Memetik
Hikmah dari Badai Hujatan
Jaya Suprana ; Seniman
dan budayawan;
Pendiri Sanggar Pembelajar
Kemanusiaan
|
REPUBLIKA, 03 Mei 2017
Akibat memohon Basuki Tjahaja Purnama untuk tidak melontarkan
kata-kata kotor, kemudian akibat peduli nasib rakyat tergusur di Kampung
Pulo, Pasar Ikan, Luar Batang, Bukit Duri, disusul akibat memohon informasi
tentang siapa pemrakarsa Parade Papan Bunga untuk menerima anugerah MURI,
saya babak belur dihajar badai hujatan.
Hujatan itu antara lain "otak kelas dua, rasis, provokator,
tua bangka bau tanah cari popularitas, botak, jelek, pendek, bogel, kontet,
kampret, gak kualitas banyak gaya, Cina tidak pilih Cina, 'ciong' (tidak
sejalan) sama ahok, 'hater' (pembenci) ahok, tukang ngeles".
Menyadari bahwa saya adalah manusia biasa penuh keterbatasan dan
kekurangan, maka segenap hujatan saya terima sebagai peringatan bagi diri
saya untuk senantiasa mawas diri. Oleh karena itu, saya mencoba memahami
makna hujatan "otak kelas dua" sebagai bukan hujatan namun pujian bahwa
ternyata saya memiliki otak meski cuma kelas dua.
Mengenai hujatan "botak, jelek, pendek, bogel, kontet"
sah-sah saja, akibat kepala saya memang botak, penampilan saya jika dibanding
dengan Brad Pitt memang lebih jelek dan tubuh saya memang pendek, bogel,
kontet mirip Napoleon Bonaparte, Danny De Vito, Peter Dinklage atau Ateng.
Hujatan rasis juga tepat sebab saya memang rasis dalam makna
positif yaitu saya senantiasa menghargai dan menghormati sesama manusia beda
ras dengan diri saya karena dari sesama manusia yang beda ras dengan diri
saya pribadi, saya dapat belajar memperluas wawasan pandang terhadap
beranekaragam peradaban dan kebudayaan umat manusia di planet bumi ini.
Perlu diluruskan
Mengenai "Cina tidak pilih Cina" perlu sedikit
diluruskan yaitu sebenarnya saya tidak pernah merasa diri saya Cina dan
apabila memilih pasti saya bukan melihat latar belakang ras Cina atau bukan
Cina, tetapi apakah menindas rakyat atau tidak menindas rakyat.
Hujatan "hater ahok" dan "ciong sama ahok"
juga perlu dikoreksi. Saya tidak benci Ahok, namun saya memang tidak setuju
pada kebijakan Ahok menggusur rakyat secara melanggar hukum, hak asasi
manusia (HAM), agenda pembangunan berkelanjutan, kontrak politik Jokowi
dengan rakyat miskin, serta Pancasila.
Mengenai saya "ciong sama Ahok" perlu diperjelas dalam
hal apa. Jika dalam hal antikorupsi jelas saya tidak "ciong" sebab
sepaham dengan Ahok, namun dalam hal bicara kotor dan kebijakan menggusur
rakyat, memang saya tidak sepaham dengan Ahok.
Hujatan "kampret" saya anggap pujian sebab saya
pengagum kampret yang mampu terbang melayang di malam hari gelap gulita tanpa
nabrak-nabrak di samping kampret ternyata memegang peran ekologis sangat
penting.
Hujatan "provokator" adalah sanjungan namun sebenarnya
terlalu tinggi bagi saya. Sebab para pejuang kemerdekaan Indonesia yang
sangat saya hormati adalah para provokator gerakan perlawanan terhadap
penjajah.
Hujatan "tua bangka bau tanah cari popularitas"
sebagian benar sebagian keliru. Berdasar usia yaitu 68 tahun, saya memang
layak disebut sebagai "tua bangka bau tanah".
Namun hujatan "cari popularitas" bikin saya bingung
menanggapinya. Jika saya membenarkan berarti saya ingkar kenyataan tidak
pernah merasa "cari popularitas" sebab popularitas yang mencari
saya, maka pasti saya malah akan dihujat "sombong".
Ketimbang dihujat "sombong", maka saya mengalah saja
dengan membenarkan bahwa saya memang "tua bangka bau tanah cari
popularitas" sekaligus demi memuaskan para penghujat saya.
Mohon dimaafkan bahwa hujatan "tukang ngeles" terpaksa
saya anggap sebagai pujian sebab kemampuan "ngeles" merupakan
kemampuan paling penting dalam semua ilmu bela diri termasuk tinju.
Hujatan "gak kualitas banyak gaya" 50 persen benar
sebab secara lahir-batin memang saya "gak kualitas" namun tidak
benar bahwa saya "banyak gaya" sebab saya merasa tidak memiliki
hal-hal yang layak menjadi alasan bagi saya untuk "banyak gaya".
Bersyukur
Saya bersyukur sebab akibat dihajar badai hujatan, maka saya
lebih bersemangat dalam mengejawantahkan makna luhur terkandung di dalam
ajaran Jesus Kristus "Jangan Menghakimi" di mana di dalamnya juga
hadir ajaran "Jangan Menghujat".
Saya juga makin mantap dalam berupaya menghayati makna luhur
terkandung di dalam hadits Jihad Al-Nafs: Al Sukuni meriwayatkan dari Abu
Abdillah Al Shadiq bahwa ketika Nabi Muhammad SAW menyambut pasukan sariyyah
kembali setelah memenangkan peperangan, Beliau bersabda: "Selamat datang
wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil tetapi masih harus
melaksanakan jihad akbar!".
Ketika orang-orang bertanya tentang makna sabda itu, Rasul SAW
menjawab: "Jihad kecil adalah perjuangan menaklukkan musuh. Jihad akbar
adalah jihad Al-Nafs, perjuangan menaklukkan diri sendiri!".
Mematuhi ajaran Jesus serta terinspirasi oleh hadits Jihad
Al-Nafs, maka ketimbang bersusah payah menaklukkan orang lain untuk tidak
menghujat, lebih bijak saya berupaya menaklukkan diri saya sendiri agar
jangan sampai jemawa menghujat orang lain.
Pada hakikatnya, memang kemelut hajaran badai hujatan membuat saya
bersyukur bahwa saya bukan manusia yang menghujat sesama manusia namun
manusia yang dihujat oleh sesama manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar