Politik Kewarganegaraan
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi
Jakarta
|
KOMPAS, 10 April 2017
Nasionalisme adalah energi vital
perjuangan melawan dominasi asing yang menghambat kemandirian politik dan
ekonomi bangsa. Tenun kebangsaan beraneka corak identitas politik berbasis
(keyakinan) agama, suku, ras, kasta, profesi, jender, dan lainnya.
Kaum nasionalis berutang, antara
lain, kepada ide-ide kritis sosialisme untuk mematahkan kekuatan narasi
kapitalisme kaum kolonial. Dengan politik kebangsaan, Indonesia meraih
kemerdekaan dan tegak sampai sekarang. Nasionalisme kehilangan karakter
inklusifnya ketika didefinisikan secara eksklusif di luar identitas
kewarganegaraan.
Hitler membangun nasionalisme
Jerman (nazisme) di atas basis ras Arya. Negara memperlakukan kaum keturunan
Yahudi, yang notabene warga negara turun-temurun, seperti warga yang
kehilangan hak-hak konstitusionalnya. Hal serupa terjadi terhadap kelompok
etnis Rohingya di Myanmar.
Diskriminasi adalah memperlakukan
warga berdasarkan identitas tunggal yang tak ada kaitannya dengan
kewarganegaraan. Warga didorong ke tepi kehidupan berbangsa. Diskriminasi
horizontal di antara sesama warga bangsa diperkuat oleh diskriminasi vertikal
dengan negara gagal mengoreksi penyelewengan berbangsa itu.
Menyadari anakronisme pencantuman
kata "pribumi" dalam UUD 1945 untuk masa kini, dihentikanlah
diskriminasi konstitusional yang berlangsung sejak Indonesia merdeka.
Amandemen konstitusi mengafirmasi kebangsaan Indonesia yang multietnis dan
multikultural.
Paradoks
nasionalisme
Sejarah perjuangan Indonesia tak
bisa dipisahkan dari semangat keagamaan. Sebagai bagian dari jati diri
mayoritas bangsa, agama tidak dalam posisi diametral dengan kebangsaan. Jalan
Indonesia untuk menjadi modern bukan sekularisme yang mengisolasi agama di
ruang privat, juga bukan mencurigai agama sebagai penghambat modernitas.
Kepublikan agama dirayakan dan diamalkan.
Nasionalisme religius merupakan
jalan tengah untuk Indonesia yang bukan negara agama, juga bukan negara
sekuler. Namun, nilai-nilai universal agama tidak menghilangkan
partikularisme agama dalam praktik. Agama membentuk demarkasi sosial pemisah
antara yang beragama dan yang tak beragama, yang religius dan yang sekuler,
kelompok umat yang satu dan kelompok umat yang lain.
Ada paradoks terselubung dengan
nasionalisme religius ketika agama secara eksklusif menentukan corak
kebangsaan. Fakta dan kemungkinan nasionalisme sekuler dinafikan. Corak
inklusif kebangsaan diingkari. Sebaliknya, superioritas nasionalisme umat di
atas nasionalisme sekuler atau yang kurang religius atau yang dari afiliasi
religius minoritas.
Padahal, rahim Ibu Pertiwi telah
melahirkan seorang Tan Malaka yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
seratus persen tanpa kompromi. Tak ada korelasi langsung antara nasionalisme
dan agama. Nasionalisme tumbuh subur di sanubari anak-anak bangsa yang merasa
senasib dalam sejarah ketertindasan dan sejarah perjuangan bersama.
Paradoks nasionalisme religius
coba diselesaikan oleh rezim Orde Lama dengan proyek ideologis Nasakom
(Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Proyek ambisius itu gagal. Rezim Orde
Baru tak memberi tempat bagi komunisme. Penguatan nasionalisme dilakukan
dengan memunculkan identitas tunggal tandingan: komunisme (terkait
nasionalisme religius) atau pribumi (terkait nasionalisme ekonomi).
Agama dalam kontrol negara untuk
menyukseskan pembangunan.
Orde Reformasi membuka babak baru
nasionalisme religius dengan kemungkinan agama tanpa Pancasila sebagai
ideologi organisasi politik. Dengan begitu, agama yang dalam praktiknya
menyangkut satu kelompok masyarakat, ketika menjadi ideologis, berpotensi
merusak tenun kebangsaan. Fundamentalisme agama menyubordinasi Pancasila dan
negara. Hukum agama, kalau perlu, menyubordinasi hukum negara dan ketertiban
umum.
Dalam paradigma keumatan yang
melampaui kewarganegaraan, warga yang baik tidak terutama dinilai dari
ketaatan warga kepada hukum, membayar pajak, bersih dari korupsi, mengabdi
kepada masyarakat, mengharumkan nama bangsa dengan prestasi ilmiah atau
olahraga. Baik buruknya warga dinilai dari keterlibatannya dengan agama.
Agama pun terlalu jauh memasuki ruang publik. Eksesnya adalah penguatan
intoleransi. Pendiskreditan hak-hak sipil dianggap wajar bagi yang tak memenuhi
kriteria warga yang baik itu.
Imperatif
kewarganegaraan
Faktanya, kehidupan sehari-hari
warga dijalani dalam kemajemukan identitas tanpa perlu membenturkannya satu
sama lain. Aktivasi identitas tertentu (deaktivasi identitas lain untuk
sementara) sesuai dengan tuntutan aktivitas keseharian. Identitas tunggal
yang berlaku untuk segala situasi tidak hanya ilusi, tetapi juga mereduksi
kemajemukan identitas warga negara (Sen 2006).
Betapapun pentingnya, agama hanya
salah satu identitas warga, itu pun bagi yang meyakininya. Banyak urusan dan
persoalan hidup di dunia secara teknis ditangani negara. Titik temu agama dan
negara bukan pada tataran teknis, melainkan pada tataran nilai-nilai yang
menguatkan negara-bangsa dalam kebinekaannya. Pancasila menjadi ideologi
negara yang mengatasi kebinekaan warga.
Politik identitas (politics of
identity, identity politics) harus dibedakan dari identitas politik
(political identity) yang berbasis afiliasi atau pilihan politik. Politik
identitas adalah gerakan politik yang relatif baru berkembang pada paruh
kedua abad ke-20 di lingkungan kaum minoritas tertindas yang mengalami
diskriminasi. Dalam perkembangannya, politik identitas juga dipakai untuk
gerakan politik berbasis identitas tunggal meski tanpa prakondisi ketertindasan
kaum minoritas.
Residu politik identitas tunggal
(pribumi, religius) masih kuat. Pilihan politik warga semasa pemilu dikaitkan
dengan identitas tunggal. Nasionalisme dimaknai monolit dan antikebinekaan.
Nasionalisme tidak memiliki daya korektif dari dirinya. Untuk itu, politik
kewarganegaraan hadir memberi tempat bagi berbagai corak nasionalisme warga.
Kewarganegaraan tidak hanya
identitas kependudukan atau sebatas kurikulum pendidikan. Warga maupun negara
berkepentingan dengan politik kewarganegaraan. Secara horizontal, semua warga
terhubung dalam interaksi sosial di ruang publik yang demokratis. Rasa
tanggung jawab sebagai warga negara melampaui rasa tanggung jawab dari
afiliasi primordial. Kesadaran sebagai warga negara memayungi kesadaran sebagai
umat. Keumatan tidak dalam posisi bersaing dengan kebangsaan.
Secara vertikal, status
kewarganegaraan menyatukan semua warga berhadapan dengan pemerintah yang
wajib menjamin hak-hak warga tanpa diskriminasi. Sistem demokrasi secara
normatif tidak memberikan toleransi bagi diskriminasi dalam bentuk apa pun
selama warga tak melawan hukum. Negara demokrasi tidak boleh menjadi alat
yang mengesahkan diskriminasi. Penguasa di tingkat nasional dan daerah harus
menjamin kesamaan warga negara di depan hukum, tidak tebang pilih dalam
penegakan hukum.
Tingkat demokratis suatu bangsa
tidak hanya diukur dari tingginya partisipasi pemilih dalam pemilu, tetapi
juga dari politik kewarganegaraan dalam praktik. Kewarganegaraan terberi
sebagai identitas politik, tetapi politik kewarganegaraan harus direkayasa
secara sosial melalui instrumen kultural dan hukum positif. Hanya dengan cara
itu, terbangun nasionalisme dengan karakter yang melampaui primordialisme
(nation and character building). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar