Etika
Humanis dalam Berpolitik
Abdul Munir Mulkhan ; Ketua Senat, Guru Besar UIN Sunan
Kalijaga 2013–2016; Komisioner Komnas HAM RI 2007–2012; Wakil Sekjen PP
Muhammadiyah 2000–2005
|
JAWA
POS, 29
April 2017
BAU SARA dalam
pilkada DKI Jakarta sulit dibantah meski sementara para pihak menolak
mencium. Problem tersisa ialah pemulihan harmoni yang luka bagi warga DKI
pasca pemilihan gubernur untuk masa lima tahun mendatang.
Pasangan Anies
Rasyid Baswedan dan Sandiaga Uno menang dengan 57,95 persen, mengalahkan
Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat dengan 42,05 persen suara.
Ribuan karangan bunga untuk Ahok seolah mencerminkan keterkejutan pendukung
yang gagal paham atas kekalahan petahana. Tidak bisa dimungkiri, ada tebaran
spanduk larangan menyalatkan jenazah pendukung petahana. Juga, demo besar
menuntut petahana dihukum atas tuduhan menista Alquran dan ulama.
Saat pilihan
politik disandingkan dengan identitas agama dan etnis, muncul pertanyaan
tentang jalan kesalehan dalam kegiatan politik atau jalan politik bagi
kesalehan. Soalnya, apakah pilihan politik merupakan indikator kesalehan,
sekaligus identitas agama yang dipeluk? Posisi dan fungsi agama yang sakral
dalam praktik politik yang profan sudah menjadi perdebatan serius sejak masa
kemerdekaan.
Para pendiri
NKRI sepakat menetapkan Pancasila sebagai konsensus nasional dalam berbangsa
dan bernegara. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan petunjuk
mengenai fungsi dan posisi agama (baca: kesalehan) dalam kehidupan bernegara.
Bangsa-bangsa
Eropa dan Amerika mengambil jalan pemisahan. Persoalan politik yang profan
diserahkan kepada negara, sedangkan persoalan agama diserahkan kepada gereja.
Sementara itu, jalan Pancasila tidak secara tegas menempatkan persoalan
politik terpisah dari agama, tetapi juga bukan mengintegrasikan keduanya.
Dalam momen-momen tertentu, selalu muncul berulang isu serupa dalam nuansa
berbeda.
Pada masa
lalu, isu seksi tersebut memperoleh kanalisasi ketika akal sehat, prinsip
paling dasar pencarian kebenaran, berhasil menjadi orientasi utama para pihak
dari berbagai aliran politik dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdakaan Indoneisa) 1945. Ki Bagoes Hadikoesoema mengusulkan
agar kalimat ”Berdasar ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” seperti tercantum dalam Piagam Jakarta. Usul kali
ketiga dalam rangkaian sidang BPUPKI tersebut didasari pertimbangan akal
sehat, yaitu keadilan bagi pemeluk agama selain Islam.
Suasana serupa
terlihat dalam pemilihan bentuk negara antara republik atau kerajaan, seperti
bisa dibaca dari risalah sidang BPUPKI 1945. Pada 10 Juli 1945, dari 64
anggota BPUPKI yang hadir, 55 memilih republik, 6 memilih kerajaan, 2 bentuk
lain-lain, dan 1 abstain. Indoensia pun memilih jalan republik.
Perilaku
politik founding fathers tersebut bisa dimaknai sebagai praktik ketuhanan
humanis, wujud harmonisasi integral sila pertama Pancasila dengan sila
lainnya. Itulah basis etik perilaku politik bagi pemeluk agama yang saleh
dalam bernegara dan berbangsa.
Akal sehat,
lapis atas etika politik, menjadi titik penentu penyelesaian berbagai
persoalan kru sial saat founding fathers membahas bentuk negara dan berbagai
persoalan bangsa. Saatnya, akal sehat menjadi penuntun pemulihan harmoni warga
DKI menyambut pasangan gubernur baru, Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Uno.
Akal sehat
menuntun nalar bahwa apa pun agama dan etnisnya, semua orang butuh empati
kemanusiaan. Sunda, Betawi, Hadramaut, China, Bugis, Jawa, Madura, Minang,
Aceh, Papua, Ambon, Dayak, akan terserang rasa lapar jika seharian tidak
tersentuh nasi. Penganut Khonghucu, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Islam,
butuh tidur. Gembira jika calon yang dijagokan menang, sebaliknya bersedih
bila kalah.
Pendukung
partai apa saja, pemeluk agama mana pun, sembarang etnis, tetaplah manusia,
tidak mengubah statusnya sebagai manusia. Adalah bijak jika semua pemeluk
memenuhi doktrin kemanusiaan universal agama-agama: ”Manusia yang baik ialah
yang bisa memberikan manfaat bagi orang lain, sekalipun beda pilihan agama
dan politiknya”.
Ajaran
”manusia yang baik ialah yang bersedia memberikan apa yang paling baik bagi
dirinya kepada orang lain yang lebih membutuhkan” adalah pelita pemulihan
luka harmoni selama pilkada DKI dan lainnya. Bisakah menjadi penganut agama
yang saleh sekaligus warga negara yang baik?
Etika
ketuhanan humanis berbasis ajaran agama-agama bisa menjadi penyembuh luka
harmoni sosial kebangsaan dalam dinamika politik kontemporer. Syaratnya,
ketika syahwat Rahwana tidak lagi menjadi pemandu hasrat kuasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar