Memproteksi
NKRI
Nadirsyah Hosen ; Dosen
Senior Fakultas Hukum, Monash University, Australia
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Mei 2017
PEMBUBARAN
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang diumumkan Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto pada 8 Mei lalu menuai
polemik di masyarakat. Yang semula dianggap merupakan sikap tegas pemerintah
Joko Widodo malah direspons sebagai sikap kegamangan pemerintah dalam
memproteksi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Problem utama
ialah pada posisi pemerintah yang cenderung bersikap kompromi dalam ranah
politik-hukum. Pada satu sisi, pemerintah tidak ingin terlihat bersikap
otoriter dengan melanggar nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan
negara hukum. Pada sisi lain, pemerintah kesulitan mengontrol pergerakan
aktivitas HTI yang semakin menggeliat.
Sudah sejak
lama banyak kalangan memperingatkan pemerintah akan bahaya HTI vis-a-vis
NKRI. Sekarang HTI sudah merasuk ke kalangan aktivitas kampus, halakah,
pejabat, bahkan purnawirawan militer. Kegamangan itu semakin terlihat ketika
pemerintah khawatir dianggap melukai hati para tokoh Islam sehingga bisa
memicu aksi massa Islam jilid berikutnya.
Pengumuman
Menko Polhukam Wiranto sehari sebelum vonis kasus penodaan agama Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) dibaca khalayak sebagai langkah kompromi: pembubaran
HTI seolah ditukar dengan vonis 2 tahun penjara untuk Ahok. Pemerintah tentu saja membantah kesan di
atas.
Namun, mengapa
pengumuman Menko Polhukam dilakukan sehari sebelum vonis Ahok? Kalkulasi politik apa yang tengah dihitung
pemerintahan Jokowi?
Kita tahu
selama ini gerakan Islam di belakang tuntutan kasus Ahok berhadapan dengan
mereka yang mengangkat isu kebinekaan dan menjaga NKRI.
Suara dukungan
dari MUI menjadi penting bagi langkah pemerintah membubarkan HTI. Kesan
pemerintah meninggalkan umat Islam menjadi terhapus oleh dukungan itu. Apalagi keesokan harinya vonis Ahok
disambut dengan pekik takbir sebagai tanda sukacita GNPF-MUI (Gerakan
Nasional Pembela Fatwa MUI). Pada saat
yang sama, pembubaran HTI membawa pesan bahwa pemerintah tetap komitmen
menjaga NKRI.
Dua hari itu
(8 dan 9 Mei) pemerintah Jokowi memainkan kartunya untuk mendulang simpati
aksi umat Islam sekaligus mereka yang hendak memproteksi NKRI. Pemerintah cukup cerdik hanya membubarkan
HTI dan tidak menyasar pada pembubaran FPI (Front Pembela Islam), yang bisa
memancing reaksi luas.
GP Ansor yang
selama ini berhadapan langsung dengan massa HTI merasa pengumuman yang
dilakukan Wiranto itu telah menegaskan kehadiran negara. Sebelumnya banyak kiai yang menganggap
pemerintah dan TNI/Polri membiarkan Banser (Barisan Ansor Serbaguna)
berhadap-hadapan dengan HTI. Pembiaran itu membuat eskalasi konflik meningkat
di tengah masyarakat.
Belum lagi
banyak pejabat daerah ataupun petinggi militer yang bukan saja menerima resmi
kunjungan HTI, melainkan juga malah terlibat menghadiri acara HTI. Stasiun televisi resmi milik pemerintah
juga pernah menyiarkan langsung kegiatan HTI. Bayangkan, gerakan yang hendak
mengganti NKRI dengan ideologi dan sistem khilafah malah dirawat aparat
pemerintah dan oknum satuan militer/kepolisian, dan Banser seolah dibiarkan
bergerak sendirian menjaga NKRI berhadapan dengan HTI.
Sekali lagi,
pengumuman Wiranto dianggap sebagai jawaban dari keluhan ini dan pemerintah
terlihat tengah menarik garis tegas dengan HTI. Akan tetapi, pengumuman
Wiranto tidak serta-merta membubarkan HTI secara resmi.
Berbeda dengan
pemerintahan Orde Baru, pemerintah di era reformasi 'terjebak' dalam semangat
kebebasan ekspresi, berkumpul, berpendapat, dan berserikat. Bandul kebebasan
bergerak dari satu titik ekstrem pengekangan di masa Orde Baru menuju ke
titik ekstrem lainnya yaitu kebebasan, yang dianggap sementara kalangan telah
kebablasan.
Kesalahan
terbesar pemerintah sebelumnya yang telah melegalisasi keberadaan HTI sebagai
ormas, tanpa menyimak dengan teliti platform dan ideologi HTI, kini harus
dibayar dengan mahal. Mencabut keputusan itu ternyata tidak semudah memencet
tombol delete di smartphone.
Prosedur berliku
Sedari awal
seharusnya HTI tidak dapat disahkan sebagai ormas karena tidak memenuhi
ketentuan Pasal 2 UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(Ormas), yang berbunyi, 'Asas Ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945'.
Karena mereka sudah telanjur disahkan sebagai ormas, pemerintah harus
menempuh prosedur berliku.
Dalam Pasal 59
UU Nomor 17 Tahun 2013 dijelaskan tentang larangan bagi sebuah ormas, yakni
melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan. Dalam
Pasal 60 disebutkan, pemerintah bisa membubarkan suatu ormas berbadan hukum
melalui beberapa tahapan, yakni pemberian sanksi administratif berupa tiga
kali peringatan tertulis. Secara berjenjang peringatan itu bisa memakan waktu
tiga bulan. Sementara itu, dalam Pasal 64 UU Nomor 17 Tahun 2013 diterangkan,
apabila surat peringatan ketiga tidak dihiraukan, pemerintah bisa
menghentikan bantuan dana dan melarang ormas tersebut melakukan kegiatan
selama enam bulan.
Jika ormas
tersebut berskala nasional, perlu mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Selanjutnya,
apabila dalam waktu 14 hari tidak ada pertimbangan dari Mahkamah Agung,
pemerintah berhak menghentikan sementara kegiatan ormas tersebut.
Pasal 68
menerangkan, apabila ormas tetap melakukan kegiatan setelah diberhentikan
sementara, pemerintah dapat mencabut status badan hukum setelah adanya
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Proses di
pengadilan negeri memakan waktu paling lama dua bulan. Keputusan pengadilan
negeri hanya bisa dimintakan kasasi, tidak melalui banding. Proses kasasi
dalam UU Ormas memakan waktu 40 hari dan keputusan kasasi harus ditetapkan
Mahkamah Agung dalam jangka waktu 60 hari. Semua proses berliku ini memakan
waktu tidak kurang dari 15 bulan. Pernyataan
Menko Polhukam pada 8 Mei belum dihitung karena proses 15 bulan ini baru
dihitung sejak dilayangkannya peringatan pertama, yang entah kapan akan
dikirimkan ke HTI. Pembubaran resmi
HTI tersandera oleh prosedur hukum yang berliku.
Penyelundup demokrasi
Pada titik
itu, HTI muncul sebagai 'penyelundup' demokrasi. HTI yang sejatinya menolak
demokrasi, karena dianggap sebagai sistem kufur, justru bergantungan untuk
hidup pada tali kebebasan yang disediakan demokrasi.
HTI lupa bahwa
pada masa khilafah dulu, yang namanya pelarangan, pembubaran, dan penangkapan
itu hal biasa yang dilakukan para khalifah.
Misalnya peristiwa mihnah yang melibatkan Imam Ahmad bin Hambal
terjadi pada saat pemerintahan Dinasti Abbasiyyah, yaitu pada masa
pemerintahan Khalifah al-Ma'mun, al-Mu'tashim, dan al-Watsiq. Ini artinya HTI
bisa dengan mudah dilarang khalifah seandainya kita saat ini berada pada masa
khilafah.
Jaminan
konstitusi akan kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berserikat itu hanya
untuk mereka yang memang menerima Pancasila dan UUD 1945.
Kalau HTI
menolak keduanya, mengapa masih berharap mendapat jaminan hidup dan kebebasan
dari sistem yang mereka kafir-kafirkan?
Menjadi ironis
HTI tumbuh berkembang dalam era demokrasi untuk perlahan kelak membunuh
demokrasi Pancasila. Tidak bisa polos dan naif menghadapi kelompok
'penyelundup' demokrasi. Pertanyaannya, sejauh mana demokrasi bisa
menoleransi gerakan yang hendak menghabisinya?
Pemerintah
terlihat gamang menjawab pertanyaan itu. Pernyataan Wiranto hanya menyatakan
kehendak pemerintah membubarkan HTI, tetapi prosesnya diserahkan kepada
pengadilan. Regulasi yang ada dianggap menjerat satu kaki pemerintah dan
pemerintah menyerahkan kaki satunya lagi kepada badan peradilan.
Alih-alih
bersama parlemen merevisi peraturan perundang-undangan untuk menarik bandul
kebebasan ke tengah, pemerintah malah melempar bola panas ke pengadilan untuk
memproteksi NKRI.
Pengadilan
juga memiliki problemnya sendiri. Pada satu sisi peradilan memiliki
kewenangan independen, tapi pada sisi lain akuntabilitas peradilan tidak
berjalan beriringan.
Sama dengan
bandul kebebasan di atas, palu peradilan berayun dari satu titik ekstrem
intervensi dan pengekangan di masa Orde Baru menuju titik ekstrem lainnya di
masa reformasi, yaitu kebebasan mutlak minus akuntabilitas. Dengan kata lain,
ada kemungkinan upaya pemerintah membubarkan HTI kandas di tangan palu hakim.
Pemerintah tidak bisa sepenuhnya menggantungkan nasib NKRI pada palu hakim. Bahkan ketika pemerintah mengikuti semua
langkah prosedural pun, keputusan pengadilan bisa saja mengejutkan dan
pemerintah harus menerima apa pun keputusan itu.
Strategi
pemerintah untuk melakukan kompromi politik-hukum, pembiaran eskalasi konflik
di masyarakat, dan lalu melempar bola panas ke lembaga lain untuk memberi
keputusan akan dibaca sebagai langkah gamang pemerintah.
Pemerintah
seharusnya melakukan langkah proteksi-strategis pada level kebijakan dan
intervensi sosial-budaya pada tataran masyarakat.
Berhentilah
memandang persoalan HTI ini semata dari sudut kalkulasi politik. Melawan
ideologi yang hendak mengganti Pancasila tidak bisa dilakukan dengan sikap
gamang. Taruhannya terlalu berat untuk anak-bangsa! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar