Angket
dan Korupsi DPR
Umbu TW Pariangu ; Dosen FISIP Uncen, Kupang
|
KORAN
JAKARTA, 27 April 2017
DPR
berencana mengajukan hak angket terhadap KPK agar membuka rekaman pemeriksaan
mantan Anggota DPR, Miryam, dalam kasus e-KTP. Miryam mengaku diancam lima
anggota Komisi III DPR agar tidak mengakui pembagian uang korupsi di DPR.
KPK
menolak membuka rekaman tersebut karena masih dipakai sebagai bukti
penyidikan untuk mengungkap skandal tersebut. Pengajuan hak angket merupakan
bagian dari fungsi kontrol DPR untuk penyelidikan pelaksanaan suatu
undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,
strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan
definisi, penggunaan hak angket ke sikap KPK sebagai distorsi dan nirfungsi.
Apa kaitannya hak angket tersebut dengan langkah hukum KPK? Keputusan KPK
tidak membuka rekaman persidangan untuk kepentingan penyidikan. KPK
mengarahkan dan mengawal seluruh bukti terkait kasus korupsi e-KTP sehingga
upaya mengungkap para pemain utama di balik skandal e-KTP bisa tuntas.
Hari-hari
ini, DPR memang agak “ketagihan” menggunakan peluru angketnya. Selain kasus
rekaman itu, tahun ini minimal tiga peristiwa memantik pengusulan hak angket,
di antaranya dugaan penyadapan percakapan telepon antara Ketua Umum Partai
Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Ma’ruf Amin. Dua pekan kemudian, usul hak angket terkait status Basuki
Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Kemudian,
KPU pun akan “dihak angket” juga terkait pemilihan kepala daerah serentak
tahun 2015. KPU dianggap inkonsisten melaksanakan undang-undang pilkada
sejumlah daerah. Hobi mengajukan hak angket dijustifikasi sebagai bagian
fungsi kontrol.
Sayang,
dalam beberapa tahun terakhir, fungsi pengawasan tersebut bukan menunjukkan
peningkatan kualitas. Sebaliknya terlihat seperti mengalami pembengkakan.
Artinya, intensi segelintir DPR mengusulkan hak angket lebih didasari
alasan-alasan pragmatis yang kerap bertolak belakang dengan harapan dan
kepentingan rakyat.
Hak
angket terkait kasus rekaman tadi, misalnya, sungguh sebuah dagelan politik
yang memprihatinkan. Sebab, wakil rakyat lebih memilih menyelamatkan perasaan
dan kepentingan koleganya ketimbang memenangkan batin rakyat yang telah lama
dikecewakan. Hak-haknya untuk menikmati kesejahteraan diamputasi para
koruptor, pencoleng uang negara. Korupsi jelas-jelas terbukti memicu
keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, penindasan, fundamentalis, fanatisme,
dan irasionalitas (Haller and Shore, 2005).
Sama
pula ketika Ketua DPR, Setyo Novanto, dicekal KPK. Beberapa politikus Senayan
langsung mengirim surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo. Surat tersebut
salah alamat dan DPR terganggu dengan terobosan hukum KPK. Apa salahnya DPR
mendukung, sembari tetap mengawal agar pengungkapan kasus berjalan sesuai
dengan hukum.
United
Nation (2006) sudah jauh-jauh hari menegaskan untuk dapat mewujudkan DPR
akuntabel dan bersih dari korupsi. DPR harus selalu menegakkan aturan hukum.
Pengelolaan masalah-masalah publik dengan tepat. Integritas DPR atas nama
rakyat, bukan kepentingannya. Transparansi berbagai produk hukum (Saiful
Deni, 2010: 303).
Ironisnya,
ketika beberapa nama besar di Senayan disebut KPK ikut dalam persekongkolan
proyek e-KTP, DPR langsung naik darah. Mereka menganggap nama baik institusi
sedang didegradasi. Padahal, sejauh ini tuduhan KPK tidak pernah meleset.
Banyak menteri, kepala daerah, ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua DPD, dan
pejabat tinggi lain yang terlibat korupsi dijebloskan KPK ke penjara.
Apologi
Anggota
DPR terlibat korupsi bukan barang baru. Sejak dulu, DPR dianggap bersekutu
dengan praktik korupsi. Mereka punya kewenangan legislasi dan budgeting yang
potensial dijadikan ruang transaksi gelap dengan ujung korupsi anggaran
negara. Sayang, bukan sikap bertobat, mereka malah resisten dengan berbagai
cara, termasuk merevisi UU KPK.
Itu
hanya apologi DPR karena ruang manuver untuk melakukan penyimpangan kekuasaan
kian sempit karena KPK. DPR mestinya paham keberatan dan pengajuan hak angket
terkait skandal korupsi e-KTP sama saja siasat melindungi diri dari bidikan
hukum. Caranya, memproteksi rekan-rekan yang terlibat korupsi agar sistem dan
jaringan korupsi mereka tak tersentuh hukum.
Padahal,
cara tersebut manifestasi telanjang praktik korupsi secara kelembagaan. Model
korupsi ini oleh Syed Husein Alatas (1987) disebut sebagai korupsi suportif.
Artinya, mereka menciptakan suasana untuk melindungi dan mempertahankan diri
agar dapat terus korupsi.
Mekanisme
pertahanan DPR tersebut hanya akan semakin menyuburkan benih-benih praktik
korupsi, juga berpotensi menumpulkan kerja politik DPR. Politik menjadi ajang
perburuan jabatan oleh orang-orang yang haus kuasa. Itu sebabnya, menurut
Kierkegaard (dalam Dreyfus, 2009:75), ruang politik yang disesaki omongan
hanya akan menghasilkan dunia yang lepas dari keprihatinan sehari-hari.
Politisi yang tercerabut dari akar empati sosialnya.
Meminjam
istilah Antonio Gramsci (dalam Joohan Kim & Eun Joo Kim, Theorizing
Dialog Deliberation, 2008), politik sejatinya aktivitas sakral untuk
menciptakan sebuah relasi konstruktif antara filsafat dan kehidupan
sehari-hari, antara teori dan kegiatan diri yang demokratik. Artinya, para
politisi di Senayan mestinya menempatkan diri diri sebagai wakil rakyat untuk
memperjuangkan kepentingan masyarakat. Bukan sebaliknya menjadikan rakyat
sebagai kuda troya dalam pemilu untuk kepentingan politiknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar