap demokrasi sebagai nilai intrinsik cukup tinggi,
ketidakpuasan terhadap demokrasi sebagai instrumen menyejahterakan rakyat
juga cukup tinggi.
Lebih tinggi
lagi ialah tingkat ketidakpuasan terhadap kinerja lembaga-lembaga politik. Dalam
kondisi semacam ini, survei LaKIP juga menemukan secara mengejutkan sebanyak
65,6% siswa di Jabodetabek sangat/cukup setuju jika syariat/hukum Islam
diberlakukan di RI, berbagai persoalan bangsa dapat diatasi.
Karena itu, para
siswa juga (71,9%) beranggapan bahwa umat Islam Indonesia seyogianya
menyalurkan aspirasi politik mereka ke dalam partai-partai Islam.
Tantangan ini
sudah enam tahun dipublikasi, tetapi pemerintah seperti diam dan hari ini
banyak dari mereka telah lulus SMA dan mungkin menjadi bagian gerakan yang
ingin mengubah Pancasila dengan khilafah.
Wallahu a'lam bi al-sawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar