Siapakah
Guru Indonesia?
Satia Prihatin Zein ; Kepala Divisi Kurikulum, Yayasan Sukma,
Jakarta; Program Doctor in Education
and Society, University of Tampere, Awardee LPDP PK-82
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Maret 2017
PERTANYAAN itu mengusik benak saya ketika membaca banyak
sekali berita dari Tanah Air mengenai guru. Yang pertama ialah berita
mengenai hasil survei yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat
(PPIM) Universitas Islam Nasional Syarief Hidayatullah mengenai persepsi guru
pendidikan agama Islam (PAI).
Dalam survei toleransi dan islamisme itu, hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar guru PAI merasa bahwa
Pancasila adalah dasar negara yang sesuai untuk Indonesia, mereka memiliki
aspirasi yang kuat dalam penerapan syariat Islam (Media Indonesia, 16
Desember 2016).
Berita kedua ialah yang terbaru mengenai komentar Menteri
Keuangan Sri Mulyani dalam menanggapi hasil penelitan oleh Oxfam di Indonesia
mengenai ketimpangan ekonomi di Indonesia (Detik, Finance, Februari 23,
2017).
Sri Mulyani melihat ketimpangan tersebut sebagai bentuk
tidak efektifnya RAPBN dan anggaran pendidikan sebagai salalu satu sektor
yang dianggap mampu memiminalisasi ketimpangan tersebut.
Anggaran pendidikan meningkat tajam sejak 2006, dari Rp175
triliun menjadi Rp400 triliun.
Dalam anggaran tersebut, terdapat Rp25 triliun anggaran
tunjangan guru yang juga meningkat sejak 2006.
Namun, hal itu menyisakan pertanyaan besar mengenai
hubungan peningkatan tunjangan tersebut dengan kualitas pengajaran para guru
bahkan kualitas pendidikan itu sendiri.
Identitas guru
Tulisan ini tidak berpretensi dapat memberikan jawaban
yang sederhana dan hitam-putih akan teka-teki di atas.
Namun, saya berharap dapat mengajak kita agar tidak
membatasi diskusi kualitas guru hanya menggunakan kacamata ekonomi dan
profesionalisme semu.
Karena profesi guru tidak bisa dibatasi sebagai sebuah
profesi, menjadi guru adalah sebuah identitas.
Guru yang mengajar di depan kelas bukanlah orang yang
bermain peran menjadi guru sehingga ketika bel pulang berbunyi mereka
berhenti jadi guru.
Guru ialah sebuah profesi yang juga identitas diri karena
merupakan ekspresi kelimuan, nilai dan karakter serta semangat pengabdian.
Keseluruhan pribadi guru yang beragam ikut mewarnai proses
belajar dan mengajar.
Menurut Loughran (2006), norma dan nilai yang dianut guru
akan muncul dalam pembelajaran dan memengaruhi bagaimana siswa akan
mengembangkan nilai dalam proses pembentukan identitas dan perkembangan
pribadinya.
Ketika diskusi peningkatan kualitas guru tidak menyentuh
pembentukan identitas calon guru sebagai pendidik pada jenjang universitas
serta kebijakan pengelolaan guru sebagai kelompok profesi otonom yang
memiliki otoritas keilmuan tersendiri dalam sekolah maupun pada wilayah
tertentu, ada yang hilang dari pendekatan peningkatan kualitas guru itu
sendiri.
Pendekatan berbasis pengembangan identitas mulai menjadi
pendekatan yang dilakukan sejak penelitian kualitatif mengenai kehidupan guru
marak dilakukan pada era 80-an.
Penelitian yang dilakukan Ivar Goodson mengenai kehidupan
dan kerja guru pada 1985, misalnya, memberikan gambaran akan kehidupan guru
berbasis sejarah kehidupan guru itu sendiri, karier guru digambarkan sebagai
sebuah narasi yang memetakan pengaruh individu, lingkungan sekolah, dan
kebijakan lokal serta nasional terhadap konsepsi guru akan identitas
profesional mereka.
Dengan perspektif ini, konteks sosial, ekonomi, dan
politik ikut menjadi bagian dari narasi tersebut.
Hal itu memberikan sudut pandang baru akan realitas
pengelolaan pendidikan yang kompleks, terutama dalam hal pengelolaan guru.
Penelitian yang dilakukan Bjorg pada 1998 di Indonesia
secara kualitatif mengenai implementasi kurikulum lokal sebagai bagian dari
desentralisasi menggambarkan dualisme identitas guru di Indonesia sebagai
pegawai negeri sipil dan guru.
Identitas sebagai PNS merupakan identitas dominan yang
ditanamkan dan dibentuk kebijakan pada tataran lokal dan nasional sehingga
menjadi bagian utama identitas profesional guru.
Hal ini berdampak kepada bagaimana guru memaknai perubahan
yang sedang dilakukan melalui kurikulum (Bjorg, 2003).
Ditambah dengan adanya kebijakan standardisasi hasil
belajar melalui mekanisme ujian nasional, hal ini berdampak kepada
terciptanya jarak bahkan putusnya hubungan antara tugas guru sehari-hari dan
penilaian hasil pekerjaan mereka yang dilakukan pihak ketiga dalam hal ini
negara.
Marx (1927) menggambarkan fenomena ini sebagai
'keterasingan' dan hal ini jamak ditemui pada buruh yang melakukan pekerjaan
yang sempit dan repetitif serta tidak memberikan ruang bagi mereka untuk
berpartisipasi aktif dalam hasil akhir. Ekspresi dan input individu
ditiadakan dalam pertarungan menuju efisiensi dan efektivitas melalui
standardisasi. Penyempitan identitas tersebut berujung kepada rasa asing,
tidak peduli, dan dalam beberapa kasus ialah depresi.
Mengapa identitas guru menjadi penting dalam pembelajaran?
Karena identitas menjadi lensa yang digunakan guru dalam
membuat keputusan mereka di kelas.
Keputusan guru PAI untuk mengajarkan topik muamalah,
misalnya, tidak hanya bergantung pada pengetahuan guru akan konsep muamalah
itu sendiri, tapi juga akan diwarnai konsepsi identitas guru sebagai seorang
muslim dan kepercayaannya mengenai hubungan antarumat beragama.
Keputusan guru ekonomi untuk mengajarkan sistem
perekonomian akan diwarnai kepercayaannya akan struktur ekonomi yang dianggap
cocok untuk membangun Indonesia.
Bahkan opini sang guru terhadap membayar pajak ataupun
tidak menjadi bagian penting dari penjelasan akan sistem ekonomi tersebut.
Keputusan guru PPKn dalam mengajarkan demokrasi akan
dipengaruhi kepercayaan politiknya dan keyakinannya bahwa demokrasi adalah
jalan politik yang dia anggap sesuai dan bagaimana dia menjalankan hak
politiknya dalam pilkada misalnya.
Ketika seorang guru membawa segenap identitasnya dalam
mengajar, pelajaran menjadi hidup, bermakna, dan nyata bagi para siswa.
Hal inilah yang akan menjadi bagian dari pembentukan
identitas, mendasari kepercayaan dan nilai-nilai siswa.
Namun, identitas inilah yang selama ini diseragamkan dan
distandardisasi menggunakan indikator yang kadang-kadang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan pengajaran karena mungkin indikator tersebut
digunakan untuk menilai kinera PNS, bukan guru.
Dalam hal ini, menurut Hargreaves & Dennis (2008),
standardisasi itu sendiri tidaklah buruk dan perlu jika kita dapat
menghindari jebakan standar untuk fokus kepada pencapaian standar dan lupa
akan realitas lokal.
Seolah-olah kita fokus menaiki tangga yang disandarkan
pada dinding yang salah.
Dalam hal pendidikan, salah satu cara untuk menghindari
hal di atas ialah memberikan kesempatan dan pendampingan kepada komunitas
guru sebagai sebuah komunitas profesional untuk menerjemahkan standar
tersebut ke dalam realitas sang guru, termasuk siswa yang mereka ajar.
Bahkan bagaimana standar dikomunikasikan dan dirumuskan
juga mensyaratkan dialog dan partisipasi dari para guru sehingga standar yang
ada merupakan gabungan dari kebijakan nasional yang mengakomodasi realitas
lokal tanpa mengacu kepada standar ideal secara membabi buta.
Di sinilah identitas guru dengan segenap kemampuan,
keterampilan, nilai dan kepercayaannya berperan cukup besar.
Salah satu ekspresi identitas tersebut digambarkan
Cornett, Yeotis, Terwiliger (1990) sebagai 'practical personal theory (PPT)'.
PPT seorang guru merupakan kepercayaan sistematis (teori)
yang memandu guru dan merupakan gabungan dari pengalaman pribadi sang guru,
termasuk internalisasi dari nilai-nilai yang dianut (personal) serta
pengalaman mengajar sebelumnya.
Ungkapan seperti 'hafalan memang akan sulit bagi anak
lelaki, tetapi mereka bagus sekali dalam berhitung' adalah contoh PPT yang
bisa jadi tidak berdasarkan kepada teori pendidikan tertentu.
Namun, secara tidak sadar itu memengaruhi guru dalam
membuat kegiatan pembelajaran dan penugasan siswa.
Dalam hal ini, peran perguruan tinggi dan fakultas
pendidikan menjadi penting untuk membantu calon guru membentuk (PPT) yang
berbasis kepada teori pendidikan kontemporer dan mempelajari bagaimana
merumuskan personal theory berbasis kepada data dan riset.
Dengan demikian, keterampilan riset di sini menjadi
penting, apalagi jika dilakukan secara kolaboratif.
Komunitas guru di sekolah menjadi menentukan karena ikut
membentuk persepsi guru akan identitas dan tugas mereka dan membantu guru
menggabungkan teori dengan praktik di lapangan.
Kepemimpinan kepala sekolah yang memfasilitasi dan memberi
dukungan menjadi mutlak.
Dalam bentuk sederhana, kebijakan kepala sekolah seperti
memberikan alokasi waktu yang cukup bagi guru untuk berdiskusi misalnya.
Peran dinas pendidikan juga menentukan bagaimana guru pada
wilayah tertentu akan menjadi sebuah komunitas profesional yang memiliki
otonomi untuk menyesuaikan kurilkulum dengan realitas siswa mereka serta
kepercayaan untuk melakukan implementasinya dan evaluasinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar