Era
Baru Perancis
A Agus Sriyono ; Diplomat;
Pengamat Masalah-masalah Eropa
|
KOMPAS, 10 Mei 2017
Putaran kedua
pemilihan presiden Perancis pada 7 Mei 2017 menghasilkan presiden termuda
dalam sejarah modern Perancis untuk lima tahun ke depan: Emmanuel Macron dari
jalur independen-tengah. Macron, mantan menteri ekonomi berusia 39 tahun,
memperoleh 66,06 persen suara mengalahkan Marine Le Pen, pemimpin Partai
Front Nasional, yang memperoleh 33,94 persen suara. Sebanyak 4,2 juta pemilih
bersikap abstain.
Kemenangan
Macron dinilai bersejarah bukan semata karena ia presiden termuda, tetapi
kemenangannya terjadi di luar tradisi politik Perancis di mana partai-partai
politik arus utama seperti Partai Sosialis (sayap kiri) dan Partai Republika
(sayap kanan) kalah dalam putaran sebelumnya. Di samping itu, kemenangan
Macron atas Le Pen yang berhaluan kanan-ekstrem telah menghindarkan Perancis
dari ekstremisme.
Dengan
kemenangan ini, Macron tampaknya akan membuka era baru bagi Perancis dalam
tiga dimensi. Pertama, identitas nasional Perancis akan diperkokoh. Kedua,
Perancis akan lebih berperan di Uni Eropa (UE). Ketiga, Perancis akan
meningkatkan daya saing di tengah arus globalisasi.
Di sisi lain,
pemerintahan baru akan menghadapi tantangan dalam pemilihan parlemen pada 11
Juni 2017. Hal ini mengingat Macron belum memiliki dukungan politik yang kuat
karena partai En Marche (”Maju Terus”) baru didirikan Macron setahun lalu.
Sementara itu, partai-partai arus utama sudah cukup mengakar dalam
perpolitikan Perancis. Meskipun dalam sistem pemerintahan Perancis presiden
sebagai kepala negara memiliki kekuasaan besar, efektivitas pemerintahan juga
dipengaruhi komposisi anggota parlemen.
Perlu dicatat,
walaupun ia mengalami kekalahan, jumlah pendukung Le Pen bertambah dari 7
juta pada putaran pertama menjadi 11 juta pada putaran kedua. Ini berarti
kecenderungan tumbuhnya paham ekstrem-kanan di Perancis terus berlangsung
seiring berkembangnya partai-partai ekstrem kanan di Austria dan Belanda.
Dalam pemilihan presiden Austria 4 Desember 2016, Norbert Hofer calon dari
Partai Kebebasan memperoleh 46,7 persen suara; sementara di Belanda,
perolehan kursi Partai Kebebasan meningkat dari 15 (2012) menjadi 20 (2017)
dalam pemilihan parlemen 15 Maret 2017.
Identitas nasional
Identitas
nasional bangsa Perancis sejauh ini tecermin dari semboyan ”Liberte, egalite,
fraternite” (kebebasan, persamaan, persaudaraan). Ketiga nilai yang tercantum
dalam konstitusi ini menjadi pandangan hidup di tengah komunitas Perancis
yang beragam, baik dari segi etnis, agama, maupun tingkat sosial-ekonomi.
Dari sekitar 67 juta penduduk Perancis, jumlah etnis minoritas mencapai 30
persen, sebagian besar berasal dari Afrika Utara dan Asia.
Sementara
komposisi agama: 63 persen Katolik, 4 persen Kristen, 9 persen Islam, dan agama
lain rata-rata di bawah 1 persen (2015).
Sebelumnya,
sempat muncul ketakutan apabila Le Pen terpilih sebagai presiden, ketiga
nilai luhur sebagai identitas nasional akan tergerus, mengalami
reinterpretasi atau bahkan perubahan fundamental. Hal ini disebabkan selama
kampanye Le Pen senantiasa mendengungkan sikap anti-imigran dan anti-Islam.
Namun, dengan kemenangan Macron, Perancis akan lebih terbuka terhadap
kedatangan kaum imigran dari berbagai bangsa dan agama meskipun aspek
keamanan tetap menjadi prioritas.
Dalam pidato
kemenangannya, Macron secara tegas mengajak rakyat Perancis untuk menghormati
demokrasi, pluralisme, dan tak kalah pentingnya: moral politik.
Kemenangan
Macron juga akan mencegah berkembangnya nasionalisme baru yang berbasis
kesamaan etnisitas, rasial, dan keturunan. Nasionalisme demikian bersifat
rasis dan diskriminatif yang jelas ditentang Macron. Gagasan nasionalisme
baru yang diangkat Le Pen selama musim kampanye muncul sebagai antitesis
terhadap membanjirnya kaum imigran dan maraknya serangan terorisme di
Perancis dan Eropa. Di sini gagasan nasionalisme baru jelas bertentangan
dengan nilai-nilai yang diyakini bangsa Perancis. Bagi Macron, nasionalisme
Perancis harus menghargai kebebasan, toleransi, persamaan, dan hak-hak
individu.
Perancis dan UE
Para pemimpin
UE menyambut baik kemenangan Macron mengingat presiden baru Perancis
merupakan pendukung gigih UE. Kemenangan Macron menghapus kekhawatiran
terhadap kemungkinan bubarnya UE pasca Brexit dan membangun optimisme baru
akan menguatnya UE. Bagaimanapun, Perancis merupakan salah satu pendiri
sekaligus pilar UE bersama Inggris dan Jerman. Dalam pidato kemenangannya,
Macron juga menekankan pentingnya UE lebih mendekatkan diri kepada aspirasi
masyarakat Eropa.
Berbeda dengan
Macron, selama kampanye Le Pen menjual gagasan perlunya menegosiasikan
keanggotaan Perancis dalam UE serta berjanji akan menyelenggarakan referendum
jika menang. Le Pen yakin apabila dilakukan referendum, rakyat Perancis akan
memilih keluar dari UE sebagaimana Inggris. Itulah sebabnya Frexit menjadi
momok bagi sebagian besar rakyat Perancis yang menghendaki Le Pen tidak
terpilih sebagai presiden.
Sikap Le Pen
ini bertolak dari asumsi bahwa selama ini kedaulatan Perancis telah dirampas
birokrasi UE di Brussels. Menurut dia, kedaulatan Perancis harus kembali ke
rakyat Perancis dengan cara keluar dari UE.
Dalam hal
keanggotaan Perancis dalam UE, Macron secara tegas memilih Perancis tetap
menjadi bagian dari UE meskipun reformasi UE tetap diperlukan. Baginya, UE telah
terbukti menciptakan stabilitas kawasan dan membuat Perancis lebih kuat.
Menurut dia, kerja sama memerangi terorisme, misalnya, tidak mungkin hanya
dilakukan masing-masing negara.
Perlu upaya
bersama pada tingkat regional melalui, antara lain, kerja sama intelijen.
Dengan tegas Macron menyatakan akan memberantas terorisme sampai ke akarnya.
Apabila Le Pen untuk mencegah teroris memasuki Perancis melalui cara menutup
perbatasan, Macron memilih opsi peningkatan efektivitas aparat keamanannya.
Menurut Le Pen, Perancis dan negara-negara UE akan sulit mencegah masuknya
kaum jihadis jika batas negara tak ditetapkan secara nasional oleh
masing-masing anggota UE.
Globalisasi
Sebagai
seorang yang berpandangan liberal, Macron melihat globalisasi sebagai sebuah
realitas sekaligus kesempatan untuk maju dan berkembang. Perancis harus
memanfaatkan era globalisasi demi kepentingan rakyat. Oleh sebab itu, pasar
tenaga kerja harus bersifat terbuka dan meminimalkan keruwetan birokrasi.
Saat ini, tantangan Macron antara lain mengatasi jumlah pengangguran yang
mencapai 10 persen. Untuk mengurangi pengangguran, Perancis harus kompetitif
di tengah globalisasi dan siap bersaing dalam perdagangan bebas. Oleh karena
itu, reformasi ekonomi menjadi prioritas pemerintahan Macron.
Dari sudut
pandang Le Pen, globalisasi merupakan ancaman bagi rakyat Perancis dan
membahayakan peradaban. Menurut Le Pen, menurunnya perekonomian Perancis saat
ini disebabkan globalisasi ekonomi yang tidak adil. Konsekuensinya,
proteksionisme menjadi pilihan demi menyejahterakan rakyat Perancis. Dari
kacamata Le Pen, membanjirnya imigran merupakan akibat dari globalisasi yang
pada gilirannya mengancam keamanan Perancis. Untuk itu, Le Pen berargumen
pintu bagi kaum imigran harus ditutup. Di pihak lain, Macron melihat
mekanisme yang ada dalam UE harus dioptimalkan dalam rangka mengatasi problem
imigran gelap. Caranya, antara lain, meningkatkan jumlah penjaga perbatasan
secara terkoordinasi.
Setelah
mencermati proyeksi tiga dimensi pada era baru pemerintahan Macron, secara
umum dapat diantisipasi bahwa selama lima tahun mendatang Pemerintah Perancis
akan semakin kokoh mempertahankan identitas nasionalnya, meningkatkan
perannya dalam keanggotaan UE, serta tetap ramah terhadap fenomena
globalisasi.
Meskipun demikian,
pemerintahan Macron perlu menyadari bahwa Perancis dan Eropa pada umumnya
belum bebas dari ancaman ekstremisme sayap kanan-ekstrem yang berpotensi
merusak tatanan nilai-nilai yang berpihak pada demokrasi, toleransi, dan
penghormatan terhadap multikulturalisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar