Dualisme
Tata Kelola
Pendidikan
Tinggi Teologi Indonesia
Jozef MN Hehanussa ; Ketua Program Studi Doktor
Teologi Universitas Kristen Duta Wacana; Alumnus Augustana Theologische
Hochschule Neuendettelsau, Jerman
|
KOMPAS, 05 April 2017
Kemunculan istilah filsafat keilahian sebagai nama program
studi dari beberapa institusi pendidikan teologi, baik Kristen maupun
Katolik-dengan sarjana filsafat keilahian (SFil) sebagai gelar
lulusannya-sempat membingungkan beberapa kalangan.
Pada era 1990-2000-an masyarakat juga dibingungkan dengan
gelar sarjana filsafat, sarjana sastra, sarjana sains, dan sarjana agama
untuk lulusan program studi teologi sebagai dampak dari Surat Keputusan
Mendikbud Nomor 036/U/1993 yang menghilangkan gelar sarjana theologia (STh).
Sebelumnya Kemdikbud melalui SK Mendikbud No 0174/0/1983 dan 0036/01984
menghapus pendidikan tinggi teologi dari rumpun keilmuan yang diakui.
Pendidikan tinggi teologi di Indonesia sebenarnya termasuk
salah satu pendidikan tinggi tertua di Indonesia. Sekolah Tinggi Teologi
Jakarta telah berdiri sejak 1954. Sekolah Tinggi Theologia Duta Wacana yang
kemudian berkembang menjadi Fakultas Teologia Universitas Kristen Duta Wacana
sudah ada sejak 1962. Jadi, dibandingkan dengan pendidikan agama, pendidikan
tinggi teologi sudah jauh lebih lama ada. Karena itu, sampai 1980 pendidikan
tinggi teologi masih diakui sebagai ilmu di bawah Depdikbud.
Perubahan sikap
Ketiga SK Mendikbud di atas mendapat reaksi keras dari
sekolah-sekolah teologi dan lembaga-lembaga gerejawi seperti PGI dan KWI.
Kemdikbud akhirnya mengeluarkan SK Mendikbud No 0359/U/1996 sebagai pengakuan
atas teologi sebagai ilmu. Tetapi, ketegangan kembali muncul ketika
pemerintah mengeluarkan PP Nomor 55 Tahun 2007 yang menyamakan pendidikan
teologi dengan ilmu keahlian agama dan menyebutnya sebagai Pendidikan
Keagamaan Kristen yang akan melahirkan ahli ilmu agama.
Perubahan sikap pemerintah ini menunjukkan ketidakpahaman
pemerintah terhadap ilmu teologi yang sudah ada sebagai ilmu mandiri selama
lebih dari 50 tahun. Melihat penjelasan Pasal 1.1 Permendikbud No 154/2014,
Kemdikbud tidak melihat ilmu teologi sebagai bagian dari pohon, cabang, atau
ranting ilmu pengetahuan.
Ilmu teologi sebenarnya berhubungan dengan agama Kristen
ataupun ilmu-ilmu lain dan memanfaatkan teori-teori dari ilmu lain untuk
membuat kajian kritis, analitis, dan konstruktif. Penekanannya pada sifat
ilmiah dan manfaatnya bagi gereja dan masyarakat (Apa Itu Teologi dalam
Drewes & Mojau, 2007). Pemahaman ilmu teologi semacam ini membuat
sekolah-sekolah teologi yang mengkaji teologi dan agama secara ilmiah
cenderung dianggap liberal bahkan sesat.
Pengingkaran pengakuan teologi sebagai ilmu semakin
dipertegas melalui UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 7 Ayat 4
menyatakan penyelenggaraan pendidikan tinggi keagamaan, termasuk teologi
(penjelasan Pasal 10 Ayat 2a), dilaksanakan Kementerian Agama. Ada kesan kuat
bahwa PP No 5/2007 dan UU No 12/2012 semula bertujuan mengakomodasi
pendidikan keagamaan di lingkungan Islam, tetapi kemudian berdampak juga pada
pendidikan tinggi keagamaan semua agama, termasuk pendidikan tinggi teologi
Kristen dan Katolik.
Profesionalitas pengelola
Ditjen Bimas Kristen sebenarnya secara kompetensi terbatas
dalam mengurusi pendidikan tinggi dibandingkan dengan Kemristek dan Dikti.
Keterbatasan ini dapat diinterpretasi dari keberadaan Prof H Abdurrahman
Mas'ud, PhD sebagai pelaksana tugas (Plt) Dirjen Bimas Kristen saat ini.
Beberapa alasan untuk mendukung pernyataan di awal adalah pertama tidak ada
standar mutu yang setara dengan Kemristek dan Dikti ketika membuka sebuah
program studi.
Sejak 1990-an Ditjen Bimas Kristen dengan mudah memberikan
izin pembukaan sekolah-sekolah teologi swasta dan negeri di banyak wilayah
Indonesia. Saat ini ada lebih kurang 450 sekolah teologi. Hanya sebagian
kecil berada di bawah pengelolaan Kemristek dan Dikti.
Kedua, pendampingan pengembangan mutu pendidikan dari
sekolah-sekolah teologi di bawah Kemenag sangat terbatas.
Ketiga, Kemenag belum memberikan perhatian serius terhadap
kualifikasi akademik dan standar kerja para dosen yang sesuai standar minimal
dari Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT).
Keempat, tidak ada pendampingan dalam penyusunan kurikulum
pendidikan teologi sesuai SNPT. Sekolah-sekolah teologi lebih mengandalkan
panduan kurikulum S-1 untuk STT dan STAKN yang dikeluarkan 2011.
Dampak dari semua ini adalah pertama banyak program studi
teologi di Kemenag tidak bisa diakreditasi oleh BAN PT atau tidak lulus
akreditasi atau hanya mendapat nilai C. Kedua, banyak sekolah teologi
kesulitan menyusun kurikulum yang sesuai Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI).
Ketiga, sulit mengukur kualitas lulusan dengan menggunakan
SNPT. Tidak mengherankan masyarakat cenderung memandang negatif kualitas
lulusan sekolah teologi di bawah Kemenag. Kondisi ini menyebabkan
sekolah-sekolah teologi yang bernaung di bawah Kemristek dan Dikti memilih
untuk bertahan. Beberapa program studi teologi juga melakukan alih bina dari
Kemenag ke Kemristek dan Dikti.
Filsafat keilahian
Berdasarkan masukan dari sekolah-sekolah teologi ini, maka
oleh Kemristek dan Dikti, sesuai Permendikbud No 154/2014 tentang Rumpun Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi, sekolah-sekolah teologi ini dimasukkan ke
dalam program studi filsafat keilahian. Pada hakikatnya sekolah-sekolah ini
mengembangkan teologi yang lebih menekankan sifat ilmiahnya. Ini
memperlihatkan bahwa terjadi dualisme tata kelola pendidikan tinggi teologi,
yaitu oleh Kemristek dan Dikti serta Kemenag.
Kemenag, dalam hal ini Ditjen Bimas Kristen, perlu
membahas secara serius pola tata kelola pendidikan tinggi teologi ini dengan
Kemristek dan Dikti. Kurangnya kompetensi Ditjen Bimas Kristen seharusnya
mendorong penyerahan segala sesuatu yang berkaitan dengan kurikulum, kualitas
mutu pengajaran, pengajar, dan lulusan kepada Kemristek dan Dikti. Kemenag
sebaiknya hanya menangani pokok tertentu, misalnya praktik lapangan dan
penyediaan dana penelitian.
Kemenag perlu meniru model pengelolaan program studi
antara Kemristek dan Dikti dan kementerian lain yang juga ikut mengelola
program studi terkait. Pendekatan ini akan membuat pengelolaan pendidikan
teologi oleh Kemristek dan Dikti serta Kemenag memberikan hasil yang lebih
baik, bukan dualisme.
Penempatan pendidikan tinggi teologi-yang berbeda dengan
ilmu agama-di bawah Kemenag memang perlu dipertimbangkan kembali oleh
pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar