Puasa
Ramadan Hikmah Menjelang Pilpres
Azyumardi
Azra ; Guru Besar Sejarah,
Direktur Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta Laurate Fukuoka Prize 2014
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Juni 2014
“Hai, orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu
bertakwa.“
(QS
Al Baqarah/2: 183)
“Puasa itu setengah kesabaran. Kesabaran itu
setengah iman.“
(Hadis riwayat Tirmidzi, Abu Na'im,
dan Abu Mas'ud)
IBADAH
puasa wajib sepanjang Ramadan ialah salah satu ben tuk jihad akbar, jihad
yang sebesar-besarnya. Seperti ditegaskan Rasulullah SAW dalam sebuah
hadisnya, jihad yang sesungguhnya bagi umat Islam ialah jihad melawan hawa
nafsu dalam diri. Perang fisik di medan perang melawan musuh yang agresif
demi membela agama Allah dan mempertahankan kehidupan kaum muslimin
disebutkan hanyalah jihad asghar, jihad kecil.
Kenapa
demikian? Tidak lain karena puasa pada intinya merupakan ibadah untuk pengendalian
diri dari hawa nafsu yang dapat bernyala-nyala dalam diri manusia. Hawa nafsu
itu mencakup syahwat jasmaniah berupa seks, makan dan minum, syahwat memiliki
harta benda, dan meraih kekuasaan politik yang biasa juga disebut di Tanah
Air Indonesia sebagai syahwat politik.
Jihad menuju takwa
Jihad
diri melawan berbagai macam hawa nafsu bertujuan mencapai derajat takwa, yang
merupakan salah satu tingkat spiritualitas keislaman yang tertinggi. Ibadah
puasa wajib Ramadan ialah salah satu cara paling pokok untuk mencapai derajat
takwa tersebut. Berbagai ibadah sepanjang Ramadan yang dikerjakan dengan
ikhlas dan sabar bisa membentuk manusia bertakwa, seperti dikemukakan ayat
Alquran, bahwa puasa bertujuan `agar kamu bertakwa' (QS Al-Baqarah/2:183).
Kata
`takwa' banyak disebut dalam ayat Alquran yang sering diartikan sebagai
`takut kepada Allah'; tetapi bukan takut dalam arti biasa. Orangorang yang
`takut' kepada Allah (al-muttaqun)
sering diidentikkan dengan mereka yang menegakkan amar ma'ruf dan nahy munkar (melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya). Karena itu, Maulana Muhammad Ali, misalnya, dalam tafsir
The Holy Quran, mengartikan
almuttaqun sebagai `orang-orang yang
memenuhi kewajiban, menjaga diri dan terpelihara dirinya dari kejahatan'.
Kata al-muttaqun berasal dari kata waqa, yang berarti `menyelamatkan,
menjaga, atau melindungi'. Dengan kata lain, al-muttaqun berarti `orang yang menghormati atau menepati
kewajiban; orang yang menjaga diri dari kejahatan'; dan `orang yang berhati-hati'.
Makna almuttaqun ini sejalan dengan esensi puasa, yaitu mengendalikan diri
dari berbagai bentuk hawa nafsu lahir dan batin. Karena itu, bila orang
berpuasa dengan sungguh-sungguh, ia bakal dapat mengendalikan diri, yang
merupakan salah satu ciri pokok orang bertakwa.
Mereka
yang bertakwa sekaligus memiliki kesehatan lahir dan batin. Hati yang sehat
akan dipenuhi cahaya ketakwaan, kesabaran, kejujuran dan ketaatan.
Alquran
memberi petunjuk, untuk menjaga hati agar tetap bersih bagaikan cermin yang
berkilau, seseorang harus banyak mengingat (dzikir) kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Allah berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram (QS Al-Ra'd/13: 28).“
Namun,
karena bisikan dan godaan hawa nafsu, orang kadang dan bahkan sering lalai
mengingat Allah, yang dapat menjadikan hatinya jauh daripada bersih, baik,
dan tenteram. Ia tidak mampu mengendalikan diri dari nafsu setan yang mengotori
hatinya. Lupa kepada Allah memberi kesempatan kepada hawa nafsu dan setan
menaburkan kotoran dan penyakit ke dalam hatinya. Kotoran atau penyakit hati,
seperti dendam, dengki, durhaka, durjana, bohong, khianat, tipu daya, dan
angkuh, semakin mempertebal keburukan di dalam hatinya.
Ketidaksabaran jelang pilpres
Ibadah
puasa juga merupakan latihan kesabaran. Inilah mutiara kehidupan yang agaknya
sudah mulai pudar dari diri manusia-manusia di Tanah Air tercinta ini.
Ketidaksabaran merajalela dalam masyara kat kita dan tampaknya su lit
diatasi. Ketidaksabaran membuat memudarnya keadaban publik (public civility) sehingga yang
terlihat hanyalah manusia-manusia yang hanya memperturutkan hawa nafsu; menempuh
jalan pintas un tuk mencapai tujuan dan kepentingan masing-masing.
Menjelang
pilpres 9 Juli 2014 ketidaksabaran misalnya terlihat dari syah wat politik
ber nyala-nyala untuk mem perebutkan dukungan massa yang kemudian diharapkan
memberikan suara pada waktu mencoblos nanti. Karena ketidaksabaran, berbagai
cara yang melanggar ajaran agama, ketentuan hukum, dan keadaban publik
dipertontonkan secara telanjang. Kampanye hitam yang berisi fitnah (smear campaign) merajalela di
mana-mana melalui bermacam media. Fenomena semacam itu tidak lain hanya
mencemarkan demokrasi dan mencederai kehidupan berbangsa dan bernegara, yang
bisa menimbulkan luka sosial-politik dalam masyarakat.
Tanpa
kesabaran, yang ada hanyalah kerugian baik secara pribadi maupun
bernegara-berbangsa. Kerugian bisa datang sekarang juga atau datang
belakangan yang menghasilkan penyesalan. Padahal, Allah SWT memperingatkan di
dalam Alquran, “Demi masa. Sesungguhnya
manusia benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang beriman dan beramal
saleh, dan saling mengingatkan (menasihati) tentang kebenaran dan kesabaran
(QS Al-'Ashr/103:1-3).“
Kesabaran
diperlukan tidak hanya dalam amar
ma'ruf dan nahy munkar, tapi
juga dalam mewujudkan kebenaran. Kebenaran, kebaikan, dan perubahan (islah)
yang ingin diwujudkan melalui kekuasaan tidak dengan sendirinya membolehkan
ketidaksabaran yang bertentangan dengan kebenaran dan kebaikan.
Puasa
adalah latihan mengendalikan dan menguasai diri untuk membangun kesabaran.
Ibadah puasa dengan esensi pengendalian diri dapat mengantarkan seseorang
untuk terbiasa dengan kesa baran. Setiap hari dalam bu lan puasa merupakan
latihan pengendalian terhadap hawa nafsu dan insting angkara murka yang
inheren dalam eksistensi manusia yang menjadi pusat ketidak sabaran.
Dorongan
hawa nafsu dan insting yang bisa begitu kuat dan tidak terkendali dalam diri
manusia, menurut Profesor Ismail al-Faruqi dari Temple University, dapat mengganggu stabilitas individu dan
sosial. Karena itu, hawa nafsu merupakan entitas paling sensitif dalam
kehidupan manusia, yang mesti dikendalikan; jika tidak, dapat menjadi ancaman
bagi individu dan masyarakat.
Sebab
itu, kebebasan tanpa batas bagi hawa nafsu hanya mendatangkan kerusakan dan
bencana bagi umat manusia. Kebebasan yang kebablasan sering kali tidak bisa
dikendalikan dan berujung pada kekacauan dan anarki; akibatnya, dapat
menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Filsuf sosial, sosiolog, dan
psikoanalisis semacam Karl Marx, Sigmund Freud, dan Erich Fromm telah
mengemukakan berbagai teori tentang hawa nafsu dan insting tersebut.
Islam
tidak melarang pemenuhan hawa nafsu dan insting secara halal.
Sebab
itu, asketisme--menjauhi dan membatasinya secara amat ketat-tidak dibenarkan
dalam Islam. Sebaliknya, Islam juga tidak membenarkan kebebasan hawa nafsu
tanpa batas. Islam mengajarkan pengendalian; hawa nafsu seks dikendalikan
melalui perkawinan sah, dan hawa nafsu makan minum dikendalikan--antara
lain--dengan prinsip `berhentilah makan sebelum kamu kenyang' (hadis Nabi
Muhammad SAW.)
Lebih
dari itu, pengendalian hawa nafsu dan insting dapat dilakukan secara efektif
melalui puasa. Dengan puasa, sejak imsak
sampai iftar (berbuka), kaum
muslimin dilatih mengendalikan hawa nafsunya. Kaum muslimin diperintahkan
melakukan distansi terhadap hawa nafsu. Dengan distansi, mereka sekaligus
berkesempatan melakukan refleksi diri (self-reflection)
yang dapat menghasilkan pencerahan dan kebangkitan rohani (spiritual enlightenment).
Puasa
dengan demikian dapat melahirkan manusia-manusia yang secara rohani telah
tercerahkan. Mereka yang telah tercerahkan mampu melihat dunia dengan
perasaan optimistis, lebih tawakkul,
percaya kepada kasih Tuhan, yang tidak akan membiarkan manusia dalam
kenestapaan yang seolah-olah tanpa ujung. Dengan manusia yang tercerahkan
akan lebih memiliki kesabaran dalam melakukan upaya untuk meraih kekuasaan.
Di
tengah hiruk pikuk kampanye yang terus cenderung kebablasan (out of control) sekarang ini, filsafat
puasa memberikan perspektif sangat dalam dan bermakna. Perspektif itu,
menurut Annema rie Schimmel, ahli dan otoritas tasawuf, akan membawa muslim
untuk takhalaqu bi akhlaq Allah,
bertingkah laku dan berakhlak dengan akhlak Tuhan; akhlak yang penuh
kesempurnaan.
Kesabaran,
sebagai salah satu akhlak Tuhan, seharusnya dimiliki setiap dan seluruh orang
berpuasa; dan kesabaran sangat dibutuhkan dalam masa menjelang pilpres 9 Juli
yang tinggal beberapa hari lagi.
Pengendalian
diri yang dilatih melalui ibadah puasa Ramadan dapat mengantarkan kaum
muslimin kepada sikap dan perilaku kesabaran yang merupakan salah satu akhlak
Allah. Kesabaran seperti disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad di atas, bahkan
dinyata kan sebagai separuh dari keimanan.
Dengan
demikian, ke sabaran yang dicapai me lalui ibadah puasa, dapat mengangkat
tingkat keimanan seseorang. Kesabaran juga dapat menolong pemimpin atau
mereka yang ingin menjadi pemimpin puncak negara ini untuk menyelesaikan
berbagai masalah kehidupan berbangsa dan bernegara baik pramaupun
pascaterpilihnya kepemimpinan nasional baru dalam pilpres 9 Juli 2014. Sekali
lagi, jika ketidaksabaran yang menguasai mereka, niscaya hanyalah kenestapaan
yang akan melanda negara-bangsa Indonesia. Wallâhu a'lam bish-shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar