Kematian
Kewarganegaraan Kita
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Mei 2017
MAU tak mau
airmata yang kerap gerimis di lubuk hati kini jatuh tergulir di pipi setelah
mendengar vonis yang dibacakan dewan hakim dalam sidang peradilan Ahok (Basuki
Tjahaja Purnama), Gubernur DKI Jakarta. Bukan, bukan karena saya pendukung
Ahok. Sebagai pegawai kebudayaan saya sering kecewa bahkan marah pada
gubernur itu juga para stafnya. Saya juga tidak pernah mendukungnya saat
kampanye pilkada, apalagi memilihnya. Juga bukan satu bentuk simpati pada
kaum ibu yang menangis bersama di depan ruang pengadilan. Apalagi, tentu saja
bukan, karena saya seperti membela kelompok yang (diduga ada di antara kita)
bekerja untuk menghujat, menghina agama Islam apalagi menzalimi para
pemeluknya.
Saya juga
tidak mencampuri apalagi memengaruhi hakim atau proses peradilan. Namun,
sebagai bagian dari rakyat awam, saya punya hak menilai kerja peradilan,
hakim, dan aparatusnya, yang menurut saya kian meninggalkan kearifan, apalagi
kebenaran dan kebaikan (sosial) yang menjadi cita-cita mula dari adanya hukum
dan sistem peradilan sebagai alat kerja utamanya. Untuk banyak, banyak
sekali, kasus. Jujur saya harus mengatakan, bukan saja pikiran dan hati saya
limbung, tetapi saya tidak lagi memiliki kepercayaan penuh pada produk-produk
yang dihasilkan oleh hukum, baik dalam perangkat lunak maupun kerasnya,
sebagai modus kita bernegara menciptakan order, rasa aman, nyaman, dan
sejahtera masyarakatnya.
Ini juga saya
lihat dan rasakan dengan saksama, tidak berkali atau puluhan tetapi ribuan
kali, ketika menyaksikan bagaimana hukum atau norma yang ada di lalu lintas
jalan raya begitu mudah dilecehkan, dilanggar, bahkan seperti dihina oleh
sebagian dari masyarakat (kita). Justru di depan mata telanjang aparatus
penegak hukumnya, di depan kantor polisi yang membentanglebarkan spanduk
'Siap Melayani Masyarakat'. Ironi? Bukan. Ini tragedi. Karena bukan saja
semua hal itu menggambarkan bagaimana hukum, yang konon supreme alias
tertinggi kedudukannya di hadapan seluruh perangkat kenegaraan bahkan
kebangsaan itu, ternyata hampir sama dengan ampas sirih bahkan air ludah yang
dengan enteng--mungkin juga dengan rasa jijik--kita empaskan ke tanah, ke
kumpulan kotoran (alam, hidup, dan kebudayaan). Semua hal itu memproduksi
makna pada signifikansi finalnya sebagai bentuk pembangkangan terhadap
negara, institusi tertinggi yang seluruh bangsa secara imperatif harus
menghormati atau menjunjung tinggi.
Dengan kata
lain, esensi atau dalam bentuk praksisnya sikap dan tindak kewarganegaraan
kita telah absen, lenyap, atau bahkan lebih menyedihkan, telah kita bunuh
bersama. Dalam diri kita, secara personal, komunal, bahkan nasional. Negara,
sebagai inti dari kewarganegaraan sudah tidak ada atau mati dalam diri dan hidup
kita sepanjang hari.
Tak paham negara
Bagaimana
(kewarga)negara(an) itu ada dalam (jati)diri lenyap atau wafat, terjadi
ketika bukan hanya saat kita berkendara melawan arus jalan yang semestinya.
Membuang sampah sembarang saja, menciptakan limbah industri tanpa peduli
eksesnya, mencoret dan merusak properti publik, atau menyebarluaskan berita
palsu dan bohong secara masif.
Atau,
menciptakan keriuhan destruktif dengan ujaran kebencian, menghancurkan
kohesi, kebersamaan dan kegotongroyongan sebagai nilai utama bangsa kita
dengan mengeksploatasi perbedaan (SARA) yang secara alamiah menjadi identitas
kita ribuan tahun. Dan banyak lainnya. Bagaimana 'negara' itu hidup dan
bekerja dalam diri kita bila satu per satu sila dalam ideologi negara yang
kita beri 'harga mati' itu justru kita khianati.
Pasal demi
pasal konstitusi yang bahkan kita anggap suci itu kita injak-injak? Apa yang
diperbuat para elite, penegak hukum, hingga kaum legislatif yang demi
kepentingan personal atau sektarian memperkosa negara dengan cara
memanipulasi dan mengorupsi fasilitas atau dana yang telah diamanahkan rakyat
padanya? Apa ada 'negara' dalam pikiran, sanubari, atau batin spiritual
mereka? Tidak. Tidak ada. Tak lain semua itu disebabkan oleh ketidakpahaman
kita tentang apa itu 'negara' dan apa makna, signifikansi, atau fungsi dari
kewarganegaraan dalam diri kita. Seakan sia-sia apa yang diperjuangkan,
diwariskan, atau diajarkan para pendahulu, pendiri negara ini. Ditambah lagi,
kapasitas serta ketekunan kita untuk belajar tentang bagaimana negara menjadi
bagian dari diri kita, misalnya semakin susut bahkan mungkin telah lenyap.
Kita berilmu,
sarjana atau agamawan komplet boleh jadi, tapi kita tidak membaca, tidak
belajar, apalagi paham (secara komprehensif). Apa yang kita terima berbelas
atau berpuluh tahun dalam dunia pendidikan, tinggal sebagai hafalan yang
menempel di kognisi kita dengan selotip (semacam lipstik atau make-up
murahan) yang dengan mudah luntur atau tanggal begitu saja. Kapan saja...
ketika syahwat badaniah (hedonisme fisikal) kita memanggil-manggil minta
dipuaskan.
Literasi yang keliru
Inilah problem
kita sebagai sebuah bangsa. Bahkan bila tingkat literasi kita yang terendah
di dunia itu pun teratasi, kita masih tidak mampu memupus kemiskinan
komprehensi yang berdampak pada absennya kewarganegaraan kita di atas.
Kenyataan itu disebabkan oleh cara membaca, cara kita (mendapatkan) ilmu pada
tingkat berikutnya, selama ini berlangsung dalam cara atau proses yang hampir
sepenuhnya bias, jika tidak bisa dibilang keliru (fake). Pendidikan, dengan sistem, silabus, hingga ukuran-ukuran
hasilnya yang notabene sontekan dari apa yang ada di belahan dunia lain
(Barat utamanya), ialah penanggung jawab utama.
Bukan saja
perilaku menyontek dari para elite atau penanggung jawab pendidikan kita yang
terbiasa, bertradisi, bahkan merasa bangga/ bergengsi dengan menyontek,
sehingga tidak mengherankan itu menjadi acuan bahkan contoh keren dari para
pendidik maupun anak didik. Namun, yang lebih tragis ia menciptakan semacam
kepalsuan atau ketidaksejatian dalam diri orang yang berilmu, orang yang
terdidik dalam sistem itu. Hal itu disebabkan terutama oleh ketidakmampuan
(sejarah) pendidikan kita menempatkan akal atau rasio (logos) sebagai faktor
dominan, faktor desisif, bahkan represif dalam menentukan perilaku hidup
kita, hingga di kenyataan sehari-hari.
Sebagaimana
hal itu terjadi dalam proses internalisasinya di belahan Barat sana, belahan
yang kita sontek itu, sehingga apa pun ilmu hingga kebenaran akal (rasional)
kita dapatkan, kita dengan mudah bahkan santai... mengingkari atau
mengkhianatinya. Lalu kita pun lebih menghamba pada kebutuhan rasa (emosi)
atau tubuh (badani) yang tentu saja terasa lebih nyaman, dan nikmaatt...
hedon! Kegagalan dunia pendidikan dalam menciptakan jembatan
(bridging/connection) dunia pikiran/akal yang abstrak dengan dunia tindakan
yang praktis dan konkret itu, memunculkan akibat yang juga tragis:
pengetahuan (ilmu hingga sains) alias komprehensi yang kita miliki tentang
alam dan kehidupan pun menjadi bias dan keliru.
Teori,
paradigma, hingga peralatan epistemologis sampai bahasa sebagai kekuatan
berkomunikasi banyak kita tangkap, tidak hanya di tingkat permukaan saja,
tapi juga praktikkan secara keliru. Umumnya, jika tidak eklektik ya sinkretik
alias utak-atik gatuk. Mau itu benar atau tidak, valid atau tidak, asal sudah
dibumbui oleh teori, bahkan sekadar kutipan orang bule, kita anggap saja
kesimpulan, analisis, sampai pernyataan itu ilmiah, absah, bahkan benar.
Inilah penjelasan yang dapat kita bersama melihat hasil-hasilnya di tengah
hidup kita: pernyataan palsu, pidato keliru dan dusta, hingga kaum ilmuwan
yang besar dan bergengsi padahal keliru (fake).
Kita benihkan lagi
Maka, bila
kesadaran kewarganegaraan sebagai jati diri kita berbangsa, jika dulu pernah
ada dan hidup di antara bangsa kita yang sedang berjuang merebut dan
mempertahankan kemerdekaan, hari ini sesungguhnya telah pupus. Terbunuh cepat
atau pelan-tapi-pasti oleh kita sendiri yang lebih memilih, atau gandrung dan
bahkan merasa tersanjung oleh ukuran-ukuran global (universal?) yang menjadi
penumpang (sembunyi atau terang-terangan) dalam pergaulan internasional baik
lewat medium tradisonal maupun modern (virtual, ie media sosaial, dll). Ajaib
dan 'syukur'-nya, pihak pemerintah, elite dan obligor utama konstitusi kita,
bukan saja tidak sadar, melainkan juga tidak mafhum, bahkan seperti melakukan
pembiaran.
Di banyak
kasus mereka malah seperti menjadi komprador pelenyapan 'negara' itu. Tidak
saja dengan kebijakan dan regulasi yang mendukung arus kultur global itu
(semacam pernyataan seorang menteri yang mengatakan, 'Kemajuan teknologi
(medsos) tidak terelakkan)'. Memojokkan bahkan menindas kultur sendiri dengan
tak adanya program yang kuat dan berdana cukup, sampai pada tingkatan ketika
mereka berperilaku jahil, jahat, atau khianat terhadap negara seperti
tercontoh di bagian atas tulisan ini.
Apa yang bisa
dilakukan di saat seperti ini, di saat para penanggung jawab utama negara
justru menciptakan tragedi di atas, tidak lain setiap orang harus menumbuhkan
rasa percaya pada diri mereka sendiri. Tidak lain. Negara harus dibela. Akan
tetapi, karena negarawan tiada, dan pelaksana negara lumpuh daya, setiap
insan di republik ini (jika bentuk negara itu masih ingin kita pertahankan
sesuai pesan para pendiri), kita berjuang lagi, belajar lagi, untuk
membenihkan negara dalam akal dan jiwa kita. Karena di situ juga akar
berkembangnya rasa persatuan hingga apa yang kita sebut dengan kebangsaan
atau nasionalisme yang dengan kita selalu dengungkan itu. Kalau pikiran atau
akal (rasio) ternyata sulit menjadi panglima kehidupan kita, karena rasa atau
mentalitas (emosi) kita ternyata lebih kuat bicara dan menentukan, biarkanlah
'negara' kita tandur atau benihkan di dalam jiwa atau perasaan (kita) itu.
Caranya? Mungkin pertama dengan cara menggali (kembali) pengetahuan dan
kebijakan etnik kita masing-masing, yang sudah di-laundry dari kepentingan
sempit golongan (politik, ekonomi, agama, dll).
Dari situ kita
akan menemukan fondasi bahkan argumentasi yang kukuh mengapa kita butuh lain
pihak/orang (tak peduli perbedaan apa pun yang ada padanya). Hati kita akan
mafhum bahwa tanpa pihak/orang lain itu kita tak akan (pernah) ada, bangsa
tak kan pernah tercipta. Dengan jiwa seperti ini, kesatuan hingga negara kita
(telah) bangun bersama. Kemudian kita pun akan mempertanggungjawabkan semua
tindakan praktis atau sehari-hari kita kepada negara yang ada dalam diri
kita. Kita tidak akan menghina, apalagi menyebarkan kebencian terhadap orang
lain (yang mungkin kebetulan tidak kita setujui/suka), karena itu sama saja
dengan melakukan hal yang sama pada negara (dalam diri kita).
Kita tidak
lagi membuang sampah dalam mobil kita ke tengah jalan begitu saja. Melanggar
marka jalan atau tidak santun dalam berlalu lintas, takut pada tekanan atau
menerima imbalan dari pihak yang beperkara dalam peradilan, mengikuti
kelompok atau organisasi yang kita sadar bekerja untuk menciptakan kekacauan
untuk mengambil keuntungan di keruhnya, karena dengan semua itu kita telah
meluluhlantakkan negara yang sudah kita 'sucikan' di sanubari kita. Kita pun
tidak akan mengizinkan diri kita sendiri terlibat dalam penyusunan dan
pelaksanaan regulasi negara (produk hukum) yang nyata-nyata hanya
menguntungkan satu-dua pihak saja (industrialis atau kapitalis).
Tidak
meremehkan apalagi menghina tradisi, adat, hukum dan kebijakan lokal
(primordial) hingga kebudayaan umumnya, dengan antara lain menciptakan stigma
negatif, kebijakan yang tidak pro, atau meluputkannya dari akses atau
fasilitas kenegaraan yang ada. Karena dengannya, Anda akan menjadi pembunuh:
kebudayaan sekaligus eksistensi dari bangsa dan diri Anda sendiri. Bisakah
ini terjadi? Anda, wahai para elite yang telah menikmati secara (sangat)
berlebihan produk nasional kita, wahai para ilmuwan--akademik maupun agama
wahai kaum tengah yang mestinya menjadi penggerak utama, dan juga
saudara-saudaraku sesama rakyat awam--yang direndahkan menjadi sekadar akar
rumput menjadi penentu bangkit kembalinya negara (kita) ini. Atau sebaliknya,
menjadi anggota pasukan assassin yang penuh nafsu membunuh negeri juga diri
kita sendiri. Mana Anda mau? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar