Poster
Politik
Muhidin M Dahlan ;
Kerani @warungarsip
|
KORAN
TEMPO, 14 Juli 2014
Hari
pencoblosan dua kandidat Presiden RI memang sudah berlalu. Tapi Pemilu 2014
menyisakan kegembiraan lain, yakni lahirnya beragam warna poster politik dari
seniman visual.
Poster
adalah plakat yang berisi lembar gambar dan teks yang disiarkan kepada
publik. Berbeda dengan publikasi seperti buku dan brosur, poster merupakan
pesan singkat yang impresif lewat warna dan kata. Tujuannya tak hanya
mempengaruhi, tapi juga menggerakkan persepsi.
Dalam
sejarah politik di Indonesia, fungsi poster adalah protes. Seniman-seniman
revolusioner, seperti Sudjojono, Affandi, dan Hendra Gunawan, adalah pembuat-pembuat
poster propaganda yang legendaris.
Kerja
pembuatan poster yang dibuat secara serius menemukan momentumnya. Sosok
Jokowi--dengan magnituda yang menguar dalam dirinya--mampu menarik para
relawan seniman visual untuk berkarya di panggung raksasa bernama Pemilu
2014. Dan ini menjadi pembeda yang signifikan dengan lawan tarungnya.
Saya
menyebutkan nama Alit Ambara di tempat teratas dalam produksi poster politik
Pemilu 2014. Alit adalah seniman poster paling bersinar saat ini. Pada
Oktober 2013, ia bersama Folk Mataraman Institute (FMI) membuat pameran
visual tunggal bertajuk "Posteraksi" di Bentara Budaya Yogyakarta.
Pameran itu berisi 180 poster aksi yang dibuatnya untuk meneriakkan protes
dan sekaligus kesaksian politik. Dari jumlah posternya saja kita tahu betapa
seriusnya Alit Ambara, yang bekerja di bawah kibaran bendera Nobodycorp
Internationale Unlimited.
Sementara
umumnya poster-poster Alit ditempel di dinding kota, pada pergelaran pemilu
ini ia menyebarnya di media sosial. Selain untuk pencerahan pemilih,
poster-poster Alit bertugas untuk menghalau kekuatan jahat yang berdiam dalam
korporasi dan institusi politik menuju tampuk kekuasaan.
Selain
nama Alit, ada dua nama juga yang mencuri perhatian, yakni Hari Prast dan
Yoga Adhitrisna. Dua seniman poster dan komik inilah yang menafsir blusukan
Joko Widodo dengan gambar petualangan seperti Tintin. Poster keduanya
dibagikan secara terbuka dan masif via media sosial untuk menunjukkan Jokowi
adalah sosok pekerja yang tak pernah lelah mengelilingi pasar-pasar
tradisional di Indonesia; dari Papua hingga Aceh. Bahkan fenomena Jokowi
menyinggahi ruang-ruang kerja seniman.
Pesan
poster Hari Prast dan Yoga ini mengisi karakter Jokowi yang lebih banyak
bergerak ketimbang berwacana. Poster yang dikelola dalam tajuk "Gulung
Lengan Bajumu"--nah ini--justru bukan poster protes melainkan ajakan
persuasif memahami kedalaman kerja Jokowi.
Sementara
poster Alit Ambara berpotensi "membikin ramai", sebagaimana
perhelatan pameran poster sehari di Ruang Rupa Jakarta dengan tajuk
"#Siaga2#Jaga2"; poster Prast dan Yoga justru "membikin
gembira".
Yang
ingin saya katakan, kehadiran poster-poster seni dalam tradisi berpolitik
Jokowi memberi harapan baru akan kembalinya poster seni di belantika politik
Indonesia. Kehadiran dan kemampuan persuasinya tidak bisa dianggap enteng.
Poster adalah tenaga raksasa yang diam dalam memobilisasi dukungan dan
membuat gelombang teriakan lebih bergema dan berdetak lama dalam lini masa
pikiran publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar