Strategi
Regionalisme Penting Abad ke-21
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
09 November 2014
Tidak bisa disangkal, regionalisme menjadi strategi penting
dalam kebijakan luar negeri Tiongkok. Berbagai inisiatif regionalisme
bermunculan pada abad ke-21, menempatkan RRT sebagai negara paling aktif
menawarkan berbagai solusi tak hanya dalam lingkup kawasan, tapi juga secara
global menjadikan negara berpenduduk terbesar di dunia itu mengejar status
negara adidaya sejajar dengan AS dan Jepang.
Pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Beijing,
awal pekan depan, memberikan ujian penting bagi Tiongkok di tengah berbagai
inisiatif tidak hanya menyangkut masalah ekonomi dan perdagangan dalam
mekanisme kawasan perdagangan bebas, tapi juga berdampak politik global
menuju terbentuknya tata dunia baru.
Dalam pertemuan APEC dengan RRT sebagai tuan rumah, ada berbagai
inisiatif yang didorong Beijing, seperti pendanaan infrastruktur bagi kawasan
Asia-Pasifik serta perjanjian regional dan internasional anti korupsi, dan
berbagai perjanjian lain. Semua usulan baru ini menjadikan kawasan
Asia-Pasifik sangat dinamis, tidak hanya banyaknya perjanjian yang ingin
dicapai (termasuk upaya mendorong perjanjian kawasan perdagangan bebas
Asia-Pasifik), tapi juga beragamnya organisasi penataan baru yang bercampur
satu sama lain.
Pengujung tahun 2014 pun akan ditandai dengan beragamnya usulan
arsitektur keamanan baru yang berbeda dengan masa Perang Dingin. Berbagai
ketegangan yang terjadi di sepanjang pesisir barat Samudra Pasifik dicarikan
modalitas memadai untuk memastikan tidak terjadinya konflik terbuka.
Tingkat ketergantungan sejumlah negara Asia-Pasifik menjadi
semakin tinggi satu sama lain, terutama atas desakan kebutuhan pengembangan
pembangunan ekonomi yang sangat tergantung pada stabilitas dan perdamaian
kawasan. Kekuatan transformatif regionalisasi Asia-Pasifik diharapkan menjadi
bangunan penting hubungan kerja sama antarbangsa dalam lingkup modernitas
abad ke-21, tidak hanya bagi kepentingan dalam negeri negara masing-masing,
tapi juga mencakup kawasan luas lintas samudra.
Bersamaan dengan ini, kita perlu mencatat, dinamika hubungan
bilateral, regional, dan multilateral di abad ke-21 masih menghadapi
tantangan struktural dalam sistem internasional yang belum mencapai kondisi
lingkungan multipolar. Tiongkok memang menjadi kekuatan baru yang diandalkan
banyak negara berhadapan dengan AS sebagai kekuatan unipolar dalam sistem
global, khususnya menyangkut penataan pemerintahan global yang selama ini
ditentukan satu sisi kepentingan saja.
Kita pun mencatat, kekhawatiran melihat upaya Tiongkok
mengintegrasikan diri ke berbagai komunitas regional ataupun partisipasinya
dalam berbagai ragam isu dunia. Sampai sekarang kita masih berharap RRT
bertindak dan berperilaku sesuai dengan aturan, norma, dan tujuan bersama
tidak hanya pada tingkatan organisasi regional, tapi juga internasional.
Dinamika kawasan Asia-Pasifik sendiri juga masih menghadapi
persoalan pertikaian diplomasi, seperti masalah Taiwan yang menjadi bagian
dalam jaringan kerja sama entitas ekonomi Asia-Pasifik akibat kebijakan ”satu
Tiongkok” yang berkepanjangan. Kita khawatir ketika APEC sepakat membentuk
apa yang disebut ACT-Net (Network of
Anti-Corruption Authorities and Law Enforcement Agencies) akan menghadapi
dilema kedaulatan yang merugikan banyak negara ketika berhadapan dengan
rincian pemberantasan korupsi di kawasan.
Kita berharap, persoalan kebijakan ”satu Tiongkok” segera
diselesaikan dengan Taiwan sehingga regionalisme menjadi suatu kekuatan utuh
tanpa kekhawatiran upaya pengembangan ekonomi dan perdagangan terjebak dalam
isu kedaulatan yang selama ini dimainkan oleh RRT. Apa pun persoalan politik
yang masih tersisa di antara negara anggota APEC, strategi regionalisasi
negara-negara kawasan Asia-Pasifik adalah keniscayaan yang tidak bisa
dimungkiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar