Madu
dan Racun Tekfin
Paul Sutaryono ; Pengamat Perbankan; Mantan Assistant Vice President BNI
|
KOMPAS, 11 April 2017
Kini muncul aneka pembiayaan keuangan berbasis teknologi
(financial technology) atau teknologi finansial (tekfin) sebagai buah
disrupsi inovasi (disruptive innovation). Disrupsi inovasi merupakan inovasi
yang bisa mengganggu industri konvensional seperti industri perbankan selama
ini. Bagaimana madu (manfaat) dan racun (potensi risiko) tekfin? Sudah
siapkah industri tekfin untuk menepis racun ke depan?
Dalam waktu dua tahun, tekfin sudah berhasil mengelola
dana dari 12,05 miliar dollar AS (setara Rp 161 triliun dengan kurs Rp 13.375
per 1 dollar AS) pada 2015 menjadi 18,64 miliar dollar AS (Rp 249 triliun)
tahun ini dengan berbagai layanan seperti pembayaran, pendanaan, dan pinjaman
antarwarga. Menurut proyeksi, tekfin di Indonesia akan mencapai 22,70 miliar
dollar AS (Rp 303 triliun) pada 2018, 27,24 miliar dollar AS (Rp 364 triliun)
pada 2019, 31,98 miliar dollar AS (Rp 427 triliun) pada 2020, dan 36,61
miliar dollar AS (Rp 489 triliun) pada 2021 (Kompas, 20/2/2017).
Sungguh, hal itu merupakan potensi pembiayaan yang cukup
besar untuk bisnis rintisan (start up business). Coba bandingkan dengan
kredit perbankan yang mencapai Rp 2.904 triliun pada 2015 per Desember 2015,
naik 7,58 persen menjadi Rp 4.200 triliun per Desember 2016.
Bisnis tekfin menawarkan model pinjaman, antara lain, peer to peer lending dan crowdfunding. Peer to peer lending
adalah layanan keuangan digital untuk mempertemukan pihak yang membutuhkan
pinjaman dan pihak yang memberikan pinjaman. Adapun crowdfunding adalah
pembiayaan melalui mekanisme gotong royong atau patungan modal dana untuk
investasi.
Model pinjaman yang tanpa memerlukan jaminan (agunan) itu
sungguh merupakan potensi tinggi bagi profil (calon) debitor katakanlah
pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang sebagian besar belum
dapat mengakses industri perbankan (unbankable). Inilah madu utama tekfin.
Padahal, data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah (UKM) menunjukkan bahwa terdapat 57,89 juta unit UMKM pada 2013 yang
terdiri dari 57,19 juta unit usaha mikro, 654,22 ribu unit usaha kecil, dan
52,11 juta unit usaha menengah. Usaha mikro merajai dalam memberikan kontribusi
terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 60,34 persen yang disusul
usaha kecil 36,90 persen dan usaha menengah 13,72 persen.
Bukan hanya itu. UMKM mampu menyerap 100 juta tenaga
kerja, tepatnya 114,14 juta orang, yang meliputi usaha mikro 104,62 juta
orang, usaha kecil 5,57 juta orang, dan usaha menengah 3,95 juta orang.
Selama ini, segmen UMKM telah membuktikan tahan banting terhadap krisis
ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997/1998. Salah satu faktor utamanya
adalah lantaran segmen itu tidak memiliki keterpaparan dalam valuta asing
(valas).
Aneka racun dan penawarnya
Untuk menepis potensi risiko, Bank Indonesia (BI) sudah
menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/40/BI/2016 tanggal 8
November 2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Untuk
itu, BI sudah membentuk BI Fintech Office dan Regulatory Sandbox. BI Fintech
Office merupakan wadah untuk proses mendapatkan data, mitigasi risiko, dan
evaluasi terhadap model bisnis serta layanan keuangan berbasis teknologi.
Regulatory Sandbox adalah laboratorium atau lingkungan terbatas yang
digunakan pelaku bisnis untuk menguji produk dan model bisnis inovatif.
Demikian pula Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah
meluncurkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016
tanggal 28 Desember 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi. Meskipun BI dan OJK sudah mengatur bisnis tekfin dengan
saksama, masih terdapat potensi risiko yang bisa mencuat di permukaan kapan
saja.
Pertama, formula lima C (characters). Bisnis tekfin sangat
mengandalkan teknologi informasi sehingga tak memerlukan tatap muka dengan
calon debitor. Hal itu amat berbeda dari bisnis perbankan yang mengutamakan
formula lima C yang terdiri dari C pertama adalah character untuk mengukur
seberapa jauh calon debitor (peminjam) memiliki niat baik untuk mengembalikan
kredit (pinjaman) dan C kedua adalah capacity untuk mengukur kemampuan
mengembalikan kredit atas dasar kemampuan menjalankan bisnisnya.
Kemudian menyusul C ketiga adalah capital untuk mengetahui
sejauh mana debitor mampu menggunakan modal secara efektif dan C keempat
adalah collateral untuk melihat sejauh mana jaminan yang diberikan dapat
menutup risiko yang mungkin timbul. Formula C terakhir adalah condition untuk
meneliti prospek bisnis dikaitkan dengan kondisi saat ini dan mendatang.
Untuk mendalami formula itu, kreditor wajib melakukan wawancara tatap muka
langsung dengan calon debitor.
Nah, apakah formula itu cukup dilakukan melalui formulir
yang sudah diisi debitor sebagai informasi elektronik? Kalau hanya untuk
mengetahui data pribadi calon debitor, langkah itu sudah memadai tetapi tak
cukup untuk memahami karakter calon debitor. Barangkali saat ini belum
menjadi masalah karena kredit belum jatuh tempo pelunasan untuk tenor jangka
menengah.
Tegasnya, wawancara langsung merupakan salah satu cara
manjur dalam mengetahui dan mendalami karakter calon debitor. Artinya, model
bisnis (business model) tekfin sudah sepatutnya tetap mengikuti asas
kepatuhan (compliance) dalam bisnis perbankan yang sudah berjalan lama.
Kedua, OJK mengizinkan bisnis tekfin menggunakan tanda
tangan elektronik, yakni tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik
yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya
yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi sebagaimana dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
Selama ini, bisnis perbankan konvensional dan syariah
tidak menggunakan tanda tangan elektronik, tetapi tanda tangan basah atau
asli. Ketika membuka rekening tabungan bank, Anda pasti akan diminta tanda
tangan pada buku tabungan. Hal itu sebagai alat atau instrumen bagi bank
untuk melakukan verifikasi transaksi perbankan.
Untuk itu, penyelenggara bisnis tekfin wajib memiliki
sertifikat elektronik yang aman dan andal. Sertifikat elektronik adalah
sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan
identitas yang menunjukkan status subyek hukum para pihak dalam transaksi
elektronik.
Ketiga, jangan lupa bahwa teknologi informasi juga
mengandung potensi risiko teknologi sebagai salah satu wujud dari risiko
operasional. Risiko operasional meliputi risiko yang berasal dari sumber daya
manusia (SDM), proses dan teknologi (Michel Crouhy, Dan Galai, & Robert
Mark, 2000).
Teknologi informasi bisa menimbulkan risiko tinggi ketika
terjadi kegagalan sistem. Hal itu bisa menyebabkan kesalahan dalam mencatat
keuangan, mengirim dan menerima pembayaran yang tidak semestinya. Bayangkan
kesalahan sistem yang mengakibatkan setiap pembayaran yang seharusnya Rp
1.000.000 otomatis tertambah bilangan satu nol sehingga menjadi Rp 10.000.000
dan Rp 10.000.000 menjadi Rp 100.000.000. Ringkas tutur, kesalahan apalagi
kegagalan sistem akan mengakibatkan kerugian finansial.
Dengan bahasa lebih bening, penyelenggara bisnis tekfin
wajib memiliki sistem yang sanggup operasional dengan tingkat standar
keamanan dan keandalan tinggi yang berlaku umum dan sesuai dengan PBI, POJK,
dan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Untuk mampu
mengatasi kegagalan sistem, penyelenggara bisnis tekfin wajib memiliki
rencana siaga (contingency plan)
dan menerapkan manajemen risiko yang meliputi risiko kredit, operasional,
pasar, dan likuiditas.
Perlindungan konsumen
Keempat, selain itu, penyelenggara bisnis tekfin harus
memprioritaskan perlindungan konsumen. Pada hakikatnya, hubungan antara
konsumen dan investor harus setara dan adil. Bukan hubungan atas bawah
sehingga konsumen memiliki hak untuk dilindungi kerahasiaan (data pribadi,
keuangan, dan atau transaksi) dan menyampaikan pengaduan masalah jika
ada.Adalah rahasia umum yang sering terjadi bahwa data debitor bisa diketahui
pihak lain tanpa sepengetahuannya. Inilah yang wajib dijunjung tinggi penyelenggara
bisnis tekfin.
Kelima, sungguh, penyelenggara bisnis tekfin pun wajib
menerapkan program anti-pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini terkait dengan tingginya
dana kelolaan bisnis tekfin yang mencapai 18,64 miliar dollar AS (Rp 249
triliun) pada 2017. Satu jumlah yang cukup besar dalam skala bisnis tekfin
yang masih terbatas.
Ingat bahwa hal itu terkait dengan banjir investasi bodong
saat ini yang memakai baju penyelenggara investasi atau berkerudung koperasi.
Hal yang patut dicermati adalah jangan-jangan kedua wadah itu sudah menjadi
ajang pencucian uang (Paul Sutaryono, Kompas, 23/2/2017). Untuk menepisnya,
penyelenggara bisnis tekfin patut menerapkan prinsip-prinsip mengenal nasabah
(know your customer/KYC). Katakanlah, mengenai sumber dana investor dan
rencana penggunaan dana oleh debitor. Arus dana dari hulu ke hilir itu layak
senantiasa dilacak.
Keenam, terus mengawasi seluruh transaksi bisnis tekfin,
termasuk audit teknologi informasi. Jangan lupa pula untuk melakukan audit
SDM. Mengapa? Lantaran orang di belakang teknologi informasi juga merupakan
salah satu sumber risiko teknologi informasi selain teknologi informasi itu
sendiri.
Dengan menerapkan langkah antisipasi potensi risiko
demikian, bisnis tekfin amat diharapkan dapat memberikan kontribusi lebih
tinggi dalam membiayai bisnis debitor segmen UMKM. Pun tekfin bakal lebih
mampu mengerek tingkat inklusi keuangan yang kini mencapai 67,82 persen pada
2016. Tegasnya, dari 100 orang Indonesia, baru terdapat 68 orang yang dapat
mengakses produk dan layanan jasa keuangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar