Mengajarkan
Ilmu dengan Mudah
Hasanudin Abdurakhman ;
Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang profesional
di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 30 Januari 2017
Tak
mudah menjadi guru itu. Kalau mudah, tentu setiap orang adalah guru. Sudah
menjadi guru pun, ternyata tak semua guru bisa mengajar dengan baik. Kita
semua punya guru favorit, disukai banyak murid, karena ia pandai mengajar,
membuat kita mudah paham.
Setiap
individu, dalam berbagai kesempatan sebenarnya berada dalam posisi harus
menjadi guru, harus mengajarkan sesuatu. Tapi sebagaimana guru-guru di
sekolah, ada orang yang sanggup jadi guru yang baik, ada yang tidak. Sering
orang berdalih, dia tidak berbakat jadi guru. Tapi sering kali yang terjadi
adalah, tidak ada keinginan untuk mengajarkan sesuatu dengan baik.
Bagaimana
mengajarkan sesuatu dengan mudah?
Pertama,
kita sendiri harus menguasai bahan yang hendak kita ajarkan. Kalau bagian ini
terpenuhi, kita mungkin sudah melampaui lebih dari 50% kebutuhan untuk mengajarkan
sesuatu dengan mudah. Masalah terbesar para pengajar adalah, mereka tidak
menguasai materi. Paham, tapi hanya sebagian. Itulah sebabnya penjelasan dari
para ahli biasanya mudah kita cerna.
Ini
adalah bagian terbesar dari masalah pendidikan kita. Banyak guru yang tak
paham dengan materi yang ia ajarkan. Ia sekedar menjadi tukang hafal.
Selebihnya, ia melafalkan materi di depan kelas, dengan hafalan, atau membaca
buku teks. Ia berharap murid-muridnya ikut jadi penghafal seperti dirinya.
Syarat
kedua adalah adanya keinginan untuk berbagi. Ingat, sekali lagi, mengajar itu
berbagi. Kita membagikan apa yang kita tahu. Karena ingin berbagi, ada tujuan
yang hendak kita capai, yaitu sampainya pengetahuan ke orang lain. Pengajaran
jadi berbeda nuansanya bila yang mengajarkan berniat memamerkan
pengetahuannya, atau ingin merendahkan orang lain. Untuk bisa mengajarkan
dengan mudah, perasaan seperti itu harus dihilangkan.
Hal
berikutnya yang penting dalam pengajaran adalah, berempati pada orang yang
kita ajar. Ada ungkapan setengah bercanda yang mengatakan bahwa orang yang
sangat cerdas sulit menjadi guru yang baik. Yang bisa jadi guru yang baik
adalah orang yang tidak terlalu cerdas. Ia dulu mengalami banyak kesulitan
dalam belajar, sehingga tahu bagaimana kesulitan murid-muridnya sekarang.
Orang-orang cerdas tidak akan pernah memahami kesulitan itu.
Yang
terpenting dalam hal ini bukan soal pintar atau tidak, tapi soal empati. Coba
bayangkan bagaimana kita menjelaskan suatu hal kepada anak kecil. Apa yang
kita lakukan? Kita akan mulai menjelaskan dari hal yang sudah dia pahami,
memakai kosa kata sederhana, sesuai perbendaharaan kata yang sudah dia
miliki. Prinsip ini berlaku bagi pengajaran di semua tingkat. Karena itu,
ketika kita hendak mengajar, kita perlu mengenali siapa yang hendak kita
ajar. Pengenalan latar belakang pendengar adalah salah satu komponen penting
dalam analisis kebutuhan training.
Langkah
berikutnya adalah menyiapkan berbagai metode untuk membuat orang paham.
Sering kali diperlukan penjelasan melalui berbagai pendekatan atau sudut
pandang. Di sinilah penguasaan materi berperan. Orang yang paham materi
secara utuh, dapat melihat masalah dan menjelaskannya dari berbagai sudut
pandang. Ia akan dengan mudah dapat membangun analogi, simulasi, atau pemodelan,
yang membuat orang mudah memahami masalah yang dibahas.
Hambatan
terbesar dalam pengajaran adalah ketiadaan keinginan untuk mengajarkan.
Banyak orang berpengetahuan yang menganggap hanya dia yang bisa menguasai
sesuatu, sehingga enggan mengajarkan pada orang lain. Orang lain dia anggap
tak akan bisa menguasai pengetahuan itu. Ada pula yang takut tersaingi, orang
yang dia ajari kelak menjadi lebih ahli.
Mendidik
dan mengajari adalah bagian yang sangat penting dalam kepemimpinan.
Kepemimpinan yang sukses salah satu ukurannya adalah keberhasilan sang
pemimpin mendidik kader-kader, dengan keahlian setara dengan dirinya, atau
lebih tinggi. Tidak sedikit pemimpin yang gagal memahami aspek ini. Mereka
mengira, menjadi pemimpin hebat itu adalah kalau ia bisa berdiri bak menara
tinggi, di tengah orang-orang yang tak mampu menyamainya, sehingga ia menjadi
sangat menonjol.
Singkat
kata, mengajar itu sebenarnya adalah soal menjadi tunduk merunduk,
merendahkan diri di hadapan orang-orang yang menjadi tujuan kita berbagi.
Seperti kita duduk bersama anak-anak, menjadikan pandangan mata kita sejajar
dengan mereka, lalu mulai berkomunikasi dengan empatik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar